Budaya

Ketika Pementasan Drama “Sibaroar Raja Nasakti” Berdimanesi Kronologis

Satu adegan drama Sibaroar

Catatan : Dahlan Batubara

Setelah sukses mementaskan drama “Multatuli” bulan Juli lalu, kini Jeges Art kembali menorehkan kesuksesan mementaskan drama “Sibaroar Raja Nasakti” di Gedung Serbaguna Panyabungan, Sabtu (30/9/2017).

Drama ini diselenggarakan kerjasama Jeges Art dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Sibaroar Raja Nasakti” ini dikemas dalam bentuk drama musikal, mengangkat kisah Sibaroar, leluhur marga Nasution di tanah Mandailing.

Di pementasan ini, Askolani Nasution selaku sutradara terlihat meminimalisir dialog-dialog yang menguras emosi dan dialog yang berdimensi kekuatan makna (berbeda dengan gaya khas Askolani, baik dalam teater maupun bentuk film garapannya selama ini yang sangat menitikberatkan pada dialog-dialog sarat makna).

Adegan demi adegan dititikberatkan pada unsur kronologis etape perjalanan kisah tokoh utama, Sibaroar. Itu bisa dipahami mengingat drama ini mengangkat kisah seorang tokoh legandaris dari dimensi biograpis.

Dimulai dengan adegan penemuan bayi di semak-semak oleh para “hulubalang” yang mengawal Raja Pulungan dan Permaisuri dalam satu aktifitas di hutan.  Bayi itu kemudian dipelihara oleh Raja Pulungan melalui ibu asuh bernama Sauwa .  Bayi itu kemudian diberi nama Sibaroar.

Sejak dibawa dari hutan hingga tumbuh besar di lingkungan kerajaan, seorang perempuan dari jenis mahluk halus selalu mengikutinya. Ini mencuatkan hipotesa bahwa mahluk halus itu ibu kandung Sibaroar. Dalam bahasa Mandailing kerap disebut “orang bunian”. Memang, dalam banyak cerita lisan (volkstory), ada keyakinan bahwa mahluk halus itu berhubungan dengan manusia hingga melahirkan bayi manusia.

Drama ini hanya mengisahkan rentang perjalanan hidup Sibaroar sejak bayi hingga berusia sekitar 7 tahunan.

Bayi Sibaror ternyata membawa berkah kepada raja. Sebab, permaisuri yang selama ini tak kunjung melahirkan anak, justru hamil di tahun itu dan melahirkan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Sutan.

Sibaroar tumbuh dengan tubuh yang sangat sehat serta memiliki kecerdasan yang bagus. Kecerdasannya dalam mempelajari bela diri jauh lebih unggul dibanding Sutan sang pangeran.

Di suatu ketika, sang raja mendapat wangsit untuk menumbalkan nyawa seorang anak laki-laki dalam proses pendirian bangunan sopo godang. Para datu kerajaan dalam penerawangan supranatural menetapkan Sibaroar yang harus dijadikan tumbal.

Selanjutnya, penasehat raja mengusulkan agar kening Sibaroar ditandai dengan tulisan lambang X agar para hulubalang yang akan melakukan eksekusi nantinya tidak salah orang, sebab Sibaroar saban hari selalu bersama dengan Sutan. Dan kening Sibaroar pun ditandai dengan tulisan lambang X.

Tetapi, di satu waktu, ketika Sibaroar dan Sutan sedang berdua melakukan  latihan, Sutan bertanya mengapa ada tanda X di kening Sibaroar. Dan Sibaroar menyatakan itu ditulis oleh seorang hulubalang. Ternyata Sutan justru berkeinginan kuat memiliki lambang X itu. Maka lambang X yang di kening Sibaroar dihapus, lantas kening Sutan ditulis lambang X.

Pasca eksekusi, kerajaan heboh, sebab Sutan telah tewas di lobang pondasi sopo godang. Sementara, Sibaroar telah dilarikan oleh Sauwa. Raja murka, dan memerintahkan untuk menangkap Sibaroar dan Sauwa untuk dibunuh.

Dalam pengejaran itu, Sibaroar dan Sauwa selalu selamat. Perempuan makhluk halus yang selama ini mengikuti Sibaroar mampu menyembunyikan keduanya dari incaran para hulubalang. Peran mahluk halus itu sangat besar dalam menyelamatkan Sibaroar dan Sauwa. Bahkan, ketika pelarian itu harus menyeberangi Sungai Batang Gadis yang meluap ganas, para hulubalang tak mampu menyeberanginya, tetapi  Sibaroar dan Sauwa berhasil mencapai seberang sungai berkat bantuan mahluk halus itu.

Drama pun berakhir. Lampu panggung menyala. Penonton terpelongo, karena sutradara hanya mengisahkan hidup Sibaroar sampai batas selamat di seberang sungai. Perjalanan selanjutnya hingga menjadi raja tak dikisahkan.

Walau demikian,  tanda-tanda kesaktian Sibaroar sudah terlihat. Tanda-tanda itu paling tidak terlihat dalam dua mement kehidupan Sibaroar kecil , yakni ketika timbulnya kesalahan orang pada eksekusi penumbalan. Tanda-tanda kesaktian kedua ketika pelarian itu.

Sebagai drama musikal, Jeges Art mampu menumbuhkan warna Mandailing yang kental dalam penggarapan musiknya. Selain itu, Aes Syukri yang menangani musik latar juga sangat piawai sehingga drama sangat terasa kuat oleh dukungan musik dan suara-suara alam.

Drama itu juga terasa sangat kuat dari sisi peran. Sejumlah aktor dari Jeges Art yang dilibatkan membantu pemain pendatang baru sangat mempengaruhi kekuatan adegan dalam drama ini.***

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.