Budaya

Silat, Manusia dan Harimau

"SILAT" The Malay Martial Arts
“SILAT” The Malay Martial Arts

Orang-orang mengatakan silat merupakan bagian tak terpisahkan dari dua kegiatan lain, yakni salat dan silaturahmi. Ketiga kegiatan itu, yang bunyi istilah-istilahnya dekat secara pengucapan, menjadi satu rangkaian yang satu sama lain tak terpisahkan.

Di masanya, latihan silat memang dilakukan selepas salat Isya (malam hari) di halaman masjid, surau, meunasah, atau musala. Karena dilakukan usai salat berjamaah, dengan sendirinya terkandung juga aspek silaturahmi dalam silat, yakni terciptanya tali persahabatan dengan orang ramai. Akan tetapi, ada juga yang melakukan latihan silat di dalam hutan yang tak boleh dilihat orang. Dan saat berlatih itu, pembacaan doa-doa dalam narasi keislaman juga menjadi syarat yang integral.

Sifat dan kemelekatan silat dengan surau atau masjid ini kira-kira serupa dengan kungfu yang lahir dan besar di kuil Shaolin. Keduanya merupakan contoh bela diri yang lahir dan diasah di lingkungan spiritual. Hanya saja, dalam perkembangan zaman, kedua bela diri tersebut sudah dapat dipelajari dimana saja, tak harus di masjid, surau, atau kuil.

Silat dan Pengaruhnya

Silat merupakan bela diri khas Melayu yang secara etimologi bermakna “bertempur” atau “bertarung”. Namun, ada juga yang mengatakan silat berarti “si liat”, yang bermakna si licin. Maksudnya, silat itu merupakan gerak bela diri yang licin dan karenanya sulit dikunci. Sementara di Philipina, silat bermakna “kilat” (lightning). Pengertian ini merujuk pada kecepatan gerakan tangan kosong dan pengunaan senjata.

Tangan kosong adalah kiasan untuk pertarungan yang hanya menggunakan tangan belaka. Hanya saja, ada juga senjata yang biasa dipakai dalam silat. Senjata itu, di antaranya, keris, tombak, parang, sarung, pisau, sabit, tongkat, atau kerambit/kurambik. Kurambik ini disebut-sebut sebagai khas Minangkabau. Ia berbentuk pisau kecil yang menyerupai cakar. Ia juga mirip dengan sabit yang matanya melengkung.

Dalam bersilat, tubuh umumnya berada posisi tegak, merendah, dan hampir merayap. Ketika lawan melakukan serangan, ia tidaklah ditangkis, melainkan dibelokkan ke arah lain (memanfaatkan kekuatan lawan). Ini mirip dengan bela diri dari China. Segalanya haruslah elastis, lentur, fleksibel. Hal ini membuat jurus-jurus silat nampak indah, lincah, liat, dan mengalir.

Sementara itu, pakaian yang digunakan para pesilat umumnya berwarna hitam, yang bisa juga dalam jenis teluk belanga. Tak ketinggalan pula dengan ikat kepala bertutup. Konon, bersilat tanpa tutup kepala dianggap tidak sah dan dapat diganggu oleh energi negatif. Oleh orang Melayu, tutup kepala ini, yang sebenarnya memang sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad, dilakukan dengan menggunakan peci/kopiah/songkok, topi lebai, atau tengkulok/tanjak/destar. Tujuannya untuk mendapatkan kekhusyukan atau fokus.

Silat dengan segala atributnya ini tersebar di banyak wilayah di negara-negara di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, atau Brunei Darussalam. Karenanya, ia kemudian menjadi ciri khas bela diri dari Asia Tenggara. Di wilayah-wilayah tersebut, nama bela diri ini tidak memiliki perbedaan secara bunyi. Hanya saja, selain silat, ia juga dikenal sebagai silek.

Ada berbagai pendapat yang mengemuka mengenai asal usul dan pengaruh terhadap silat. Di Phlipina, misalnya, ada debat yang berkepanjangan mengenai pengaruh yang diperolehnya. Sebagian mengatakan bahwa ia berasal dari bumiputera (indigenous) muslim, dan sebagian lagi menunjukkan itu campuran bela diri dari China.

Dalam Martial Arts of the World: An Encyclopedia of History and Innovation (2001), silat disebutkan berasal dari Sumatera yang berada di Selat Malaka, yang tumbuh dan berkembang Minangkabau. Ia berkembang dari abad tujuh hingga enam belas Masehi, dan relatif menjadi stabil dan berkembang luas pada abad keempat belas Masehi.

Masih dari sumber yang sama, silat dikatakan mendapat pengaruh dari India, China, dan Arab. Hal ini bermula dari datangnya orang-orang India dan China di pelabuhan Sumatera di Palembang, Sri Vijaya/Sriwijaya (Buddha Mahayana), pada abad tujuh hingga dua belas Masehi.

“Dalam silat dapat ditemukan musik Nepal, senjata dan gaya pertempuran Hindu, senjata Arab, serta senjata dan taktik pertempuran China,” tulis Donn F. Draeger dan Robert W. Smith dalam bukunya Comprehensive Asia Fighting Arts (1980) sebagaimana dikutip oleh ensiklopedia di atas.

Pengaruh ini dapat diuraikan dari gerakan silat itu sendiri. China memberikan pengaruh dari Wushu, yang memiliki gerakan-gerakan melingkar dan penggunaan bentuk-bentuk binatang dalam berbagai jurusnya. Hindu memberikan pengaruh taktik. Islam, yang ditandai dengan kedatangan Arab, mewarnai dalam hal pengunaan macam-macam senjata dan filosofi. Dan pada abad ke-20, ilmu bela diri Jepang juga turut mempengaruhi silat dalam hal taktik, teknik, senjata, dan sistem peringkat sabuk sebagai tanda jenjang kemahiran.

Dalam silat, teknik fisik bersenyawa erat dengan kemampuan batin. Pada masa Buddha dan Hindu, silat amat dipengaruhi oleh macam-macam mantra dan jimat khas animisme. Kerap dijumpai adegan menusuk-nusuk diri dalam latihannya, yang mengingatkan orang pada tradisi-tradisi yang ada di India atau China.

Saat Islam datang, silat pun mendapatkan warna sufisme yang kuat di tengah peninggalan animisme itu. Para sufi mendukung dan memberikan ilmu sebagai kekuatan supranatural yang membolehkan para pesilat yang telah piawai untuk “dirasuki” oleh roh binatang.

Manusia dan Harimau

Masing-masing wilayah yang memiliki silat biasanya mempunyai legenda ihwal kelahirannya. Di Semenanjung, ada kisah yang sering dikutip bahwa silat bermula dari mimpi seorang perempuan yang bernama Bersilat. Di mimpi itu dia belajar mengenai bela diri, yang kemudian dikembangkan dengan nama Bersilat atau Silat.

Sementara di Sumatera, legenda itu merujuk pada adanya seorang perempuan di wilayah Minangkabau yang menyaksikan pertarungan antara ular dan burung. Selain itu, dia juga memperhatikan perkelahian antara burung besar dan harimau. Dari apa yang disaksikannya itu, maka dikembangkanlah suatu bela diri bernama Silat yang mempergunakan kedua tangan dan kaki untuk menyerang, melempar, dan mengunci.

Masyarakat Minangkabau meyakini bahwa Silat Harimau adalah silek tuo (tua). Adapun silat yang ada saat ini, yang menyebar kemana-mana, dipercaya merupakan turunan dari silat ini.

Apa yang disebut Silat Harimau ini mengingatkan, sekali lagi, pada pengaruh Wushu dari China, yang menggunakan bentuk-bentuk binatang dalam berbagai bela dirinya. Dan bentuk Wushu ini sendiri, menurut Draeger dan Smith, bermuasal dari gaya pertempuran India di masa-masa awal.

“Narasi mengenai gaya binatang ini mungkin telah diteruskan ke dalam silat sebagai unsur warisan China. Turunan ini akan konsisten dengan apa yang dijelaskan oleh Draeger dan Smith,” tulis ensiklopedia.

Meski jejaknya dapat ditarik dari China dan India, pada dasarnya masyarakat Sumatera sendiri dipercaya memang memiliki pertalian yang erat, dekat secara batin, dan saling bersusur galur antara manusia dan harimau. Dan masing-masing wilayah di Sumatera memiliki penamaan untuk “manusia-harimau” ini (lihat “Sayupnya Raung Harimau Sumatera”).

Masyarakat Kerinci, Jambi, menyebut manusia harimau ini dengan cindaku dan inyiak; di sebagian masyarakat Bengkulu disebut setuo atau inyiak; di Sumatera Barat disebut inyiak, di Sumatera Timur disebut tok belang, di tanah Toba disebut opung; dan di tanah Mandailing disebut ompung–panggilan kehormatan untuk orang yang dituakan. Pada sejumlah wilayah, penyebutan nama “harimau” di dalam hutan pun sebisa mungkin dihindarkan sebagai tanda penghormatan.

Saking melegendanya, kisah manusia harimau ini beberapa kali telah ditransformasikan ke dalam novel, film, dan sinetron. Novel mengenai hal ini ditulis oleh Motinggo Boesje dengan judul Tujuh Manusia Harimau (1980), lalu menyusul filmnya dengan judul 7 Manusia Harimau (1986) yang dibintangi oleh, salah satunya, El Manik. Belakangan, narasi manusia harimau, yang didasarkan pada novel Motinggo Boesje, juga dibuatkan sinetronnya di stasiun televisi RCTI dengan judul 7 Manusia Harimau (2014).

Silat Harimau

Dalam dunia silat, Silat Harimau dianggap sebagai jenis yang paling berbahaya. Dalam pertarungannya, ia menyasar titik-titik vital, seperti rahang, ulu hati, mata, kelamin, atau urat leher yang dapat menyebabkan terpisahnya nyawa dari raga. Pada perhelatan macam Asian Games, Silat Harimau tidak dipertandingkan dalam kejuaraan silat karena karakternya ini.

Pada perkembangannya, Silat Harimau ini berkembang ke luar Minangkabau. Di Langkat, (Sumatera Timur/Utara), tepatnya di Tanjungpura, dapat ditemukan aliran Silat Harimau yang disebut Harimau Hijaiyah. Di sini, jurus-jurusnya sesuai dengan huruf-huruf Hijaiyah atau aksara Arab, yakni dari Alif, Ba, Ta, dan seterusnya takat Ya.

Silat Harimau Hijaiyah ini didirikan oleh Syarifudin bin Mohammad Kahar yang sebelumnya diceritakan berguru pada Abdul Jalil Hasibuan, yang disebut Atuk Guru Tua, pendiri aliran Silat Hijaiyah. Abdul Jalil Hasibuan sendiri adalah putra seorang syekh dari Tarekat Naqsyabandiyah di Kota Pinang, Rantau Prapat (Sumatera Timur/Utara).

Dalam tulisan “Harimau Hijaiyah” di Majalah Jurus No. 20, Juni 2000, disebutkan bahwa juara pertama dalam kejuaraan silat kelas 65-70 kilogram pada Pekan Olah Raga Nasional ke-IX (1997) memiliki gaya yang unik. Si juara tersebut adalah Ahmad Bukhari Ramzan dari Perguruan Harimau Hijaiyah Langkat. Dia memiliki gaya membentangkan satu tangan ke atas dan yang lain ke bawah secara lebar, seperti mengundang lawan untuk menyerang.

“Dia tidak melakukan kuda-kuda seperti umumnya. Tetapi begitu lawan menyerang, apakah dengan tendangan atau pukulan, langsung disambut dengan terkaman “paci” Harimau Hijaiyah atau jurus kombinasi kait dan gedor yang kuat dan cepat. Bisa pakai apa saja Ramzan melakukannya. Entah sikut, dengkul, lengan, atau telapak dan tinju,” demikian tulis majalah tersebut.

Silat Harimau Hijaiyah ini kemudian berkembang ke negeri tetangganya, Aceh, dan juga menyebar ke Semenanjung, seperti Kuala Lumpur, Johor, dan Penang. Sementara sebaran Silat Harimau sendiri tak terbatas di Sumatera. Ia juga dapat dijumpai, dengan variannya sendiri, di berbagai pulau bahkan benua.

Dari sejarahnya, pengaruh dan mempengaruhi dalam silat, juga bela diri lain, pada dasarnya adalah niscaya. Tidak pernah ada yang dapat berdiri sendiri.

“Tak ada kebudayaan yang benar-benar berdiri sendiri, tapi berkoalisi dengan kebudayaan-kebudayaan lain,” tulis Claude Levi-Strauss dalam bukunya Ras dan Sejarah (2000).

Sebagaimana adat, kebudayaan, dan peradaban, demikian pulalah silat. Selalu ada anasir-anasir yang membentuk suatu jenis bela diri hingga dapat terbedakan sebagai sesuatu yang khas, untuk kemudian kembali memantul ke segala arah.***

Dicopy dari : Lentera Timur

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.