Artikel

Kisah di Balik Tugu Perintis Kotanopan

Tahanan di Tanah Merah, Boven Digul, Papua, 1933. (Foto milik Louis Johan Alexander Schoonheyt / koleksi KITLV)

 

Catatan : Askolani Nasution
Budayawan

 

Suatu hari di tahun 80-an, H. Mahals, nama pertama di prasasti Tugu Perintis Kemerdekaan Kotanopan, datang ke rumah kami yang berdinding “gogat”.

Ia menanyakan arsip-arsip almarhum ayah ketika masih bersama beliau dipenjara Belanda di Sukamiskin dan Digul. Bertemu beberapa catatan. Ia menyebut beberapa tokoh (di prasasti itu) masih hidup, tetapi lebih banyak yang sudah meninggal.

Lalu beliau bercerita, cerita yang juga sudah sering saya dengar penggalan-penggalannya. Intinya, mereka yang 25 orang di daftar itu sudah menjadi sahabat jauh sebelum Indonesia Merdeka, sama-sama ditangkap Belanda pada saat Rapat Akbar di depan Pesanggrahan Kotanopan.

Rapat Akbar terbuka mengagitasi rakyat untuk melakukan pemberontakan bersenjata melawan Belanda, menyusul berbagai pemberontakan yang meluas di Hindia Belanda pasca Pemberontakan Silungkang tahun 1926. Sebelumnya, rapat-rapat persiapan sudah berkali-kali mereka lakukan di Pesantren Subulussalam, Sayur Maincat, yang melibat para guru, siswa, dan pengurus sekolah.

Oleh polisi kolonial yang bermarkas di Tangsi Belanda yang tak jauh dari Pesanggerahan, mereka digelandang, lalu diangkut ke Padang. Dari Padang, diangkut ke Penjara Sukamiskin di Jawa Barat. Tahun 1933, bulan Agustus, Soekarno menyusul, masuk kamar 233. Kamar itu bersebelahan dengan kamar mereka yang dari Kotanopan. Karena itu, Soekarno yang selama ini hanya diceritakan di rapat-rapat perjuangan, bisa dikenali pemikiran politik dan konsep-konsep kenegaraannya.

Segera setelah meletus Pemberontakan Rakyat tahun 1926, tiga ribu orang ditangkap Belanda karena gerakan politiknya dan pemberontakannya. Karena penjara penuh, maka dibangunlan Boven Digul, Irian, tahun 1927 sebagai kamp konsentrasi terbesar dan terkuat di Asia Fasifik. Dibangun di hulu Sungai Digul, di tengah hutan belantara. Dikelilingi sungai Digul yang lebar dan penuh buaya dan di sisi lain hutan belantara yang penuh binatang buas. Karena itu sangat terisolir. Angkutan satu-satunya hanya perahu pengelola kamp.

Rombongan dari Mandailing diangkut dengan rakit menyusuri sungai Digul. Berhari-hari di atas sungai tanpa lampu. Di rombongan lain, ada perempuan yang melahirkan, hanya ditolong oleh para interniran (sebutan untuk para tahanan). Kalau ada yang meninggal, dibuang begitu saja ke Sungai, lalu dimakan buaya.

Sampai di kamp, ternyata Bung Hatta, Sutan Syahrir, Sayuti Melik, Maskun, dan lain-lain ternyata sudah di sana bersama ribuan interniran lain yang datang dari berbagai pulau.

Kamp itu terdiri dari berbagai blok. Tiap tahanan diberi pondok kayu beratap rumbia, lalu jatah beras, ikan asin, dan minyak makan. Beberapa tahanan yang cukup memiliki uang, dapat belanja keperluan di toko Cina satu-satunya yang ada di kamp itu. Yang tidak punya uang cukup, dan itu jauh lebih banyak, mereka harus memancing sendiri di Sungai Digul, berkebun sayuran, dan mengusahakan kebutuhan makanan tambahan lain.

Kamp itu sarang malaria. Karena itu nyaris semua tahanan mengidap penyakit malaria yang akut yang disebut kencing hitam. Banyak yang mati karenanya, atau karena depresi. Banyak yang hilang ingatan karena stres. Beberapa tahanan ada yang mencoba menyeberangi Sungai Digul yang lebar, tapi akhirnya dimakan buaya. Ada yang menyeberangi hutan belantara, lalu dimakan binatang buas. Bahkan dimakan suku-suku primitif. Kisah-kisah pelarian itu menjadi catatan sendiri.

Setiap pagi, para tahanan dikumpul lalu digiring kerja paksa untuk mengubah rawa Digul menjadi perkampungan. Belum lagi siksaan fisik. Stressing itu menimbulkan konflik yang acap kali berakhir dengan bunuh-bunuhan antar tahanan, atau mati bunuh diri. Digul ketika itu menjadi neraka alam yang ganas.

Karena itu, ketika minggu lalu saya berdiri di depan Tugu Perintas Kotanopan, cerita itu mengingatkan saya kembali kepada H. Mahals yang berjuang menyelamatkan hidup para bekas Digulis dari Mandailing, membuatkan mereka tugu, dan mengunjungi keluarga-keluarga yang ada di daftar itu, sahabat-sahabatnya.

Saya tahu betul kesusahan hidup sebagian mereka ketika hidup, karena saya lihat sendiri. Bercerita tentang rumah-rumah gubuk tempat tinggal, susahnya menyekolahkan anak, sama seperti ibu saya yang dulu bekerja sebagai buruh tani. Tapi semua berbesar hati, karena kita telah merdeka!

Jadi, ketika semalam saya mengikuti peletakan batu pertama Tugu Pahlawan Sayur Maincat oleh Bupati Mandailing Natal, saya berpikir, tujuh orang pahlawan yang ada di sana, merekalah yang telah mengubah kita menjadi duduk nyaman di kedai kopi sambil menghisap sebatang dua batang rokok kretek pabrik, sambil bercerita goyangan pinggul artis. Di dinding, di atas televisi ada potret pejuang tua yang terlupakan, tapi di layar televisi tampak orang sedang berjemur di pantai, sambil sesekali muncul iklan pemutih wajah atau kondom ternyaman. Merdeka ternyata bisa juga berakhir naif. Merdeka!

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.