Artikel

PELESTARIAN WARISAN BUDAYA MANDAILING (3-selesai)

Oleh: Z Pengaduan Lubis

2.4. Kebudayaan Fisik Arsitektur atau seni bina adalah bagian yang penting dari kebudayaan fisik masyarakat Mandailing. Terutama arsitektur atau seni bina bangunan adat berupa istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalam Mangadong atau Bagas Godang dan balai sidang adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang.

Kedua bangunan adat tersebut bukan hanya penting bagi masyarakat Mandailing dari segi penggunaan praktisnya saja. Tetapi juga dari keberadaannya sebagai lambang status untuk menunjukkan kehormatan, kemuliaan dan kebesaran kelompok masyarakat atau komunitas di tempat kedua bangunan itu berada. Artinya jika di satu tempat terdapat bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang, itu menandakan bahwa tempat tersebut merupakan pusat pemerintahan Huta atua Banua, yang sekaligus berarti bahwa di tempat tersebut telah diakui berdirinya satu kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.

Bagian depan dan bagian belakang dari atap kedua bangunan tersebut yang dinamakan bindu matoga-matogu atau tutup ari dihiasi dengan ornamen tiga warna (putih, merah dan hitam) yang disebut bolang. Setiap bagian dari ornamen tersebut mengandung makna perlambang. Misalnya bagiannya yang berupa garis-garis tegak lurus yang disebut bona bulu melambangkan bahwa di tempat tersebut berdiri satu kerajaan yang marrungga soit marranting. Yaikut kerajaan yang telah mempunyai kesatuan wilayah kekuasaan atau kesatuan teritorial, mempunyai lembaga pemerintahan Namora Natoras, mempunyai Datu, Sibaso dan Ulu Balang serta raja yang mengepalai pemerintahan.

Bagian dari ornamen yang berbentuk tiga segi yang disebut bindu atau pusuk robung, melambangkan sistem sosial Dalian Natolu yang dianut oleh masyarakat setempat.

Ornamen yang diterangkan pada tutup ari bagas godang dan sopo godang berupa garis-garis geometris (garis lurus) kecuali yang menggambarkan benda-benda alam, seperti matahari, bulan dan bintang serta bunga. Fungsi utama dari ornamen tersebut bukan sekadar sebagai hiasan, tetapi berfungsi simbolik untuk menunjukkan banyak hal yang berkaitan dengan nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat Mandailing.

Bagian-bagian dari bangunan bagas godang diberi nama juga mengandung makna simbolik. Misalnya tangga bagas godang dinamakan tangga sibingkang bayo, yang artinya ialah tangga sipengangkat orang. Maknanya ialah bahwa orang yang menaiki tangga istana raja akan bertambah kemuliaannya. Pintu bagas godang dinamakan pintu gaja manyongkir, yang artinya ialah pintu gajah menjerit. Maknanya ialah bahwa pintu istana raja senantiasa terbuka untuk dimasuki oleh rakyat.

Bangunan sopo godang (balai sidang adat) tidak berdinding. Keadaannya yang demikian itu melambangkan pemerintahan yang harus dijalankan secara demokratis. Penduduk atau rakyat harus dapat dengan bebas dan langsung menyaksikan persidangan yang dilakukan oleh Namora Natoras dan raja di balai sidang tersebut dan sekaligus dapat pula mendengar apa yang mereka bicarakan dalam persidangan.

Tiang-tiang sopo godang yang terbuat dari berbentuk segi delapan yang disebut tarah salapan. Keadaannya yang demikian itu menandakan bahwa pembangunan sopo godang sebagai balai sidang adat dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk dari delapan penjuru mata angin.

Aspek arsitektur tradisional Mandailing juga digunakan untuk menunjukkan atau melambangkan status sosial warga masyarakat. Contohnya ialah umlah anak tangga rumah tempat tinggal penduduk. Jika anak tangga rumah jumlahnya genap, keadaan itu menandakan bahwa penghuni rumah yang bersangkutan adalah golongan hamba. Demikian pula halnya dengan rumah yang daun jendelanya dibuka arah keluar. Bentuk atap rumah juga menunjukkan status sosial orang yang menempatinya. Rumah yang atapnya menggunakan gaya yang disebut saro cino, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut punya hubungan keluarga dengan raja dan termasuk dalam golongan bangsawan atau namora-mora. Rumah-rumah tempat tinggal yang bagian depan dan bagian belakang atapnya dihiasi dengan ornamen yang dinamakan bolang, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut adalah kerabat dekat dari raja dan termasuk golongan bangsawan.

Bangunan bagas godang, sopo godang dan rumah penduduk di Mandailing berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper berukuran relatif besar. Penggunaan batu sebagai landasan tiang-tiang bangunan merupakan bagian dari teknik arsitektuk tradisional yang digunakan oleh orang Mandailing untuk anto goncangan gempa yang dapat meruntuhkan bangunan.

Kalau misalnya terjadi gempa, goncangannya yang kuat tidak mudah merubuhkan bangunan karena tiang-tiangnya tidak langsung tercecah atau terbenam ke tanah. Batu-batu ceper yang digunakan sebagai landasan tiang-tiang bangunan sampai batas tertentu dapat meredam sebagian goncangan gempa dan menyelamatkan bangunan dari keruntuhan yang tiba-tiba.

Pada masa sekarang tidak banyak lagi bangun-bangunan dengan arsitektur tradisional yang dapat ditemukan di Mandailing. Sebagian besar sudah punah dimakan waktu dan yang masih tersisa, rata-rata usianya sudah tua.

Berhadapan dengan keadaan yang demikian itu, tampak kesedaran untuk memelihara atau melestarikan nilai-nilai arsitektur tradisionalnya belum tumbuh di tengah masyarakat Mandailing. Malahan generasi yang sekarang rata-rata tidak memperdulikan dan tidak memahami lagi berbagai makna simbolik yang terdapat pada bangun-bangunan tradisional sebagai warisan budaya mereka sendiri. Hal itu terjadi mungkin karena berbagai perubahan sosial-budaya telah membuat simbol-simbol yang meletak pada bangunan tradisional tidak relevan lagi dengan keadaan yang sekarang.

3. Peninggalan Masa Lalu dan Pelestariannya Dalam keadaan kurang atau malahan tidak diperdulikan, di Mandailing cukup banyak terdapat peninggalan masa lalu. Di kawasan Mandailing Godang, sekitar kota kecil Panyabungan, terdapat peninggalan dari zaman pra-sejarah berupa menhir dan lumpang batu.

Peninggalan dari zaman Hindu Budha juga banyak terdapat di kawasan tersebut. Seperti runtuhan candi Siwa di desa Simangambat dan batu linga di satu tempat yang bernama Padang Mardia di dekat kota kecil Panyabungan. Menurut Schnitger (1973:14) runtuhan candi Siwa tersebut berasal dari abad ke-8 atau ke-9. Di desa Siabu juga terdapat runtuhan candi. Di tempat yang bernama Padang Mardia itu juga terdapat batu-batu besar berbentuk bundar menggambarkan bunga teratai. Mungkin batu tersebut merupakan sisa runtuhan bangunan candi zaman Budha.

Di sekitar satu desa bernama Pidoli, terdapat tempat yang bernama Saba Biara (Sawah Biara). Di tempat tersebut, dalam keadaan tertanam beberapa meter dalam tanah terdapat banyak batu bata yang tersusun rapi. Karena tempat itu bernama Saba Biara, besar kemungkinan pada masa yang lalu di situ terdapat bangunan-bangunan biara Hindu.

Di satu gunung yang bernama Sorik Marapi terdapat pilar batu yang pada permukaannya terukir tulisan dan catatan tahun 1294 Caka.
Peninggalan dari masa kolonial Belanda juga masih terdapat di beberapa tempat di Mandailing, yaitu berupa gedung-gedung sekolah yang dibangun kurang lebih satu abad yang lalu. Bangun-bangunan perkantoran Belanda yang dahulu terdapat di beberapa tempat di Mandailing pada umumnya sudah diruntuhkan dan diganti dengan bangunan baru.

Masa kolonial di Mandailing yang berlangsung kurang lebih satu abad telah membawa pengaruh arsitektur Eropa ke dalam kehidupan masyarkat Mandailing. Di kota kecil yang bernama Kotanopan sampai sekarang masih banyak terdapat bangunan rumah penduduk yang bergaya arsitektur Eropa. Demikian juga halnya dengan bangunan hotel kecil dan passanggerahan dari masa kolonial yang masih terdapat di kota kecil tersebut.

Pada masa kolonial Belanda, Kotanopan merupakan tempat kedudukan Controleur Belanda dan merupakan pusat pendidikan di kawasan Mandailing Julu. Dan di tempat itulah pasukan militer Belanda membangun benteng pertahanan pertama kali ketika mereka mulai menduduki Mandailing pada awal tahun 1830-an. Tapi bangunan benteng Belanda itu sudah lama diruntuhkan dan tak ada sisinya lagi.

Sampai tahun 1960-an di Kotanopan masih berdiri bangunan besar yang terbuat dari kayu yang digunakan untuk tempat tinggal controleur Belanda. Bangunan tersebut dikenal dengan nama Godung. Tapi kemudian bangunan kolonial itu diruntuhkan dan diganti dengan bangunan kantor Camat. Di sebelahnya sampai sekarang masih berdiri bangunan gedung sekolah rakyat zaman kolonial dan masih tetap digunakan sebagai sekolah sampai sekarang.

Di sepanjang tepi jalan yang melintasi Kotanopan sampai sekarang masih terdapat banyak rumah penduduk yang dibangun dengan gaya arsitektur Eropa. Rumah-rumah tersebut pada umumnya kepunyaan orang-orang kaya dan terpelajar di masa kolonial. Dan sekarang ditempati oleh keturunan mereka. Adanya bangun-bangunan rumah yang bergaya Eropa itu menunjukkan bahwa gologan elite di Mandailing pada masa kolonial terbuka menerima pengaruh Belanda.

Masih banyaknya terdapat bangun-bangunan dengan gaya arsitektur Eropan (Belanda) di Kotanopan, membuat kota kecil tersebut sebagai satu-satunya tempat di Mandailing yang paling kay dengan bangun-bangunan peninggalan masa kolonial. Dan keadaannya yang demikian itu diperkaya pula dengan peninggalan budaya tradisional Mandailing yang masih cukup banyak terdapat di berbagai desa yang terletak relatif tidak jauh dari Kotanopan. Peninggalan budaya tradisional Mandailing tersebut berupa bangun-bangunan rumah tradisional yang terbuat dari papan dan beratap ijuk yang sepenuhnya dibangun berdasarkan teknik arsitektur tradisional Mandailing. Dan rumah-rumah tersebut yang terdapat di beberapa desa tersebut masih ditempati oleh penduduk.

Selain itu di beberapa tempat yang merupakan kerajaan kecil di masa lalu dan terletak tidak begitu jauh dari Kotanopan masih terdapat bangunan bagas godang dan sopo godang yang telah banyak dibicarakan pada bagian yang terdahulu.

Untuk menjaga dan memelihara agar berbagai peninggalan budaya tersebut tidak punah dimakan waktu dan gelombang perubahan yang terus terjadi secara cepat, sangat diperlukan usaha-usaha untuk melestarikannya. Tetapi sayangnya, sejauh yang saya ketahui, selama ini hampir tidak ada usaha yang dilakukan oleh pihak mana pun untuk melestarikan peninggalan budaya tersebut, meskipun keadaannya sudah sangat terancam oleh usianya yang sudah tua.

Tampaknya kendala yang terutama menghambat usaha untuk melestarikan peninggalan budaya Mandailing tersebut bukanlah ketiadaan dana (uang). Tetapi kurangnya kesadaran bahwa peninggalan budaya tersebut tinggi nilainya.

Di samping tidak adanya usaha untuk melestarikan peninggalan budaya Mandailing tersebut, usaha untuk memanfaatkannya buat pengembangan pariwisata (tourism) di Mandailing juga tidak berkembang. Sampai saat ini baru siap satu biro perjalan (travel bureau) dari Medan yang sudah mencoba memanfaatkan peninggalan budaya di Mandailing untuk bisnes parawisata. Usaha itu dilakukannya dengan menbangun restoran dan penginapan kecil di satu tmpat yang terletak berdekatan dengan desar Usor Tolang yang mempunyai banyak rumah traditional Mandailing. Desa tersebut terletak hanya beberapa kilo meter saja dari Kotanopan yang telah disebutkan tadi.

Kalau kadang-kadang saya berbicara dengan orang lain mengenai peninggalan atau warisan budaya Mandailing yang kini terancam oleh kepunahan, orang lain kawan saya bicara sering sekali bertanya dengan rasa heran, mengapa hal itu bisa terjadi sedangkan orang Mandailing banyak yang kaya dan berpendidikan tinggi. Tentu saja sulit bagi saya untuk menjawab pertanyaan yang demikian itu. Tapi akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa kendala yang terutama menghambat usaha pelestarian warisan budaya Mandailing bukan ketiadaan dana (uang), tapi kurangnya kesadaran bahwa peninggalan warisan budaya Mandailing mempunyai nilai yang tinggi, namun demikian masih saja diabaikan.

Usaha untuk melestarikan warisan budaya Mandailing yang peninggalannya masih cukup banyak terdapat di Mandailing Julu masih belum berkembang. Tapi belakangan ini, di satu kawasan yang bernama Ulu Pungkut, tidak jauh dari Kotanopan, beberapa tokoh yang berasal dari tempat tersebut sudah mendirikan bangunan bagas godang dan sopo godang yang baru di desa asal mereka masing-masing.

Saya tidak tahu dan tidak dapat memastikan apakah hal itu satu pertanda bahwa kesadaran untuk melestarikan warisan budaya etnisnya sudah mulai tumbuh di kalangan masyarkat Mandailing. Mudah-mudahan saja begitu. (Medan, akhir Oktober 1998/ bahan bacaan Said, H. Mohammad, tanpa tarikh, Soetan Koemala Boelan (Flora), tanpa penerbit.
Schnitger, F.M., 1937, The Archealogy of Hindoo Sumatra, E.J. Brill, Leiden)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.