Artikel

Kritik Marx Terhadap Penyelenggaraan Pemilu Raya Mahasiswa UIN Jakarta

Oleh : AGUSTIAR HARIRI LUBIS
Mantum Himpunan Mahaiswa Mandailing Natal Jakarta Periode 2017-2018

 

Karl Marx, tanpa perlu dipertanyakan lagi pemikiran canggihnya yang masih dipergunakan sampai sekarang, pastinya, Aktivis mahasiswa mengetahui apa dan bagaimana pemikiran Karl Marx yang tertuang dalam DAS KAPITAL sehingga mampu mempengaruhi kehidupan sosial disetiap sudut bumi, termasuk kehidupan sosial di pojok Ciputat.

Pemikiran Marx dirancang khusus untuk menganalisa aktivitas kapitalis sehingga dapat memprediksi kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada kehidupan sosial kaum proletar. Pengetahuan berharga itu akan dibahas dalam tulisan ini melalui langkah rektorat dalam melakukan eksploitasi terbesar terhadap kepentingan mahasiswa UIN Jakarta yaitu, PEMIRA.

Sebelum masuk kedalam konteks eksploitasi yang telah disebutkan, guna menyadarkan kaum proletar pinggiran Ciputat, pembahasan ini akan dimulai dari pernyataan Aristo yang menyebutkan bahwa manusia adalah Zoon Politicon. Mahasiswa UIN Jakarta tidak akan bisa hidup jika dia hanya sendirian, dia tidak akan mampu bertahan, tidak akan bisa berdialektika jika dia tidak bergabung dengan sesamanya. Satu sama lain saling membutuhkan. Kesatuan antar individu tersebut merupakan Politicon yang dapat dimanifestasikan kedalam suatu bentuk yang disebut sebagai Power.

Kemudian disebabkan Power dari Zoon Politicon itu sangatlah istimewa, sehingga jika disalahgunakan dapat menimbulkan konflik dan malapetaka besar-besaran, maka Marx melalui Social Conflict Theory mengkualifikasikan Zoon Politicon kedalam dua kelompok, yaitu kaum atas dan kaum bawah, kaum borjuis dan kaum proletariat, kaum rektorat dan kaum mahasiswa. Dalam sejarah perjuangan kelas, kelompok-kelompok yang menyadari bahwa posisinya berada pada kaum proletar, dengan sadar melakukan berbagai macam aksi terhadap kaum borjuis.

Konflik antarkelas inilah yang kemudian melahirkan perubahan. Sayangnya, mahasiswa UIN Jakarta tidak mengetahui dan tidak sadar akan keberadannya dalam posisi yang sedang tereksploitasi, sehingga bukan pergejolakan konflik yang melahirkan perubahan, bukan juga mahasiswa UIN Jakarta, tetapi kaum rektorat dengan E-votingnya. Maka semboyan yang cocok untuk saat ini adalah Rectors are Agent of Change.

Secara historis, PEMIRA selalu dilaksanakan secara langsung tanpa online dengan prinsip terbuka, berkepastian hukum, jujur, adil, profesional, efektif, dan efisien. Rektorat dalam memenuhi dan memfasilitasi hak-hak mahasiswa UIN Jakarta menyalurkan dana dan menyediakan sarana dalam mensukseskan kegiatan PEMIRA. Kali ini, untuk pertama kalinya babak baru dimulai.

PEMIRA menggunakan mekanisme E-voting, dengan dalih menghindari keributan mahasiswa, memudahkan proses pemilihan, dan alibi-alibi lainnya yang tidak berkualitas. PEMIRA kali ini merupakan sebuah intervensi kaum borjuis terhadap hak kaum proletar. Kaum borjuis terlalu jauh melangkah sehingga terjadi offside karena melewati garis batas “memfasilitasi PEMIRA” yang menyebabkan terjadinya “intervensi PEMIRA”. Sedangkan pihak-pihak kaum proletar yang sudah dipilih dan berada diatas awang-awang serta bertanggungjawab dalam PEMIRA, selalu manut dan patuh terhadap perkataan kaum borjuis, layaknya tuan dan budak. Mungkin karena ketidaktahuannya, atau ketidakmampuannya, atau mungkin karena ketidakmautahuannya.

E-voting untuk pertama kalinya dilaksanakan tanpa regulasi sehingga menjadikan PEMIRA dimata hukum sebagai suatu kegiatan yang ilegal. Konsekuensi logis dari PEMIRA ilegal adalah calon-calon yang terpilih batal demi hukum. E-voting tanpa regulasi, tanpa infrastruktur yang mendukung, dan tanpa mekanisme serta sistem yang bagus tetap bersikeras untuk dilaksanakan, maka akan berdampak pada prinsip-prinsip PEMIRA yang tidak akan terpenuhi.

Jika dikarenakan hal-hal teknis suatu prinsip tidak dipenuhi, maka penyelenggaran kegiatan tersebut cacat moral dan cacat hukum. Kaum borjuis dalam hal ini mengintervensi hak kaum proletar melalui E-voting, mengambil alih kewenangan KPU melalui Pustipanda, kemudian tidak bertanggungjawab terhadap masalah-masalah yang muncul seperti akun seseorang dari kaum proletar dibobol oleh orang lain, dan pembobol tersebut memilih calon yang bukan pilihan dari kaum proletar.

Terlihat jelas melalui kacamata Marx, bahwa kaum borjuis benar-benar tidak ingin melaksanakan kegiatan ini dan tidak ingin menyia-nyiakan kekayaannya terhadap hak-hak kaum proletar dalam hal apapun termasuk PEMIRA. Sehingga anggaran dana PEMIRA yang seharusnya diberikan kepada kaum proletar, dirancang sebaik mungkin oleh kaum borjuis agar anggaran tersebut tidak pernah lagi dikeluarkan, itulah E-voting, itulah eksploitasi yang sedang dilancarkan.

Pertanyaan yang muncul kemudian, kemana perginya anggaran dana yang seharusnya menjadi hak kaum proletar itu dihabiskan? Apakah anggaran dana itu diambil alih oleh kaum borjuis tanpa ada persetujuan dari kaum proletar? Apakah anggaran dana itu telah digunakan oleh kaum borjuis dan dibayarkan kepada oknum terlebih dahulu jauh-jauh hari sebelum PEMIRA dilaksanakan agar posisi kaum borjuis dapat diamankan di Kementerian Agama? Tidak ada lidah kaum borjuis yang dapat dipercaya. Satu-satunya yang bisa meyakinkan kaum proletariat adalah bukti transparansi anggaran dana.***

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.