Artikel

KERAJAAN PANAI

Askolani dan Prasasti Tanjore

 

Catatan : Askolani Nasution

 

Memang, sampai saat ini amat sedikit referensi tentang Kerajaan Panai yang diyakini berpusat di Padang Lawas ini.

Salah satu referensi tentang Panai adalah Kitab Negarakertagama di masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit. Kitab yang bertajuk tahun 1365 M itu menyebutkan penaklukan Majapahit atas beberapa kerajaan di Sumatera, termasuk Kerajaan Mandailing dan Panai.

Sumber paling penting adalah Prasasti Tanjore yang berangka tahun 1030. Disebutkan bahwa Raja Cola, Rajendracoladewa, tahun 1025, setelah menaklukkan Sriwijaya, juga menaklukkan Kerajaan Panai. Selain Panai, juga penaklukan terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Sumatera yang diyakini berada dalam pengaruh raja Sailendra dari Sriwijaya.

Panai dalam prasasti itu dimaknai sebagai “pannai” dalam bahasa Tamil, artinya “tanah pertanian”. Makna itu disebutkan oleh Wheatly pada tahun 1961. Atau dengan istilah lainnya adalah “well-watered (of) Sriwijaya”. Tapi sebagian lain menerjemahkannya dengan “watered by rivers”. Kedua istilah itu tentu juga tak bisa dipisahkan dengan Sungai Batang Panai, karena kerajaan itu berada di sekitar DAS Batang Panai yang dikenal hingga hari ini.

Banyak juga perbedaan pendapat tentang lokasi kerajaan Panai. Codes misalnya, meyakini kerajaan ini ada di Pesisir Timur Sumatera. Menurutnya ada di sekitar muara sungai Desa Labuhan Bilik. Sumber lainnya menyebut justru di bagian pantai Barat Sumatera, yang disebut dekat dengan Sibolga atau Barus. Itu karena sebuah pulau kecil di dekat Barus yang sampai sekarang disebut Panai.

Tapi asumsi Codes lebih berterima. Karena memang Sungai Batang Pane yang bertemu dengan Sungai Barumun, muaranya ke kawasan Labuhan Bilik.

Dalam sebuah catatan Cina, disebutkan bahwa Kerajaan Panai telah ada sejak tahun 1000 AD. Hsu Yun-ts’iao memperkirakan bahwa kerajaan ini pada abad ke-6 ada di kompleks percandian Padang Lawas dan berlatar belakang agama Budha.

Kerajaan Panai diyakini menjadi kerajaan penting di Sumatera, selain Sriwijaya. Alasan itu yang membuat Chola menyerang kerajaan ini. Tetapi meskipun diserang, kerajaan ini tidak serta merta tunduk. Sebab, pada abad 11, atau kurang lebih seratus tahun setelah serangan itu, Kerajaan Panai telah membangun kompleks percandian yang monumental di Padang Lawas sekarang.

Dan sekalipun tidak banyak prasasti yang mengungkap kerajaan ini, Panai diyakini menganut sekte Tantrik. Mantra-mantra yang ditulis dalam lempeng emas, juga dianut oleh raja Kertanegara dari Singosari, Adityawarman dari Sumatera Barat, dan Kubilai Khan dari Mongol.

Biara bersekte Budha Tantrik ini menurut Schnitger, arkeolog Belanda, dapat ditemukan pada Biara Sisangkilon, Sijoreng Belangah, dan Biara Sipamutung yang berada di Padang Lawas. Pada Biara Sipamutung ditemukan arca atau hiasan bangunan berupa arca buaya yang menunjukkan aliran Tantris dimaksud.

Dalam prasasti Tanjore yang sekarang disimpan di Kuil Kailasanatar-uttara merur menyebutkan bahwa serangan kepada Kerajaan Panai untuk “membuka gerbang kota pedalaman yang luas, yang dilengkapi peralatan perang, berhiaskan permata dengan kemuliaan yang besar, gerbang kemakmuran Sriwijaya, dan Pannai dengan kolam air.”

Dari tulisan itu ada beberapa asumsi yang timbul:

  • Panai merupakan pintu gerbang bagi kerajaan-kerajaan besar dan maju di pedalaman Sumatera. Kerajaan-kerajaan dimaksud adalah apa yang disebut dalam naskah Negarakertagama.
  • Kerajaan-kerajaan pedalaman itu telah memilik pasukan yang kuat dan bermartabat.
  • Berhiaskan permata dengan kemuliaan merujuk kepada kawasan hulu Sungai Barumun yang pada masa itu telah menjadi pusat penambangan emas terpenting di Sumatera.
  • Kerajaan-kerajaan itu menjadi sumber ekonomi bagi kerajaan Sriwijaya
  • Kerajaan Panai memiliki kolam yang indah. Kolam air dimaksud diyakini sebagai bendungan yang ditemukan di desa Aloban Kecamatan Portibi, Padang Lawas. Kerajaan Panai, selain memiliki emas, juga menjadi kerajaan yang makmur karena daerah pertanian maju yang dimilikinya. Daerah pertanian yang subur itu sumber irigasinya dari Bendungan Aloban. Bendungan ini yang dibobol Rajendracholadewa. Selain itu, koordinat candi Sipamutung pada 990 45’ BT dan 010 25’ LU memang menjadi daerah pertanian yang subur hingga saat ini. Kawasan ini dialiri berkelok-kelok oleh Sungai Barumun dan Sungai Batang Pane. Ini menandakan bahwa kawasan ini menjadi daerah pertanian yang subur sejak masa dulu.

 

Bendungan yang ditemukan di desa Aloban Kecamatan Portibi

Monumen percandian Portibi, Bahal, dan lain-lain menandakan bahwa Kerajaan Panai telah mengalami perkembangan kebudayaan yang maju. Beberapa prasasti lain yang ditemukan di kawasan ini seperti Prasasti Tandihat (berangka tahun 1179 M), Sitopayan (1235 M), Porlak Dolok (1245 M) menunjukkan bahwa kawasan percandian tersebut berdiri pada abad 11-14 masehi.

Candi Bahal di Portibi

Itu ditandai dengan arca yang di temukan di Biara Sipamutung dan Biara Bara yang digambarkan mengenakan kain bermotif  jlamprang dan kawung. Motif itu identik dengan motif yang biasa ditemukan pada arca-arca masa Singosari. Selain itu, motif percandian itu juga ditemukan pada situs Padang Roco (abad ke 13-15) di Sumatera Barat.

Karena itu diyakini, bahwa Panai sudah memiliki hubungan dekat dengan pemerintahan Adityawarman pada abad ke-14. (Askolani Nasution adalah budayawan/sutradara film)

 

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.