Artikel

Episode Baru Tahun Keempat Arab Spring

Oleh: Musthafa Luthfi
(kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman)

MENJELANG tutup tahun 2013 Masehi ini boleh dikatakan bahwa kawasan Timur Tengah (Timteng) memasuki episode baru pasca Arab Spring yang mamasuki tahun keempat dengan masih diwarnai ketidakmenentuan di negara-negara Arab yang “disinggahi“ musim semi tersebut. Isyarat episode baru itu dapat dilihat terutama dari perkembangan baru krisis nuklir Iran, sinyal perpecahan dalam tubuh Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang nampak saat KTT ke-34 awal Desember lalu dan keputusan pemerintah sementara Mesir yang mencap gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) baik di dalam maupun luar negeri sebagai “gerakan terorisme”.

Pertama yang terkait dengan perkembangan krisis nuklir Iran, negeri Mullah itu akhirnya pada 24 November 2013 berhasil mencapai kesepakatan dengan negara-negara besar pada Pertemuan Jenewa-3 di Swiss. Enam negara besar, lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB (AS, China, Inggris, Prancis dan Rusia) ditambah Jerman (5+1) bersama Iran pada 24 November lalu mencapai titik temu.

Kesepakatan tersebut meskipun bukan sebagai kesepakatan final karena bersifat sementara yakni berlaku selama enam bulan ke depan dan dapat ditinjau kembali, namun oleh sebagian pihak dianggap sebagai landasan kondusif penyelesaian yang dapat diterima semua pihak secara final nantinya. Pihak-pihak terkait berharap, tentunya sesuai kepentingan masing-masing untuk target tertentu, waktu enam bulan ke depan cukup sebagai sarana mengatasi sejumlah masalah yang masih dinyatakan pending (belum terselesaikan).

Iran termasuk salah satu negara penandatangan pakta Non-Proliferasi Nuklir (NPT) atau perjanjian agar tidak menyebarluaskan bom nuklir dan teknologi pembuatannya pada 1992, tapi NPT ini tetap menjamin hak kepada anggotanya untuk menguasai teknologi nuklir untuk tujuan damai. Iran memanfaatkan jaminan NPT itu untuk melanjutkan pengembangan teknologi nuklir yang diklaimnya untuk tujuan damai seperti pembangkit listrik dan untuk tujuan riset damai lainnya, hingga pada 2003 permasalahan dengan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) muncul karena mencurigai negeri Persia itu berniat membuat bom nuklir.

Meskipun telah puluhan perundingan selama ini selalu mengalami dead lock (jalan buntu) namun Barat tetap memilih opsi penyelesaian damai dan menampik desakan Israel melakukan aksi militer karena Barat tak mampu lagi berperang karena dihadapkan pada krisis ekeonomi parah yang hampir menyebabkan kebangkrutan. Di lain pihak, negeri Persia itu, juga terus meningkatkan kemampuan pertahanannya secara berswasembada dengan memproduksi sejumlah senjata canggih konvensional untuk menghadapi apa yang disebutnya ancaman luar yang ingin menghentikan program nuklir damai yang sedang dikembangkannya.

Memang tidak menutup banyaknya kepentingan pihak-pihak tertentu di balik persetujuan tersebut, tetapi solusi damai merupakan harapan bangsa-bangsa kawasan yang saat ini masih bergelut dengan perang dan ketegangan sebagai dampak dari Arab Spring (Musim Semi Arab) yang masih jauh dari target. Kesepakatan yang tercapai tanpa mengikutsertakan sejumlah negara Arab penentu dikawasan, dinilai sebagian pihak sebagai langkah awal Iran menuju normalisasi dengan Barat untuk kepentingan strategisnya di kawasan.

Karenanya kekhawatiran negara-negara tetangga Iran terutama negara-negara Arab di Teluk sah-sah saja terhadap kemungkinan Teheran memanfaatkan kesepakatan tersebut untuk memperluas “hegemoni“nya di kawasan. Krisis Suriah yang telah berlangsung tiga tahun itu paling tidak sebagai bukti kekuatan/kemampuan negeri Persia itu menghadapi negara-negara Arab dan Iran juga cukup berperan menciptakan “perpecahan“ di kalangan anggota GCC.

Seperti diketahui, Iran sepakat akan menurunkan kualitas pengayaan uranium dan plutoniumnya serta akan mengizinkan pemeriksaan termasuk inspeksi mendadak oleh badan-badan internasional tentang pelaksanaan kesepakatan itu. Meskipun demikian para petinggi negeri ini menyebut kesepakatan tersebut sebagai “kemenangan” bangsa Iran karena masyarakat internasional mengakui secara resmi hak Iran memperoleh teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Presiden Iran Hassan Rouhani menyambut perjanjian itu sebagai “membuka cakrawala baru”, yang secara bersamaan mempertahankan hak Iran untuk memperkaya uranium dan Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei menyebut perjanjian itu sebagai dasar untuk mencapai kemajuan yang lebih besar bagi bangsa Iran. Kesepakatan ini memberikan peluang bagi Iran untuk mengakses devisa antara 4,2 hingga 7 milyar dollar AS sebagai bagian dari kesepakatan itu, disamping jaminan tidak akan ada sanksi baru dalam periode enam bulan mendatang.

Untuk mencapai kesepakatan tersebut, Iran telah memainkan banyak “kartu” penekan yang telah dipersiapkannya sejak beberapa dekade belakangan ini disamping faktor kesalahan AS dan sekutunya yang melakukan perang melelahkan dan menyedot biaya mahal di Afganistan dan Irak. Teheran bertambah leluasa memainkan “kartu-kartu” tersebut dengan absennya penyeimbang kekuatan di kalangan dunia Arab yang hingga saat ini belum mampu menyatukan diri menjadi blok penyeimbang menghadapi bahaya konspirasi luar yang mengancam mereka.

Banyak pihak di dunia Arab yang curiga bahwa target utama Iran sejak zaman Shah hingga sekarang adalah menjadi “polisi Teluk”, artinya negeri Persia ini ingin menjadi negara penentu yang mengatur keamanan kawasan sesuai kepentingannya. Presiden baru, Hassan Rouhani dan timnya disebut-sebut lebih cerdik ketimbang pendahulunya, Ahmedi Nejad untuk mewujudkan target tersebut.

Menurut Tareq Hamid, salah satu analis Arab, hampir dipastikan bahwa kesepakatan enam bulan ini akan dapat diperpanjang untuk bulan-bulan berikutnya bahkan lebih panjang dari yang diperkirakan tanpa mencapai kesepakatan riil karena kesepakatan tersebut lebih berbau ekonomis untuk target strategis.
“Jadi Iran dapat memanfaatkan pencabutan embargo tersebut untuk mewujudkan impian bangsa Persia memiliki senjata nuklir dibawah kealpaan AS sebagaimana halnya kejadian di India dan Pakistan sebelumnya,“ tegasnya lagi. Bila demikian kesudahnnya, Iran memasuki episode baru terkait pemanfaatan isu nuklirnya untuk memperkuat posisinya di kawasan dan semakin diperhitungkan oleh negara-negara besar ke depannya.

Kesepakatan Jenewa-3 dan krisis berdarah yang masih berlangsung di Suriah dikhawatirkan oleh banyak pihak di kawasan Timteng, akan menjelmakan poros baru di kawasan berdasarkan sektarianisme yakni poros Syiah dibawah pimpinan Iran dengan sekutunya, Suriah, Hizbullah dan Irak. Sedangkan negara-negara kawasan lainnya yang mayoritas Sunni sebagai poros tandingan yang dipimpin oleh Arab Saudi yang mencoba kembali untuk meletakkan dasarnya lewat peningkatan status GCC dari sekedar badan kerjasama menjadi sebuah uni (persatuan) Teluk guna menandingi pengaruh Iran.

UNI TELUK
Gagasan pembentukan Uni Teluk sebagai pengganti GCC telah dimunculkan sejak 2011 dan pada KTT tahunan ke-34 di Kuwait pada 10-11 Desember lalu yang diwarnai perkembangan mutakhir terkait program nuklir Iran, gagasan ini dipertegas lagi untuk mengefektifkannya, namun mendapat penolakan dari Oman dan Uni Emirat Arab (UAE) menyatakan keberatan sehingga dari enam anggota GCC hanya empat negara yang setuju (Arab Saudi, Bahrain, Kuwait dan Qatar). Oman bahkan menyatakan niat untuk mundur dari GCC tiga hari sebelum KTT berlangsung bila persatuan tersebut dipaksakan.

Menteri Luar Negeri Oman, Yusuf bin Alawi menyatakan bahwa GCC masih belum berhasil membangun sistem ekonomi riil dan menekankan bahwa negaranya tidak mendukung serikat. “Kami menolak perserikatan, tetapi tidak akan mencegah jika negara-negara anggota GCC lainnya memutuskan untuk mendirikan serikat ini. Kami akan mundur secara terbuka, ” tandasnya sambil menyeru negara-negara anggota GCC untuk menjauhkan wilayah Teluk dari konflik internasional.

Sementara sudut pandang Arab Saudi melihat bahwa perubahan status itu sebagai kebutuhan mendesak menyusul perkembangan mutakhir saat ini. Negeri terbesar GCC ini menegaskan bahwa perubahan GCC yang berdiri pada tahun 1981 itu dari badan kerjasama ke tahap perserikatan atau persatuan telah menjadi kebutuhan atas perubahan keamanan, politik dan ekonomi serta bukanlah langkah yang berlebihan.

Seperti disebutkan sebelumnya, ide perubahan dari kerjasama menjadi persatuan negara-negara Teluk ini muncul pertama kalinya pada tahun 2011 dan hanya didukung oleh Bahrain sehingga sulit terwujud karena negara-negara lain belum memberikan respons positif. Qatar dan Kuwait mengumumkan dukungan mereka terhadap gagasan ini, setelah diadakan presentasi lagi, namun UAE tidak mengumumkan sikapnya dan pada KTT GCC terakhir negeri ini masih menunjukkan keberatannya.

GCC didirikan dengan tujuan terutama meningkatkan kerjasama ekonomi dan kesatuan sikap Teluk disamping untuk menandingi pengaruh Iran di wilayah tersebut namun dalam perjalanannya, Oman tetap menjalin hubungan erat dengan Iran, di mana penguasa Oman, Sultan Qabus Bin Saeed, memainkan peran mediator antara Iran dan AS di beberapa posisi. Salah satunya, Sultan telah menjadi mediator dalam dialog antara Presiden Barack Obama dan Presiden Hassan Rouhani, yang mengarah ke kesepakatan Jenewa-3 tentang program nuklir Iran bulan lalu.

Sejumlah pengamat menilai bahwa penolakan Oman tersebut hanya sebatas sudut pandang yang berbeda bukan menentang pembentukan Uni Teluk mengingat secara politis negeri itu selama ini lebih memilih bersikap netral menghadapi berbagai persoalan regional dan memelihara hubungan erat dengan semua negara kawasan termasuk Iran dan Suriah. Dalam situasi saat ini, Oman melihat pembentukan Uni Teluk tersebut selain membahayakan kepentingan nasionalnya, juga berdampak terhadap eskalasi ketegangan di kawasan.

Posisi Oman tersebut sempat memunculkan kekecewaan di kalangan penduduk Teluk meskipun sebenarnya penolakan salah satu anggota terhadap rancangan keputusan atau gagasan bukanlah hal baru selama tiga dekade lebih umur badan regional tersebut. “Masalah ini sebenarnya tidaklah terlalu mengkhawatirkan karena enam negara anggota memiliki sudut pandang yang berbeda meskipun memiliki kesamaan dalam sebagian besar isu,“ papar Mohammad Al-Hamadi.

Menurut salah satu analis Arab asal UAE itu, sikap Oman tidak tepat untuk dijadikan sumber perbedaan atau memfokuskan perbedaan di kalangan GCC. “Kesediaan Oman untuk bergabung dalam Uni Teluk ataupun tidak sepenuhnya adalah pilihan Oman sendiri meskipun tidak menutup kemungkinan memunculkan persoalanan. Tapi yang penting tidak mempengaruhi (kesatuan) anggota-anggota lainnya,“ tandasnya kepada harian Al-Ittihad, UAE.

Namun sejumlah analis Arab lainnya melihat bahwa sikap Oman tersebut sebagai bentuk retaknya barisan Teluk menghadapi pengaruh Iran yang posisi tawarnya semakin kuat pasca Jenewa-3. Dengan penolakan ini maka gagallah pembentukan persatuan tersebut karena dalam anggaran dasar GCC disebutkan bahwa setiap keputusan GCC harus dilakukan secara aklamasi karena setiap anggota memiliki hak veto.

Kegagalan pembentukan Uni Teluk itu, menurut sejumlah analis Arab menambah beban Arab Saudi, sebagai salah satu negara terkemuka Arab dalam menghadapi isu-isu pelik kawasan terutama program nuklir Iran dan krisis Suriah. Dengan kata lain, penolakan Oman tersebut datang pada momentum yang kurang tepat sehingga Saudi harus mengupayakan langkah-langkah lainnya menghadapi episode baru pengaruh Iran di kawasan kaya minyak itu.

BERBAHAYA
Sementara di Mesir selaku negara terbesar Arab dilihat dari penduduk dan kemampuan militernya, menjelang tutup tahun ini tepatnya pada Rabu (25/12/2013), juga memasuki episode baru yang sangat mengkhawatirkan dengan keputusan pemerintah sementara yang memasukkan gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun (IM) sebagai “gerakan terorisme“. Keputusan ini tidak hanya dialamatkan ke IM di dalam negeri, akan tetapi mencakup IM atau gerakan serupa di luar Mesir.

Langkah ini oleh banyak pihak dianggap sebagai langkah berbahaya yang dikhawatirkan dapat sebagai preseden eskalasi kekacauan di negeri Lembah Nil itu. Gerakan 26 April, sebagai salah satu gerakan revolusi di negeri tersebut menilai keputusan ini sebagai kegagalan pemerintah untuk menyelamatkan negara menuju kekacauan yang lebih besar.

Keputusan yang dinilai tergesa-gesa tersebut diambil sehari setelah peledakan bom di kantor keamanan kota Manshurah yang menewaskan 15 orang, sebagian besar dari unsur kepolisian Mesir. Langkah ini juga dinggap oleh sejumlah analis, sebagai upaya pemerintah sementara untuk mengembalikan Mesir kepada negara polisi yang mengedepankan pendekatan keamanan dengan menuduh pihak tertentu secara semena-mena tanpa menunggu hasil penyelidikan.

Menarik untuk disimak perumpamaan yang diungkapkan penulis Mesir, Fahmi Huweidi tentang keputusan tersebut yang ditamsilkan seperti orang yang berusaha mengatasi kebakaran. “Seharusnya ketika terjadi kebakaran diupayakan untuk mengepung api dan memadamkannya dengan air, bukan sebaliknya menyerukan untuk memicu nyala api dan memperluas kobarannya,“ paparnya dalam artikelnya di harian al-Shorouq, Kamis (26/12/2013).

Ia menyatakan kekhawatiran bila seruan memicu dan mengobarkan nyala api itu yang harus didengar sehingga akan terjadi balas dendam terhadap pihak tertentu secara meluas. “Saya tetap berharap agar suara akal masih bisa dikedepankan meskipun media massa sukses membentuk opini untuk mengenyampingkan suara-suara akal tersebut, sebab perluasan kobaran api dapat menyebabkan perang sesungguhnya antara satu bangsa. Mesir bisa jadi dapat menjadi Iraq na`uzubillah min dzalik,“ tandasnya.

Keputusan ini secara otomatis telah mengubur revolusi damai yang telah diperjuangkan kaum muda negeri itu dan prestasi-prestasi yang dicapai lewat revolusi damai itu pun akhirnya menguap begitu saja sehingga negara dikendalikan dengan tangan besi. Tentunya cara ini akan sangat sulit untuk mewujudkan stabilitas bahkan sebaliknya akan menimbulkan kekacauan lebih meluas.

Sebagian analis lainnya kembali khawatir keputusan tersebut dapat membawa Mesir seperti nasib Aljazair pada 1991. “Siapa saja yang mengikuti propaganda media Mesir terhadap Al-Ikhwan terkesan akan terjadi bentrokan sengit yang dapat berkembang menjadi perang saudara. Kita tidak ingin melihat Mesir mengalami nasib Aljazair yang terlibat perang saudara 10 tahun setelah kudeta pada 1991 yang menewaskan 200 ribu orang,“ papar Abdul Bari Athwan, analis Arab lainnya.

Sebagian pihak lainnya melihat bahwa langkah pemerintah sementara itu selain mengumumkan perang terhadap Al-Ikhwan di dalam Mesir, juga dapat menimbulkan benturan di kalangan Arab sendiri yang saat ini masih sangat penat akibat berbagai persoalan pelik yang belum terselesaikan. Pasalnya sebagian negara Arab yang menghormati demokrasi dan gerakan Islam politis tentunya bakal bersebrangan dengan keputusan tersebut sebut saja misalnya Tunisia, Maroko, Libya, Yordania dan Aljazair.

“Entahlah, apakah keputusan tersebut sengaja melupakan perbedaan antara gerakan Al-Ikhwan dengan gerakan radikal bersenjata yang memang pantas ditumpas. Dengan demikian, keputusan ini bukan keputusan dari kalangan politis tapi dari aparat keamanan yang merupakan salah satu karakter pemerintahan diktator,“ papar sejumlah pengamat lainnya.

Episode baru yang disebutkan diatas bukannya memberikan sinyal baik bagi bangsa-bangsa di kawasan tersebut justeru sebaliknya mengisyaratkan eskalasi kekerasan dan meningkatnya “perang dingin“ di kalangan negara-negara kawasan dimaksud. Itu berarti, reformasi menyeluruh yang diharapkan dari “musim semi Arab“ semakin melenceng dari target yang diusung kaum muda Arab.*/23 Safar 1435 H

Sumber: hidayatullah.com

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.