Artikel

‘Saudara Tua’ kembali melirik Indonesia

Oleh: Ahmad Djauhar

Saudara Tua itu kembali merangkul Saudara Muda dengan pelbagai janji dan keseriusan untuk memajukan ekonomi negeri yang pernah dijajahnya. Komitmen bagi megaproyek baru senilai US$52,9 miliar sekitar Rp500 triliun menjadi bukti keseriusan Pemerintah Jepang, sang Saudara Tua, untuk mendukung penuh pengembangan koridor ekonomi baru di sepanjang Pesisir Timur Sumatra (East Sumatra-ES) hingga Barat Laut Jawa (North West Java-NWJ).

Tidak hanya berhenti di situ. Komitmen Jepang mendukung pengembangan ekonomi Indonesia akan terus ditingkatkan seiring dengan kesepakatan mewujudkan program ambisius pembangunan enam koridor pengembangan ekonomi baru di Indonesia.

Ini program berjangka sangat panjang, karena hasilnya baru dapat dinikmati pada periode 2030-2050. Masih lama, memang, tetapi jika fondasinya tidak diletakkan dari sekarang, kapan lagi.

Di atas kertas, pembangunan keenam koridor ekonomi baru itu memang sangat dibutuhkan Indonesia untuk dapat menjadi pemain dunia di bidang ekonomi.

Dengan potensi kekayaan alam yang luar biasa, dunia memerlukan Indonesia sebagai pemasok komoditas strategis. Persoalannya adalah minimnya infrastruktur yang menjadikan harga komoditas unggulan Indonesia tidak kompetitif.

Untuk diproses di dalam negeri, investor yang umumnya kelas kakap merasa enggan karena menganggap tidak menguntungkan apabila mendirikan fasilitas pemrosesan di Indonesia. Satu-satunya jalan adalah dengan menjualnya dalam bentuk mentah, yang tentu saja harganya akan sangat murah, mengingat nilai tambah bagi setiap komoditas tersebut amat rendah.

Itulah alasan mengapa negeri ini memerlukan sistem konektivitas nasional yang lebih baik. Membanjirnya aneka produk dari negeri lain ke pasar domestik adalah bukti nyata akibat lemahnya sistem konektivitas nasional. Simak, misalnya, fenomena meruyaknya buah jeruk impor. Bila didatangkan ke Jawa, harga jeruk dari Fujian, China, jauh lebih murah ketimbang jeruk yang ditanam oleh petani di Pontianak, Kalimantan Barat.

“Perbaikan sistem konektivitas nasional tidak dapat ditawar-tawar lagi,” ujar Menko Perekonomian Hatta Radjasa menjelang pembicaraan Ekonomi Indonesia-Jepang di Tokyo 12-16 Oktober.

Pembangunan sistem konektivitas semata dipandang tidak menyelesaikan masalah, karena itu harus diikuti dengan upaya menghidupkan berbagai sentra ekonomi yang selain kaya akan potensi sumber daya alam, juga memiliki magnitude penggerakan ekonomi berskala massal.

Enam koridor

Jadilah konsep koridor ekonomi yang terbagi dalam enam koridor dan tiga fase yang diberi titel Indonesia Economic Development Corridors (IEDC). (Lihat tabel)

Nah, konsep inilah yang kemudian dijual a.l. ke Saudara Tua. Pertimbangannya adalah, menurut Muhammad Lutfi, Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Jepang, Negeri Sakura memiliki kepentingan strategis untuk melindungi investasinya di Indonesia.

Beberapa fakta yang melatarbelakangi kerja sama baru ini relevan dengan strategi tersebut. Total akumulasi investasi Jepang di Indonesia selama dua dekade terakhir menduduki peringkat tertinggi, sebanyak 1.907 proyek dengan nilai US$21,6 miliar, jauh di atas Singapura (1.224 proyek, US$17,37 miliar), Inggris (555 proyek, US$8,81 miliar), dan AS (446 proyek, US$7,53 miliar).

Selain itu, Indonesia merupakan pemasok LNG terbesar bagi Jepang, meliputi 20% kebutuhan domestik negeri itu. Indonesia juga pemasok kedua terbesar batu bara ke Jepang setelah Australia. Jadi, kedua bangsa memiliki kepentingan strategis untuk tetap melanjutkan kerja sama, dan hal itu terlihat jelas dari perhatian pemerintah maupun kalangan dunia usaha Jepang.

Contoh sederhana, selama proses dialog kedua negara 12-16 Oktober, Indonesia mengirimkan sejumlah delegasi tingkat tinggi yang dipimpin oleh Menko Perekonomian M. Hatta Radjasa. Anggota delegasi itu a.l. Menteri Perindustrian Mohamad S. Hidayat, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri ESDM Darwin Z. Saleh, Kepala BKPM Gita Wirjawan, Wakil Menhub Bambang Susantono, serta Ketua Kadin Indonesia Suryo B. Sulisto yang disertai sejumlah pelaku usaha nasional. Tak ketinggalan tentu saja Dubes Muhammad Lutfi.

Sedangkan dari Jepang hadir Wakil Senior Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Tadahiro Matsushita, Menteri Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Turisme (MLIT) Sumio Mabuchi, serta Ketua Keidanren Hiromasa Yonekura.

Fase pertama

Walhasil, dari pembicaraan tersebut, Jepang dan Indonesia menyepakati kerja sama fase pertama megaproyek baru senilai US$52,9 miliar untuk menyiapkan pengembangan infrastruktur pada koridor ekonomi Sumatra Timur-Barat Laut Jawa (ESNWJ).

Tidak semua kebutuhan dana investasi megaproyek itu berasal dari kocek Pemerintah Jepang, tapi kedua negara sepakat memberikan kesempatan bagi masyarakat maupun dunia usaha ikut membiayai proyek itu dengan skema public private partnership.

Rencana implementasi megaproyek tersebut merupakan bagian dari penyiapan enam koridor pengembangan ekonomi Indonesia (IEDC) yang mencakup sebagian besar wilayah Indonesia, terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan sistem konektivitas nasional. Keempat koridor ekonomi yang akan dikembangkan berikutnya adalah Kalimantan dan Sulawesi Barat (masuk dalam fase kedua), serta Jatim-Bali-Nusa Tenggara, dan koridor Papua (fase ketiga).

Di atas kertas, megaproyek baru bernilai ratusan miliar atau bahkan triliunan dolar AS tersebut cukup kompleks untuk diwujudkan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah program tersebut dapat berkesinambungan, mengingat di negeri ini terdapat pemeo bahwa ganti pemerintahan, berganti pula strategi kebijakan. Rupanya, pemerintah sudah menyiapkan jawabannya.

Menko Hatta Radjasa yakin bahwa siapa pun yang akan memimpin Indonesia pasca-SBY, “dia pasti akan membutuhkan cetak biru ini…Terlebih lagi, rancangan tersebut sudah dijadikan agenda nasional jangka panjang.”

Dalam kesempatan sarapan pagi di Imperial Hotel-hotel langganan petinggi Indonesia jika menyelenggarakan program kenegaraan di Tokyo-Hatta juga berargumen bahwa melihat nilai strategis dan kepentingan jangka panjang program tersebut, Pemerintah Jepang akan senantiasa mendukung.

Menurut M. Lutfi, dukungan kuat Jepang terjadi karena Jepang menyadari kerja sama mereka dengan China akhir-akhir ini surut karena persoalan politik. “Demikian halnya dengan Thailand yang situasi politiknya kurang kondusif, menjadikan mereka lebih memilih Indonesia. Hal itu tampak dari perubahan peringkat investasi Jepang di Indonesia yang memasuki angka biru,” ujarnya.

Pendapat Lutfi diperkuat oleh Takashi Nakayama, Presdir Japan External Trade Organization (Jetro). Menurut dia, selain konsumsi domestik maupun produk domestik bruto Indonesia yang cenderung naik, populasi kelompok usia kerja yang sangat besar, dua kali populasi anak-anak dan lanjut usia, merupakan indikasi pasar yang sehat. Peluang terjadinya peningkatan pendapatan, tuturnya, sangat besar.

Guna mempercepat pelaksanaan IEDC, kedua pemerintah sepakat mengutamakan empat program prioritas yaitu, pertama, kerja sama sektor ketenagalistrikan, kedua, alih teknologi untuk mendorong pengurangan emisi gas rumah hijau, ketiga, mengenalkan inisiatif komunitas pintar, dan keempat, mempercepat pelaksanaan program yang tercakup dalam rencana pengembangan Metropolitan Priority Area senilai US$7 miliar.

Regional hub

Tak pelak lagi, melalui program MPA Jakarta akan disulap sebagai regional hub. Untuk itu beberapa kendala besar harus dibenahi terlebih dahulu, misalnya percepatan pengembangan infrastruktur dan meningkatkan iklim investasi.

Paket proyek pertama dalam program MPA terdiri dari pembangunan pelabuhan baru, akses jalan, peningkatan kawasan industri di Jakarta Timur, dan penambahan pasokan energi (listrik dan gas).

Adapun paket kedua berupa sistem transportasi massal yang lebih efisien, terutama yang memberikan kontribusi langsung bagi kebutuhan logistik industri agar dapat lebih efisien. Termasuk di dalamnya, ungkap Hatta, “kita harus bicara pembangunan MRT [mass rapid transit] dan double double-track untuk kereta api di Jabodetabek.”

Paket proyek ketiga, berupa pengembangan baru bandar udara mengingat kapasitas bandara di Jakarta dan sekitarnya sudah kelebihan beban.

“Sedangkan paket proyek keempat dan kelima masing-masing adalah sistem pemasokan air industri dan manajemen limbah. Kedua paket terakhir ini adalah bukti konkret untuk mewujudkan program green industry,” ujar Hatta.

Melihat besarnya skala proyek MPA tersebut, lanjutnya, akan berimplikasi pada ketersediaan dana untuk pembiayaan dan swasta melalui program public private partnership tentu diharapkan ikut mengambil peran besar.

Program IEDC dengan MPA sebagai proyek prioritasnya itu semestinya dijalankan dengan konsisten dan berkesinambungan. Dibutuhkan ketegasan, kecepatan, dan keberanian dalam pengambilan keputusan untuk membereskan sejumlah agenda, baik dari sisi ekonomi maupun politik, untuk mewujudkan rancangan besar menuju percepatan kesejahteraan bangsa. Beranikah Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono mewujudkannya? (ahmad.djauhar@bisnis.co.id)
Sumber : Bisnis.com

Comments

Komentar Anda