Artikel

Menelusur Negeri Gordang Sambilan

Oleh: Chanak
(Angota Tim Dokumentasi Ensiklopedi Musik Tradisional “Negeri Sejuta Bunyi”, tinggal di Jakarta)

Indonesia tanpa Gordang Sambilan bukanlah Republik Indonesia yang seutuhnya. Alat musik Gordang Sambilan adalah musik rakyat, yang tumbuh di tengah kehidupan rakyat, dan dipergunakan untuk upacara kerakyatan. Agar musik ini tetap lestari, perlu dilakukan berbagai upaya untuk mendekatkan musik tradisional ini kepada anak-anak Indonesia, agar mereka lebih tahu bahwa negeri kita ini kaya akan budaya.

Setelah menelusuri perjalanan darat dari Padang kurang lebih 9 jam, dengan pemandangan kiri dan kanan hutan nan hijau di sepanjang jalan raya Lintas Sumatera, sampailah penulis dan rombongan di Muara Sipongi.

Penulis mengira setelah memasuki jalan dengan kualitas buruk itu daerah tujuan sudah dekat, ternyata masih harus masuk lagi sejauh 12 km dengan sisa-sisa tanah longsor di beberapa tempat. Setelah melalui beberapa perkampungan dan melintasi Sungai Batang Gadis, akhirnya sampailah tim dokumentasi Ensiklopedi Musik Tradisional “Negeri Sejuta Bunyi” di Pakantan, Mandailing Natal, Sumatera Utara.

Namun kedatangan kami yang disambut hangat oleh warga Pakantan itu terganggu karena padamnya aliran listrik, sehingga malam itu kami hanya berdiam di rumah salah satu warga sambil berbincang tentang berbagai hal yang berkaitan dengan Pakantan dan Gordang Sambilan.

Baru keesokan paginya kami bisa menyaksikan keindahan alam dan perkampungan yang sungguh menakjubkan. Seperti saat hendak mengunjungi rumah raja, di sepanjang jalan kampung itu kami melihat deretan rumah-rumah kayu yang tertata apik. Juga seperti layaknya daerah perkampungan lainnya, kami juga bertegur sapa dengan warga masyarakat yang ramah.

Gordang Sambilan memiliki kekhasan dan kekhususan dibandingkan dengan alat-alat musik lainnya. Seperti disampaikan oleh Jabatin Bangun, seorang peneliti musik Gordang Sambilan, “Gordang Sambilan tidak hanya sekadar dimainkan seperti alat musik lain, lebih dari itu musik ini juga berhubungan dengan banyak aspek dalam kehidupan masyarakatnya.

Setelah saya berkeliling ke berbagai tempat di nusantara, ternyata Gordang Sambilan ini termasuk salah satu alat musik gendang terbesar di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Satu hal lagi yang menarik dari Gordang Sambilan adalah pola musikalnya yang merupakan satu kesatuan yang jalin-menjalin.

Jadi kalau kita belajar Gordang Sambilan tidak bisa hanya sendiri, harus bersama-sama orang lain agar bunyi yang dihasilkan menjadi satu kesatuan. Inilah kekhasan dari Gordang Sambilan, yaitu musik yang erat dengan kerakyatan. Musik ini hidup di tengah-tengah rakyat, dan dimainkan dalam berbagai upacara kerakyatan.”

Musik menggambarkan kebesaran budaya bangsa. Terlebih musik tradisinya. Begitu berartinya sebuah musik bagi hidup dan kehidupan manusia, sehingga muncul beragam cara manusia memperlakukan dan memposisikan alat musik dalam kehidupannya. Seperti terhadap alat musik Gordang Sambilan, Warga Pakantan, Mandailing Natal, meyakini bahwa Gordang Sambilan merupakan warisan leluhur yang memiliki nilai-nilai magis.

Hal itu dirasakan oleh Dwiki Darmawan, menurutnya “Musik Gordang Sambilan secara poliritmik memiliki keunikan karena ritmisnya dibentuk secara complicated dengan gordang yang jumlahnya sembilan dan dipadu dengan gong oleh beberapa orang pemain. Juga betapa mendalamnya detil-detil gerakan para penari manortornya. Dan saat mengikuti keseluruhan prosesi adat di Pakantan, saya merasakan kekuatan magis dari musik Gordang Sambilan ini.”

Untuk itu Dwiki Darmawan mengajak semua pihak untuk turut menjaga dan melestarikan Gordang Sambilan ini. Hal itu diungkapkan saat menyaksikan penampilan siswa SMP Negeri Pakantan yang memainkan alat musik peninggalan leluhurnya sebagai kegiatan pengembangan diri.

PROSESI ADAT PERNIKAHAN
Pakantan memiliki alam yang mempesona dan menyimpan kekayaan budaya yang mengagumkan. Satu lagi keberuntungan penulis, karena kunjungan ke Pakantan ini bertepatan dengan dilaksanakannya rangkaian prosesi acara Pabotohon.

Penggunaan Gordang Sambilan dalam upacara adat perkawinan di Pakantan memiliki beberapa persyaratan, antara lain dengan meminta ijin tetua adat, harus disembelih paling sedikit satu ekor kerbau, serta peragaan benda-benda kebesaran adat seperti bendera, tombak, pedang, dan payung Raranangan. Berbagai rangkaian acara pun mengiringi pelaksanaan upacara perkawinan adat yang masih dijaga secara turun – temurun.

Prosesi adat itu dimulai dengan Markobar atau musyawarah tokoh adat yang diikuti 9 Puak / Suku untuk mengambil keputusan dimulainya membunyikan Gondang 2 (Dua). Setelah Gondang Dua dimainkan, dilanjutkan dengan Manortor. Seseorang yang disebut Suhut atau Sipangkal membuka gelanggang dengan Manortor pertama, lalu diikuti oleh tokoh-tokoh adat yang lain. Acara Manortor ini berlangsung hingga empat (4) hari menjelang hari H Pesta Pernikahan. Setiap malam muda-mudi di desa Pakantan secara bergantian melakukan Manortor diiringi alunan musik Gondang Dua.

Setelah acara resmi dibuka dengan dibunyikannya alat musik Gondang Dua, keesokan harinya seperangkat alat musik Gordang Sambilan disiapkan di Sopo Godang. Hari-hari menjelang perayaan Pabotohon di desa Pakantan disibukkan dengan berbagai persiapan, seperti mengundang Anak Boru Parsarehan, memasang umbul-umbul, menyiapkan tempat pemotongan kerbau dan berbagai perlengkapan yang berkaitan dengan Horja.

Satu hari menjelang pesta, Gordang Sambilan dipindahkan dari Sopo Godang ke Rumah Raja sebagai tempat pesta. Acara pemindahan didahului dengan ritual adat yang diikuti oleh tetua adat dan warga masyarakat lainnya. Dalam ritual ini terjadi “sesuatu” yang mengejutkan, karena seorang tetua adat sempat mengalami trance. Dimana diceritakan bahwa ada “utusan” dari Gunung Kulabu yang membawa pesan berkaitan dengan dibunyikannya Gordang Sambilan tersebut.

Tamu dari gunung Kulabu itu, menurut Imran Lutfi Nasution, seorang tetua adat yang juga kepala Ripe Nasution, “Utusan itu membawa pesan agar warga Pakantan jangan tercerai-berai. Seperti halnya keberadaan Sopo Godang ini merupakan tempat penyatuan.”

Kemudian setelah proses pemindahan selesai, satu hari menjelang puncak acara Pabotohan, Gordang Sambilan yang telah berada di tempat pesta pun mulai dibunyikan. Dilanjutkan dengan mengarak pengantin perempuan ke tepi sungai Batang Gadis.

Dan, pada puncak acara Pabotohon, sejak pagi Gordang Sambilan dibunyikan untuk memberitahukan bahwa pesta segera dimulai. Warga dari 9 Puak di Pakantan berduyun-duyun menuju rumah raja sebagai tempat diselenggarakan pesta. Setelah warga berkumpul, masing-masing mengambil peran untuk membantu kelancaran pesta.

Ada yang mempersiapkan bumbu-bumbu, membersihkan beras, memasak air, memotong pisang, dan pemotongan kerbau. Setelah itu dilanjutkan dengan ritual pelaksanaan perkawinan. Pasangan pengantin yang masih berada di pelaminan dipandu untuk menjalani prosesi pernikahan secara adat.

Sementara di halaman dimainkan Gondang Dua yang diikuti dengan acara Manortor oleh tetua adat secara bergantian. Usai menjalani beberapa rangkaian acara adat, pasangan kedua mempelai diarak beramai-ramai ke Tapian Raya Bangunan / Sungai untuk menghilangkan Haposan bagi laki-laki dan Habujingan bagi perempuan.

Sepulangnya dari sungai, dilanjutkan dengan acara Markopi atau makan siang. Dan sebagai puncaknya adalah prosesi penabalan nama si pengantin pria. Acara ini diikuti oleh tokoh-tokoh adat, dimana tokoh adat menunjuk satu orang yang disebut Bayodatu untuk memberikan nama kepada Marapule.

Akhirnya, hasil sidang memutuskan nama pengantin pria yaitu Raja Barani Lubis (kakak) dianugerahi gelar Raja Gumanti Porang Dibata, sedang si adik, Raja Lubis dianugerahi gelar Raja Parlaungan Dibata.

Tinggal selama lima hari di Pakantan, penulis merasakan beberapa keunikan dan sensasi yang jarang ditemukan di tempat lain. Pagi hari pertama, penulis merasa kembali hidup di kampung halaman beberapa puluh tahun lampau, dimana untuk mandi dan buang hajat harus ke sungai. Untuk berkomunikasi, penulis harus keluar kampung sekitar setengah jam perjalanan agar mendapatkan signal. Penulis juga merasakan kekerabatan yang sudah lama tak dijumpai di ibukota Negara ini. Dan yang paling mengesankan adalah melihat anak-anak memainkan alat music tradisional warisan leluhurnya. Sungguh penulis merasa iri dengan anak-anak itu. Serta banyak lagi keunikan lain yang sempat mengejutkan.

Apalagi disini penulis juga bisa mendengarkan alunan musik Gordang Sambilan yang dimainkan dengan apik oleh grup Gunung Kulabu. Juga dapat berbincang tentang perkembangan musik Gordang Sambilan bersama Ridwan Aman Nasution, Pimpinan Grup Gordang Sambilan Gunung Kulabu, Pakantan yang banyak diundang di berbagai acara di Medan, serta UCOK atau Ishaq Jamal Lubis, Seniman Gordang Sambilan yang sudah malang melintang ke berbagai Negara di dunia untuk mempromosikan musik Gordang Sambilan.

Hingga akhirnya penulis berkesimpulan, Gordang Sambilan merupakan salah satu warisan budaya leluhur bangsa Indonesia yang harus terus dilestarikan. Bunyi yang dihasilkan Gordang Sambilan akan mengiringi gerak kehidupan anak bangsa ini dalam kesatuan untaian Negeri Sejuta Bunyi. ***

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.