Artikel

Caleg Perempuan dan Keperempuanan

Catatan : Askolani Nasution
               Budayawan

Bias Gender itu sudah masalah klasik. Bukan sekedar keterwakilan perempuan dalam berbagai aspek sosial dan kebangsaan. Bukan juga soal emansipasi. Tapi memang, sudah kodratnya, perempuan berbeda dengan laki-laki dalam berbagai aspek, dan karena itu memerlukan pendekatan-pendekatan yang khas perempuan juga.

Misalnya, jumlah murid perempuan di rata-rata sekolah lebih banyak daripada jumlah laki-laki. Seharusnya jumlah toilet perempuan juga harus lebih banyak. Apalagi murid perempuan memerlukan waktu lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki saat menggunakan toilet. Nyatanya, perbandingan jumlah itu diabaikan di sekolah. Bahkan ada sekolah yang tidak menyediakan toilet untuk murid perempuan. Seolah-olah murid perempuan dapat menahan diri untuk tidak menggunakan toilet.

Banyak sekolah juga yang tidak menyiapkan tenaga konseling berkelamin perempuan. Seolah-olah masalah murid perempuan dapat sekaligus ditangani guru laki-laki. Padahal, ada hal-hal substansial keperempuanan yang tidak sepenuhnya dipahami oleh guru laki-laki. Misalnya masalah menstruasi, emosional, dan seterusnya.

Itu baru di lingkungan sekolah. Belum lagi di lingkungan masyarakat. Misalnya, hak milik. Sekalipun misalnya duit istri yang digunakan untuk membeli rumah baru, atas namanya tetap suami. Seolah-olah tidak afdol kalau perempuan dijadikan sebagai pemilik kebendaan yang beraspek hukum. Hanya urusan baju dan tetek bengek kecantikan yang tetap dibiarkan menjadi otoritas perempuan, selebihnya menjadi kapling laki-laki.

Di kantor atau lingkungan umum, banyak kloset berdiri, berjejer. Tapi untuk wanita hanya dua pintu kloset jongkok. Karena itu, acapkali di pintu kloset “Women” para ibu harus antri panjang hanya untuk buang hajat. Jangan lagi tanya apa ada dudukan bayi di kloset wanita, padahal di kebudayaan Barat, selalu ada dudukan bayi di sebelah kloset wanita. Karena tidak perlu wanita meninggalkan anaknya di luar toilet saat dia menggunakan kamar mandi.

Terlalu banyak kalau dijabarkan satu persatu betapa laki-laki tak memberi ruang atas hak-hak kodrati perempuan yang berbeda dengan mereka. Dan kita, tragisnya, menganggap seluruhnya sebagai hal yang wajar, karena dunia diciptakan seolah-olah hanya untuk laki-laki saja.

Dalam dunia politis juga begitu. Sekalipun undang-undang menentukan 30 persen calon keterwakilan perempuan di parlemen, banyak partai hanya memenuhinya sebatas ketentuan perundang-undangan saja. Maka oleh partai, dipilihlah calon “bunga” perempuan sebagai basa-basi politis saja. Asal perempuan. Tidak perlu menang, karena suara mereka juga tak dibutuhkan.

Dan tragisnya lagi, sekalipun ada beberapa perempuan tadi yang kemudian memperolah kursi parlemen, oleh fraksi mereka hanya dijadikan sebatas juru bicara fraksi saja. Dan lebih buruk lagi, perempuan terpilih tadi pun tidak pernah menyuarakan bias-bias gender tadi, baik karena kesungkanan terhadap otoritas laki-laki, atau karena tidak punya kemampuan untuk melihat dan memperjuangkan hak-hak kodrati mereka.

Jadi, itu tadi, dunia masih saja milik laki-laki, karena perubahan sosial yang dimungkinkan melalui peran perempuan dalam politis misalnya, tidak sungguh-sungguh menjadi ruh bersama. Karena itu, anak-anak perempuan kita sering kali harus sakit perut menahan pipis di sekolah karena toilet perempuan tidak disediakan. Itu.***

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.