Pendidikan

Mengenal dan hakikat Manusia


ولـقـد كرمنـا بنى أدم وحـملـناهم في الـبـر والــبحر ورزقـنــاهم من الـطيبــا ت وفضــلـناهـم على كثـيـر مـم،ن خـلقـنا تـفـضـيـلا
Artinya : “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan” (QS. Al Isra’: 70)

Suatu siang, jalan baru di pinggiran kota dipenuhi kerumunan orang. Mereka saling berdesakan untuk bisa melihat obyek pandangan yang menjadi sasaran penglihatan mereka. Ternyata yang menjadi obyeknya adalah seonggok mayat yang penuh luka. Rupanya itu adalah mayat seorang residivis yang diamuk massa. Mayat itu tergeletak dibiarkan begitu saja. Orang lalu lalang silih berganti hanya untuk melihat, mayat siapakah gerangan?. Itu saja yang diperbuat orang banyak bukan untuk memberikan pertolongan atau memproses mengurusi jenazahnya. Ada pula yang sumpah serapah kepada mayat tersebut, bahkan ada juga yang merasa senang atas tewasnya sang residivis, karena berkuranglah kejahatan yang dilakukan orang itu.
Sementara di sudut kampung terdapat sebuah rumah yang dipenuhi kerumunan orang yang ingin takziyah melayat jenazah seorang ustadz di wilayah itu. Rumah kecilnya tidak pernah berhenti dikunjungi orang. Mereka sangat menghormati sang ustadz yang teramat mereka cintai. Karena jasa-jasa beliau begitu banyak memberikan pencerahan aktivitas keagamaan di kampung terpencil itu. Bahkan orang yang menshalatkannya bergiliran secara bergelombang lantaran penuh sesaknya orang yang ingin turut menshalatkannya. Begitu pula ketika mengantarkannya ke pemakaman tempat peristirahatannya yang terakhir, masyarakat berduyun-duyun mengiringinya. Tampak raut wajah penuh duka kehilangan figure guru yang mereka cintai, karena telah mengajari mereka tentang kebenaran. Petuah ajarannya yang menjadikan mereka lebih memahami kebenaran dan kebatilan.
Potret dua keadaan di atas sangatlah bertolak belakang. Hal ini merupakan tampilan masyarakat yang dapat kita temukan dengan mudah di sekitar kita. Seonggok jenazah yang pertama dan kedua diperlakukan berbeda oleh masyarakatnya. Perlakukan itu semakin memperjelas bagi kita tentang kedudukan dua orang tersebut yang mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan kualitas dan hakikat dirinya sebagai manusia. Sekalipun secara fisik keadaan mereka berdua tidaklah berbeda satu dengan yang lainnya
Makalah ini mencoba menyingkap lebih jauh hakikat manusia ditinjau dari segi falsafati. Lalu mencoba menghubungkannya dengan pendidikan. Karena pendidikan adalah proses yang dilakukan untuk memanusiakan manusia.

Pandangan Umum tentang Hakikat Manusia

Suatu ketika, saya pernah menjumpai sebuah buku yang saya telah lupa judulnya, dalam buku itu ada sebuah tulisan singkat namun sarat makna. “Kita terlambat untuk mengenal diri kita sendiri”
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang berbicara tentang manusia. Bahkan, wahyu pertama yang turun di Gua Hira’, manusia merupakan makhluk pertama yang disebut sebanyak dua kali. Namun, manusia tetap Man the Unknown, mengetahui hakikat manusia bukanlah pekerjaan mudah. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri.
Masalahnya, Bagaimana kita memahami manusia?
Sebagian pakar mendefenisikan bahwa ilmu adalah pengetahuan tentang sesuatu sebagai mana adanya . Bagaimana cara kita mengetahui tentang sesuatu (manusia) sebagaimana adanya? Sistem epistimologi yang bagaimana bisa menghasilkan konsep kemanusiaan yang benara?
Sebagai pendekatan untuk memahami ini, saya coba membuat ilustrasi. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar di dalam pikiran kita. Misalnya, kita melihat manusia, kemudian mengatakan itu adalah manusia. Ini berarti kita telah mempunyai pengetahuan tentang manusia. Tetapi apakah konsep indrawi tersebut sudah menjawab problema hakikat manusia?.
Jika kita meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut.
Jika titik beratnya ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya akan berupa ilmu tentang manusia dilihat dari anatomi tubuhnya atau antropologi fisik. Jika ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya akan berupa ilmu manusia dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas nampak bahwa pengetahuan yang telah disusun atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia. Tetapi apakah itu hakikat manusia? Bukankah kita akan menghasilkan pengetahuan tentang manusia yang parsial?
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya akan berupa suatu “filsafat”. Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya, kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, akan tetapi hakikat manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi.
Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncak ciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yang prima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4).
لـقـد خـلـقـنا الانسـان في احـسـن تـقـويـم
Namun begitu bahwa kualitas kemanusiaan kita masih belum selesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuang untuk menyempurnakan dirinya. Proses penyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnya manusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagi seorang mukmin masih ditambah lagi dengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagai petunjuk hidupnya (QS. 4:174)
Berarti pada saat ini kita belum menjadi manusia yang sebenarnya, lalu apa namanya? Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi:
مـن عـرف نـفـسـه فــقـد عـرف ربــــه
Siapa yang telah mengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi, pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseorang untuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangka mengenal Tuhan.
Jauh sebelum itu, Sun Tzu, filosof militer legendaris Cina yang hidup di abad ke 6 SM memberi petuah “Kenali diri sendiri dan kenali musuh, maka dalam seratus pertempuran kalian tidak akan mengalami bahaya”. Petuah ini dipercaya bangsa Cina kuno ketika para dinasti bergantian mengontrol wilayah negeri tirai bambu itu.
Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakui kalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kini manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya
Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya. Manusia makhluk misterius?
Semakin seorang ahli pikir mendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pula ia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berarti semakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsung ilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaan Tuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnya akan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakan dekrit-Nya.
Bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhan sebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahi gambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawuf memproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih.
Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena pada dasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itu lahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya. Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalah mengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, maka langkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimana mengenal diri kita secara benar
What is man, and of what is man made? Makhluk manusia yang disebut dengan istilah berbagai macam seperti homo faber, homo sapiens, homo rationale, animale social, mencerminkan gambaran apa yang terkandung sebagai sifat manusia. Dengan kata lain penamaan itu bersumber dari potensi yang terkandung dalam diri makhluk ini. Dan belum tentu sebagai jawaban terhadap hakikat manusia itu sendiri.
Dibawah ini adalah aliran-aliran filsafat yang mencoba menggali lebih dalam tentang hakikat manusia.
1. Aliran Monoisme ialah faham yang menganggap bahwa seluruh semesta, termasuk manusia, hanya terdiri atas satu asas, satu zat. Faham ini terbagi kedalam dua yaitu :
a. Faham Materialisme, paham ini berpendapat semua yang dilihat adalah materi, serba benda, serba zat. Itulah hakikat. Maka manusia sebagai materi (terdiri atas darah, daging dan tulang), sifat dan tingkah lakunya harus sejalan dengan sifat dan tingkah laku alamiah, yakni terikat dengan hukum alam otomatis harus pada hukum kausalitas.
Apa yang disebut dengan ruh, jiwa, pikiran dan perasaan tidak lain adalah fungsi atau kerja badan yang terdiri dari zat untuk merespon stimulus yang datang dari alam. Maka manusia hanyalah membutuhkan pengalaman, latihan dan pendidikan adalah sarananya . Untuk itu kurikulum harus sesuai dengan kodrat alamiah. “Yang ada dalam wujud adalah zat. Zat dan sifatnya badan tidak pernah tinggal dalam dua zaman”
Bagi mereka yang berpandangan empirisme-materialistik akan sulit diajak untuk menghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimana yang lazim diyakini di kalangan para sufi.
Paham pemikiran Materialisme ini memberikan implikasi terhadap pemahaman Jhon Lock tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia yang mengatakan bahwa setiap manusia lahir dalam keadaan kosong dan pengalamannyalah yang memberikan ilmu pengetahuan (Empirisme). Jhon Lock berpendapat bahwa pendidikan memberikan tujuan membawa anak didik untuk dapat memilih yang baik dari yang jahat dan mengendalikan nafsu-nafsunya serta dapat mengikuti apa yang dituju akal sebaik-baiknya dengan bantuan sepenuhnya oleh panca indera
Aliran Positivisme juga berasal dari pemahaman ini, yang berpendapat bahwa Sumber Ilmu Pengetahuan berasal dari Fakta dan cara memperoleh ilmu pengetahuan yang benar adalah melalui penelaahan fakta yang ada melalui panca indera. Dengan kata lain, satu-satunya pengetahuan yang benar adalah diperoleh melalui pengamatan dan pengalaman panca indera

Terakhir kritik terhadap aliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akan mudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Barat kontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telah mereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagai moral and religious being

b. Faham Idealisme, paham ini juga disebut dengan spritualisme, rasionalisme. Bagi penganut aliran ini fungsi mental adalah segalanya. Karena itu jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa manusia. Karena itu hakikat manusia adalah mind. Jiwa ialah asas primer yang menggerakkan semua aktiviotas manusia. Sedangkan jasmani tanpa jiwa akan tiada berdaya sama sekali. Filsafat Idalisme memandang bahwa realitas akhir ialah Roh, bukan materaia (fisik)
Bagaimana hubungan pendidikan dengan manusia? Pada saat ini pendidikan harus dilaksanakan untuk mengembangkan potensi jiwa. Pendidikan bukanlah karena faktor luar, pengalaman, melainkan ditentukan oleh faktor dalam (potensi-potensi hereditas). Paham pemikiran ini melahirkan teori pendidikan yang bernama Nativisme
Idelalisme mengemukakan bahwa pengetahuan yang benar hanya merupakan hasil akal belaka, karena akal dapat membedakan bentuk spritual dari benda-benda yang diluar penjelmaan material, sehingga pengetahuan yang diperoleh melalaui indra tidak pasti dan tidak lengkap. Karena dunia hanyalah merupakan tiruan belaka, sifatnya maya yang menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya

Aliran Idealisme mengarahkan pengembangan ilmu pengetahuan di sekolah sebagai pengaktifan kembali ide rohani yang berasal dari ide besar (Tuhan). Kaum idealis percaya bahwa anak, merupakan bagian dari alam spritual, yang memiliki pembawaan spritualsesuai dengan potensi aktivitas. Oleh karena itu filsafat idealisme, menekankan pada pertumbuhan rohani.
Al-Ghozali juga mengatakan bahwa manusia adalah al-Nafs (jiwa). Ini menunjukkan bahwa esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah suatu yang mempunyai tempat dan fungsi fisik adalah suatu yang tidak berdiri sendiri keberadaanya tergantung fisik
Hakikat segala yang ada, juga manusia adalah idea. Idea (Ruh) itu non materi karena itu ia tidak menempati ruang. Tetapi bagaimana dengan kenyataan yang kita sebut materi? Materi adalah manifestasi ruh dalam arti lain kenyataan materi ini adalah kekeliruan pandangan kita saja

2. Aliran Dualisme, aliran ini melihat realita semesta sebagi sintesa dua kategori yaitu, benda mati dan makhluk hidup. Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga. Tetapi sangat sulit menrangkan bagaimana sintesa rohani dan jasmani (mind dan body). Misalnya pada persoalan : dimana letaknya mind dalam pribadi manusia? Kalau jawabannya adalah otak. Bagaimana mungkin mind yang bersifat immateril bisa menempati materi? Sebuah pertanyaan yang sangat sulit untuk menjawabnya. Sama halnya bagaimana sesuatu yang bersifat immateril seperti pikiran dapat melakukan proses interaksi dengan suatu yang materil seperti jasmani? Bagi aliran ini pendidikan adalah masalah latihan mind (yakni daya-daya jiwa), meskipun demikian jasmani tetap mengambil peranan aktif yang penting dalam semua aktifitas. Dengan demikian segala aktifitas manusia merupakan kerjasama antara jasmani dan rohani.
3. Eksistensialisme
Titik soal eksistensialisme adalah suatu eksistensi manusia adalah yang dipilih dalam kebebasan. Manusia dapat meragukan keberadaan benda-benda diluar dirinya, tetapi dirinya sendiri tida dapat diragukan. Manusia sadar akan dirinya sendiri dansegala sesuatu yang berada disekitarnya adalah hal-hal yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Manusia adalah raelitas yang belum selesai, yang harus di bentuk untuk dapt berguna dan bermakna.
Dalam arena pendidikan pemahan ini memberi tekanan pada pengalaman yang kongkrit, pengalaman eksistensial. Maka tidak seorangpun bisa mencapai kebenaran apabila hanya menjadi penonton atau hanya melakukan observasi tanpa berperan serta dalam kehidupan itu sendiri. Kebenaran hanya akan ditemukan di alam kongkrit dan bukan didalam yang abstark. Kebenaran hanya dapat dijumpai di dalam eksistensial dan bukan secara rasional.
Alm. Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada dengan menggunakan istilah “antropologi metafisik” memberikan tambahan untuk memberi jawaban terhadap hakikat manusia
4. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh.
5. Pluralisme, yang mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas, misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang dapat digolongkan bernilai filsafati. Misalnya:

Aristoteles:
1. Manusia adalah animal rationale. Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan: Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia
a. Tumbuhan = benda mati + hidup —-> tumbuhan memiliki jiwa hidup
b. Binatang = benda mati + hidup + perasaan —-> binatang memiliki jiwa perasaan
c. Manusia = benda mati + hidup + akal —-> manusia memiliki jiwa rasional
2. Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial.
3. Manusia adalah “makhluk hylemorfik”, terdiri atas materi dan bentuk-bentuk

Ernest Cassirer
Manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.

Pandangan Islam tentang Manusia
Dalam al-Qur’an ada tiga kata yang menunjuk pada makna manusia ini ; al-Basyar, al-Nas dan al-Ins. Kata al-Basyar, pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar yang sama lahir kata Basyarah, yang berarti kulit. Hal ini menjelaskan bahwa manusia memilki kulit yang tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang lainnya, yang cenderung memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain.
Kata al-Basyar ini, menunjuk pada dimensi lahiriyah manusia. Oleh karena itu, ketika al-Qur’an berbicara tentang sisi kemanusiaan Muhammad untuk menerima wahyu sebagaimana para shabatnya “aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi wahyu” (QS. Al-Kahfi : 110). Disisi lain kata al-Basyar, juga mengisaratkan tentang proses kejadian manusia yang melalui beberapa tahap, hingga mencapai kedewasaan. “dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya, (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu menjadi basyar, kamu bertebaran” (QS. Al-Rum : 20).
Bertebaran disini, bisa diartikan sebagai mahkluk yang berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rizki. Kedua ini, tidak dilakukan oleh manusia, kecuali karena ia memiliki kedewasaan dan bertanggungjawab. Tidak heran, ketika Maryam merasa keheranan karena ia mengandung tanpa menikah, ia menggunakan kata basyar.
Kata al-Ins, terambil dari kata uns, yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Kata ini, sering menunjuk pada dengan seluruh totalitasnya, yaitu jiwa dan raga. Manusia memiliki tingkat kecerdasan, fisik, maupun mental dengan yang lainnya.
Sementara al-Nas, lebih menunjuk pada posisi manusia sebagai mahkluk sosial. Al-Qur’an, ketika akan berbicara pada kesatuan dan persatuan masyarakat, saling membantu (QS. Al-Hujarat : 13), manusia berasal dari satu keturunan maka tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dan anjuran untuk saling bersilaturrahmi (QS. Al-Nisa’ : 1). Kesemua itu adalah indikasi dari dimensi manusia sebagai al-Nas.

Hakikat Penciptaan Manusia
Secara ideal, penciptaan manusia adalah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-Tin yang artinya “Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia dalam keadaan sebaik-baiknya”. Yaitu dalam bentuk yang paling serasi dan kepribadian yang paling sempurna. Oleh sebab itu, secara fitrah, manusia adalah makhluk yang jauh dari egoisme, dengan hati yang peka dalam berkasih sayang, sebagaimana yang disaksikan pada diri anak-anak yang belum memiliki dosa.
Fitrah itu sendiri berarti “belahan” yang berambil dari kata al-fathr. Dan dari kata ini pula muncul makna “penciptaan” atau “kejadian”. Maka fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semuala atau bawaan manusia sejak lahirnya.
Sementara itu, secara normative tujuan penciptaan manusia pada hakikatnya adalah sebagai al-Khalifah fi al-Ardl, sebagaimana yang diungkapkan dalam al-Qur’an :
“Ingatlah ketika Tuhanm,u berfirman kepada Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan Khalifah dimuka bumi’. Mereka berkata , ‘Apakah Engkau hendak menjadikan dibumi itu siapa yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu’. Kemudia Tuhan berfirman ‘Sesungguhnya Akau mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (QS. Al-Baqarah : 30).

Kata Khalifah ini pada mulanya memang berarti “menggantikan” dan “melanjutkan”, tetapi sebenarnya merupakan ujian dan penghormatan kepada Adam, untuk menjaga keseimbangan bumi. Atau prototype penciptaan manusia yang pertamakalinya tercipta melalui tangan Tuhan ini, merupakan upaya pemberian pengetahuan (al-‘ilm) mengenai keadaan dan sifat-sifat yang kasat mata dan intelligible, pengetahuan mengenai Tuhan (ma’rifah Allah). Hal inilah yang menjadikan kelebihan manusia disbanding dengan makhluq ciptaan Tuhan lainnya.
Manusia menjadi berbeda dengan makhluq lain di dunia ini, karena fungsi akal yang dimilikinya. Bahkan manusia akan lebih ‘Alim (mengerti maksud firman Tuhan) dengan Malaikat, karena akal yang dipunyainya. Dan apabila akal tidak dimanfaatkan dengan benar, justru akan menimbulkan kekacauan dan ketegangan antar manusia. Ketegangan dan kekacauan ini muncul, lantaran pikiran dan perasaan seseorang, ditunggangi oleh kepentingan yang selalu muncul dalam diri manusia.
Sederet peristiwa kekerasan yang terjadi selama ini, baik antar individu, antar kelompok, maupun kekerasan antar ras dan golongan serta kekerasan antar agama, sepertinya bukanlah sebuah peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Kekerasan-kekerasan tersebut, muncul justrukarena pola fikir yang salah pada diri manusia, yang kemudian diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku yang a moral (tidak bermoral).
Hal inilah, yang mungkin menjadi kekhawatiran para Malaikat, ketika Allah akan menciptakan Adam untuk menjadi Khalifah di bumi, sebagaimana dikishakan dalam Surah al-Baqarah ayat 30 tersebut. Akan tetapi pada ayat selanjutnya, ayat 31, Allah kemudian meyakinkan para Malaikat dengan memberikan beberapa pengetahuan kepada Adam, tentang nama-nama dan system penggunaannya. Adam kemudian diberi bekal akal untuk mampu berfikir dinamis dan professional dalam memanfaatkan akalnya. Dengan adanya bekal pengetahuan, yang tentunya di sertai dengan pemanfaatan potensi akal, Malaikat pada akhirnya menerima pengangkatan Khalifah tersebut. Sehingga ketika Allah meminta para Malaikat untuk bersujud kepada Adam, maka merekapun bersujud, kecuali Iblis yang kemusdian oleh Allah digolongkan menjadi kelompok al-Kafirun (QS. Al-Baqarah ; 34).
Penolakan Iblis untuk bersujud kepada Adam inilah, bentuk pengingkaran mahluq Allah pertama kali. Penolakan ini didasarkan pada alasan bahwa dia (iblis) lebih baik dari Adam. “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sementara Adam Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf ; 12). Begitu alasan Iblis tidak mau sujud kepada Adam.
Ada dua hal paling tidak, mengapa Allah kemudian mengelompokkan Iblis bersama-sama dengan orang-orang kafir. Pertama, Iblis telah merendahkan Adam secara asal penciptaan (genetika Adam) maupun secara fungsional. Ini adalah bentuk rasialisme, yaitu memandang rendah golongan satu dan kemudian mengunggulkan golongan yang lain.
Kedua, Iblis tidak bisa menghargai wawasan dan pandangan Adam tentang nama-nama yang diberikan Allah kepadanya. Penghargaan ini sangat penting untuk menciptakan kedinamisan wawasan dan pandangan seseorang terhadap dinamika atau perkembangan pengetahuan. Hal inilah yang menjadikan Iblis termasuk dalam kelompok al-Kafirun, orang yang menolak fikrah (pola fikir) Adam.
Jika diidentifikasi lebih jauh, proses dialog diatas menggambarkan bahwa bagaimana Malaikat yang menghormati (dengan sujud) kepada Adam adalah termasuk golongan yang bukan al-Kafirun. Sementara Iblis dengan kesombongannya, telah merusak proses dialogis tersebut dengan dikeluarkannya ia dari Majlis (surga) oleh Allah.
Sehingga, sebagai Khalifah ini, manusia diproyeksikan untuk mampu membangun dimensi vertikal ke arah horizontal. Secara vertikal, hanya manusia yang mampu mengetahui realitas yang dia sendiri menjadi salah satu manifestasi-Nya. Yaitu, manusia mampu bangkit melampui egonya yang bersifat duniawi dan kontingen, melalui wahyu dan ilham, Allah berfirman kepada manusia, melalui do’a dan juga kesadaran yang merupakan bentuk komunikasi tanpa suara. Secara actual dan potensial, hal ini merupakan cerminan dari bentuk totalitas dan tidak terpuaskan oleh sesuatupun selain kepada Yang Total. Ia merupakan keterpaduan tanpa unsur, karena ia merupakan cermin yang didalamnya terpantul nama dan sifat Allah yang dihadapan-Nya, ia berdiri tegak.
Sementara secara horizontal, manusia “diikat” oleh persetujuan yang telah diidentifikasikan dalam al-Qur’an, kemudian dikenal dengan “hari” Alastu ; “dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ‘bukankah Aku ini Tuhanmu?’ (alastu bi rabbikum). Mereka menjawab ‘benar, kami bersaksi (bahwa Engkau benar-benar Tuhan kami)’. Disini ada prises perjanjian (dalam istilahnya Nurcholis Madjid “Perjanjian Primordial”) dan pengakuan yang dilakukan sebelum kesadaran manusia muncul. Implikasi yang muncul serupa adalah adanya ayat lain yang menyebutkan bahwa ; “Sesungguhnya Kami telah mengemukakanamanat ini kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanah itu dan mereka akan menghianatinya. Kemudian dipikulah amanat itu kepada manusia”. Rujukan kepada “gunung-gunung” itu diperjelas dengan ayat lain yaitu “Kalau sekiranya Kmi menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnua tunduk dan terpecah karena takut kepada Allah…”. Wahyu, pengetahuan, kekhalifahan, dan sentralitas (menghadap Tuhan) merupakan aspek-aspek kewajiban yang harus dipikul oleh manusia. Sehingga siapa yang mampu melaksanakannya , dialah manusia sejati.
Oleh karena itu, bagi al-Attas tujuan utama bagi sebuah agama (al-dîn) adalah mengembalikan manusia kepada “perjanjian primordial”-nya dan keadaan ketika manusia (Adam) dijadikan sebagai khalifah (dalam bahasanya al-Attas adalah the State of the Pre-Separation), suatu keadaan yang didalamnya terdapat kesadaran akan jati diri dan nasib spritualnya melalui ilmu pengetahuan yang benar dan tingkah laku yang baik (al-Akhlâqul al-Karîmah). Dengan demikian akan tercipta suasana dinamis, yang akan mengantarkan kita ke Surga, “Nabi bersabda, Tahukah kalian apa yang paling banyak menyebabkan manusia masuk surga?, yaitu bertaqwa dan berbudhi pekerti luhur (HR. Ahmad).
Selain itu, konsekuensi logis dari pelimpahan “tugas” ke-khalifahan dan adanya perjanjian primordial ini, menuntut manusia untuk menjadi ‘abd-Nya. Secara naratif, penggambaran dari peran ini adalah “dan Aku tidak akan menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”. Kecendrungan untuk menjadi ‘abd-Nya, berarti manusia harus tunduk dan patuh secara total kepada setiap kehendak-Nya. Manusia harus dengan pasti secara total vis a vis kepada kehenda Allah, melaksanakan kehendak dan perintah Allah sesuai dengan hukum alam.
Bagaimanapun manusia diciptakan dalam keadaan tidak sekali jadi. Ia dilahirkan dalam keadaan belum selesai. Karena itu, disamping pertumbuhan badani yang berlangsung secara alamiah, ia sendiri membangun dan mengembangkan pribadinya sesuai dengan titah kejadiannya (Ãlastu bi Rabbikum). Al-Qur’an sendiri memberikan isyarat yang jelas, bahwa perlunya proses penyempurnaan diri pribadi ini, “Demi sukma dan penyempurnaannya”. Proses penyempurnaan diri (taswîja al-nafs) adalah proses dimana manusia berusaha mengadakan perubahan dan peningkatan dirinya. Proses ini berlangsung secara manusiawi. Artinya, bahwa proses tersebut tergantung pada faktor manusia itu sendiri sebagai makhluq yang memiliki kesadaran dan tanggung jawab. Misalnya sebagaimana firman Allah dalam Qur’an, yaitu “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah (nikmat yang dilimpahkan-Nya) kepada suatu kaum, jika tiada mereka mengubah keadaannya sendiri”.
Peletakan tanggung jawab dalam proses penyempurnaan ini, dilimpahkan pada kemampuannya untuk menentukan pilihan hidupnya, sebagaimana dinyatakan oleh Qur’an “(Allah) mengilhami (sukma) kejahatan dan kebaikan”. Sehingga dalam proses penyempurnaan diri itu, manusia berdiri sebagai subyek yang sadar dan bebas menentukan pilihan, apakah ia akan memilih fujûr, yang berarti menurut Muhammad Ali sebagai “jalan kejahatan”, sementara menurut Muhammad Abduh sebagai “hal-hal yang mendatangkan kerugian dan kejahatan” atau memilih taqwa, yang berarti “jalan kebaikan”, yaitu hal-hal yang menyebabkan manusia terpelihara dari akibat buruk”.
Jadi proses penyempurnaan diri yang terus menerus dan tidak mengenal titik akhir ini, harus menjadi entitas penting bagi tujuan pendidikan Islam. Karena “Hidup adalah satu dan terus menerus. Manusia senantiasa bergerak maju untuk selalu (bisa) menerima cahaya-cahaya baru dari realitas yang tidak terbatas, yang setiap saat muncul sebagai bentuk kemegahan yang baru”. Dan manusia, lanjut Iqbal, sebagai “penerima cahaya ketuhanan, bukanlah hanya sekedar penerima pasif. Setiap perbuatan ego merdeka, melahirkan suatu situasi baru, dan dengan demikian kemungkinan lebih jauh dari kerja kreatif”. Dari cara kerja kreatif inilah, manuisa secara terus menerus mengembangkan kepribadian dirinya, memperjelas kehadirannya, dan memberi bentuk serta isi pada keberadaannya, sebagai makhluq yang diciptakan dalam keadaan akhsân al-taqwîn.

Menurut Islam bahwa manusia sering mendapat pujian Tuhan. Hal ini terungkap, misalnya bahwa manusia diciptakan dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya. Bahkan Islam menegaskan bahwa manusia merupakan makhluk paling mulia dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain.
Tetapi, selain itu Islam juga menegaskan bahwa manusia seringkali mendapat celaan Tuhan. Hal ini terlihat dari pernyataan bahwa manusia amat aniaya dan ingkar nikmat, sangat banyak membantah, dan bersifat keluh kesah lagi kikir. Semua ini tidak berarti ayat-ayat al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, justru menunjukkan kelemahan-kelemahan manusia agar dihindarinya. Dengan kata lain, manusia sebenarnya mempunyai potensi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau menempati tempat hina sehingga tercela.
Islam menjelaskan bahwa manusia terdiri dari dua unsur pokok, yaitu gumpalan tanah dan hembusan ruh. Kedua unsur ini merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan karena itu bila dipisah (berhenti berintekrasi) maka ia bukan lagi manusia . Islam menjelaskan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya bersumber dari gumpalan tanah, dan memenuhi kebutuhan ruhaninya bersumber dari hembusan ruh. Ruh inilah yang menurut kaum sufi disebut qalb (hati).
Menurut doktrin al-Qur’an, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan ‘blueprint’-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini. Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinan yang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhan karena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya.
Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u’rafa fa khalaqtu al-khalqa fabi ‘arafu-ni –Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk maka melalui Aku mereka kenal Aku.
Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnya orang sufi menerima hadits tersebut. Meski demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan. Dalam QS. 15:29, misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memang terdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur’an beristilah “min ruhi.”.
Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyai definisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa inti tasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhuran nilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknya melainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga ia bisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suci yang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karena dalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulah muncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangan sufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan natur manusia yang paling dalam,yang pertumbuhannya sering terhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewani yang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yang bersifat imateri dan berperan sebagai “sopir” bagi kendaraan “jasad” kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilangan otonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi maka terjadilah kerancuan standar nilai. “Keakuan” orang bukan lagi difokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasi dan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk dan memerintah dari atas singgasana “imateri” dengan sifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai, senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci dan Abstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah.

Potensi yang Dimiliki Manusia
Untuk mempertahankan kedudukannya yang mulia dan bentuk pribadi yang bagus itu, Allah melengkapinya dengan akal dan perasaan yang memungkinkan manusia menerima dan mengembangkan ilmu pengetahuan, dan membudayakan ilmu yang dimilikinya. Ini berarti kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia itu adalah karena:
1. Akal dan perasaan
2. ilmu pengetahuan, dan
3. kebudayaan,
yang seluruhnya dikaitkan kepada pengabdian pada pencipta, Allah swt.
Sebagai “Cetak Biru” Allah dimuka bumi manusia dilahirkan membawa potensi untuk dididik dan mendidik. Kata Ins dan Basyar yang mempunyai arti melihat dan mengetahui, mengandung petunjuk adanya kaitan substansial antara manusia dengan kemampuan penalaran. Yakni dengan penalaran itu manusia mengambil pelajaran dari apa yang dilihat, ia dapat pula mengetahui apa yang benar dan apa yang salah. Pengertian ini dengan jelas menunjukkan adanya potensi untuk dapat dididik dan mendidik pada diri manusia.
Manusia sebagai makhluk Allah Swt. tentu memiliki kedudukan yang berbeda dari ciptaan-Nya yang lain. Oleh karena itu mereka mempunyai imtiyazat (keistimewaan) sebagai makhluk Allah Swt. Al-Qur’an menyebutkannya dalam beberapa sisi. Di antaranya;
1. Mukarram (makhluk yang dimuliakan) dalam QS. At Tiin: 4
2. Mukallaf (makhluk yang dibebankan tugas) dalam QS. Al Baqarah: 30 dan Ad Dzariyat: 56
3. Mujzi (makhluk yang mendapatkan balasan atas amalannya)
(QS. Az Zalzalah: 7 – 8).

Sampai sekarang manusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jati diri dan hakikat kemanusiaannya. Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan dan berkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan maka protret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecah meniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosok manusia semakin sulit dihadirkan secara utuh.
Sederet disiplin ilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran, politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanya menjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapi masing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda. Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyek materialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yang berbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu. Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuah misteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telah mengundang kegelisahan intelektual para ahli pikir untuk mencoba berlomba menjawabnya.
Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakan kalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalangan Islam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama, secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsi yang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya dengan Tuhan.
Penulis :Rz Nasution

Comments

Komentar Anda