Budaya

KESUSASTRAAN MANDAILING (bagian 1)

 

Oleh: Askolani Nasution

PRAKATA

Mengidentifikasi tipikal Mandailing membutuhkan kajian yang komprehensif. Amat naif jika hanya menggeneralisir begitu saja bahwa Mandailing hanya sebatas teritorial saja, tanpa acuan-acuan yang signifikan. Apalagi kita meyakini bahwa filsafat, norma, dan budaya—yang sering digunakan untuk pengelompokan sosial—bukanlah satuan-satuan yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari identitas suku lain.

Studi sastra banyak digunakan untuk mengidentifikasi satu entitas sosial. Itu karena keyakinan bahwa sastra selalu lahir dari dinamika sosial pembacanya. Sastra yang baik bukan hanya membawa renungan sosial tapi bahkan menciptakan perubahan sosial. Saya percaya bahwa sebuah karya bukan hanya menimbulkan kontemplasi estetik semata, tetapi mampu menciptakan kesadaran sosial.

Sastra merupakan aspek penting dalam merekonstruksi kondisi sosial masyarakat. Sebab, sastra—sebagai hasil ekspresi imajinasi pengarang—mampu merefleksikan keadaan zamannya, bahkan meredefinisikan sebuah konteks yang tidak sepenuhnya bisa dilakukan ilmu sejarah. Sastra adalah lembaga sosial, begitu kata Sapardi Joko Damono (1984).

Sastra juga sering digunakan sebagai salah satu pendekatan keilmuan penting untuk menganeksasi suatu kawasan. Banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa kolonialisme selalu dimulai dari pengetahuan etnografi, dan bahasa sebagai salah satunya. Karena itu, Susan Rodgers (2002) mengatakan bahwa negara kolonial memperpanjang kekuasaan politik mereka dengan mensponsori proyek etnologis terhadap penduduk desa pribumi terkait bahasa dan budaya setempat.

Sulit menemukan suatu studi yang komprehensif tentang kontekstualitas Mandailing di masa lalu, terutama karena minimnya literasi tentang kawasan ini. Selain itu tipikal akrasa Mandailing juga bukan digunakan untuk tradisi literer, melainkan lebih banyak untuk tradisi lisan. Hal itu diperburuk lagi dengan nyaris tidak adanya satu kajian sejarah tentang Mandailing yang komprehensif dan diakui validitasnya.

Dalam konteks demikian, studi atas berbagai karya sastra Mandailing menjadi hal yang penting. Tentu bukan hanya sebatas karya yang diklaim sebagai genre sastra saja (prosa, puisi, dan drama).

KESUSASTRAAN MANDAILING KLASIK

Studi tentang folklore tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan kontekstualitas linguistik, epik, ideologi, dan ritual penutur asli. Berbagai dimensi tersebut saling berkorelasi untuk membentuk kemasan perkembangan sastra.

Seni Budaya Mandailing, termasuk sastra tentu saja, harus dirunut dari masa pra-Islam. Masyarakat tradisional Mandailing percaya kepada penguasa gaib yang disebut sibaso yang diyakini memiliki kekuatan supernatural. Kekuatan itu bukan hanya melekat pada kekuasaan raja, tetapi juga kepada seluruh desa.

Penting untuk memahami bahwa merebaknya Perang Paderi tahun 1810 signifikan dengan menguatnya tradisi Islam di kawasan Mandailing. Tetapi masuknya Islam tidak serta merta mengubah seni budaya tradisional yang telah ada sebelumnya, walaupun pengaruhnya tentu ada. Penolakan raja-raja tradisional terhadap dominasi Paderi, mendorong kolonialisme masuk di kawasan Mandailing tahun 1835. Meskipun Paderi akhirnya mundur dan kalah, tetapi pendidikan bermuatan Islam terus berkembang di kawasan ini. Meskipun begitu, dalam interaksi sosial masyarakat hubungan antarindividu tetap dalam relasi kaidah “Dalihan na Tolu.” Hal ini menjadi satu sistem sosial yang luar biasa, karena Islam tidak masuk ke dalam tatanan sendi-sendi adat dan budaya tradisional. Islam hanya digunakan dalam relasi hubungan manusia dengan Tuhan, bukan dalam norma-norma yang lebih luas.

Pemahaman kondisi sosial di atas penting untuk mendudukkan peran sastra Mandailing. Sebab, sastra tidak lahir dari kekosongan sosial. Karena itu, sastra Mandailing sepatutnya bisa memiliki fungsi yang luas, yakni selain untuk pembentuk opini sosial, juga sebagai wahana untuk merekonstruksi konteks sosial zamannya.

Ada hal yang sangat ironis dalam konteks sastra Mandailing, karena kita tidak sepenuhnya menggunakan tradisi literer tertulis, sebagaimana dibandingkan dengan luasnya tradisi sastra Jawa misalnya. Seni sastra Mandailing ditularkan melalui tradisi yang khas, misalnya melalui medium berikut

  1. Marturi

Tradisi bercerita dalam konteks sosial Mandailing yang dilakukan secara verbal. Cerita ditularkan secara turun-temuran. Plot menggunakan alur maju dan banyak memuat ajaran tentang budi pekerti.

      2. Ende Ungut-ungut

Dibedakan atas temanya. Ende merupakan ungkapan hati, ekspresi kesedihan karena berbagai hal, misalnya kesengsaraan hidup karena kematian, ditinggalkan, dan lain-lain. Selain itu juga berisi pengetahuan, nasehat, ajaran moral, sistem kekerabatan, dan sebagainya. Ende ungut-ungut menggunakan pola pantun dengan persajakan ab-ab atau aa-aa. Sampiran biasanya banyak mengadopsi nama tumbuhan, karena adanya bahasa daun.

Misalnya: tu sigama pe so lalu/madung donok tu Ujung Gading/di angan-angan pe so lalu/laing tungkus abit partinggal

 

SASTRA MANDAILING KOLONIAL

Tahun 1840, kontrolir Belanda pertama berdiri di Natal. Awalnya berfungsi untuk mengontrol perkebunan kopi yang berkembang di kawasan Mandailing dan Angkola. Kemudian di Panyabungan berdiri sekolah percontohan untuk pendidikan guru, Kweekschol, yang dikelola Willem Iskander. Sekolah ini didirikan untuk masyarakat Mandailing yang didominasi Islam setelah Perang Paderi 1816-1837. Pada saat yang sama di kawasan Sipirok sudah berkembang misionaris Jerman yang menguasai 10% populasi masyarakat.

Reformasi Agraria di Eropah Tahun 1870 mendorong pengembangan investasi perkebunan karet dan tembakau di Deli. Selain itu, Politik Etis menyebabkan tumbuhnya pendidikan untuk kalangan pribumi yang didalamnya tentu membutuhkan bahan bacaan. Hal itu juga menuntut intensifikasi pengelolaan sekolah-sekolah inlander. Momentum ini sekaligus mendorong diterbitkannya bahan bacaan partikelir untuk buruh perkebunan.

Penting juga untuk memahami peranan H.N. Van der Tuuk’s yang menyusun Tata Bahasa Batak (1864-1867).[1] untuk kebutuhan silabus buku teks di sekolah. Tata bahasa ini menjadi acuan dalam penulisan sastra daerah di kawasan Tapanuli bagian selatan ketika itu.

Tahun 1870-an berdiri sebuah sekolah guru di Padang Sidimpuan yang menjadi pusat pendidikan dan pusat administrasi pemerintahan. Budaya dan Bahasa Lokal mulai dipelajari di sekolah ini. Tahun 1914, Ch Van Ophuysen mengembangkan studi bahasa lokal di kawasan ini.

Di Sipirok berdiri sekolah pemerintahan, sekolah bible. Sipirok pada saat itu telah memiliki surat kabar berbahasa berbahasa Melayu dan Batak. Sipirok bahkan melahirkan beberapa penulis novel untuk buruh perkebunan.

Selain itu, sejak masa kolonial, kawasan yang disebut Tapanuli Selatan, memiliki tokoh-tokoh eksponen yang amat besar peranannya dalam pertumbuhan sastra. Mereka terutama tumbuh dari output pendidikan berkarakter Eropah. Masa-masa ini menjadi penting karena menjadi awal tumbuhnya tradisi sastra tertulis dan menguatnya peran aksara Latin, suatu tradisi yang belum dikenali dalam sejarah Mandailing Klasik. Cerita menjadi lebih imajinatif dan dalam berbagai sisi tampak muatan pola pandang Eropah. Menguatnya peran aksara Latin tersebut menandai pudarnya tradisi aksara Mandailing. (bersambung)

Catatan kaki:

 [1] Tata bahasa dan dialek untuk kebutuhan translate Bible dalam bahasa Karo, Toba, Simalungun, Dairi, Pakpak, Angkola, dan Mandailing.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.