Artikel

Uning-uningan ni Ompunta (2-selesai)

Oleh: Edi Nasution

Alat musikal ini disebut juga uyup-uyup yang terbuat dari selembar bulung tarutung bolanda (daun pohon sirsak) atau terbuat dari sepotong bulung pisang (daun pohon pisang) yang digulung membentuk kerucut, lalu dimasukkan ke dalam mulut untuk ditiup dengan cara dan teknik tertentu. Di samping itu, adakalanya sang kakak (perempuan) menyanyikan nina bobok bue-bue (lublaby) sembari mengayun-ayun adiknya untuk menidurkannya.

Di puncak tor (bukit-bukit kecil) tidak jauh dari huta dapat pula ditemukan sebuah alat musikal yang disebut pior (kincir angin). Selain berguna untuk menunjukkan arah hembusan angin, ternyata pior ini pun dapat menghasilkan bunyi yang cukup merdu. Di masa lalu, suara pior ini dimanfaatkan oleh para pemuda dengan memakai mantra-mantra tertentu, disebut pitunang, untuk menaklukkan hati anak gadis yang didambakannya.

Nyanyian tradisional yang disebut ende sesungguhnya tidak banyak ditemukan di Mandailing. Ende yang dikenal luas di Mandailing Godang adalah sitogol, sementara di Mandailing Julu adalah ungut-ungut, sedangkan jenis ende yang disebut jeir biasanya dinyanyikan dalam upacara adat perkawinan sebagai salah bagian terpenting dari kegiatan tortor (manortor) yang diiringi dengan ensambel gondang boru.

Sama seperti keadaan ende, bentuk sastra lisan pun amat sedikit ditemukan di Mandailing.Sastra lisan yang cukup dikenal luas adalah ende-ende atau pantun dan turi-turian (cerita bertutur). Turi-turian yang cukup dikenal luas antara lain Raja Gorga Di Langit dan Nan
Sondang Milong-ilong. Seseorang yang memiliki keahlian menuturkan turi-turian ini disebut parturi, yang sekarang ini sudah langka ditemukan di Mandailing, bahkan mungkin saat ini tidak ada lagi. Sewaktu melakukan penelitian di Maga Lombang, saya masih sempat
menyaksikan keahlian marturi yang disajikan oleh Abdul Hakim Lubis, beliau ini juga seorang
datu, yang telah berusia 51 tahun.

Artifak peninggalan sejarah orang Mandailing yang berkaitan dengan seni patung dan pahat adalah tagor, yang di masa lalu ditempatkan pada areal pemakaman kuno yang disebut lobu atau huta lobu. Dan ada pula patung yang disebut pangulu balang, yang ditempatkan di empat sudut huta. Kedua patung batu ini dipercayai oleh masyarakat Mandailing memiliki tuah (keramat).

Selain itu, ada artifak lain berupa patung diberi nama sangkalon yang terbuat dari kayu yang biasanya ditempatkan di depan bagas godang dan sopo godang. Bagi orang Mandailing, artifak bernama sangkalon ini merupakan simbol keadilan, sesuai dengan ungkapan yang melekat padanya, yaitu “sipangan anak sipangan boru”. Artinya, siapapun yang telah melakukan kesalahan pasti diberi sanksi sesuai dengan ketentuan adat dan uhum (hukum) yang berlaku.

Pada bagian atap bagas godang dan sopo godang yang disebut bindu atau tutup ni ari terdapat ornamen tradisional yang umumnya berbentuk simetris (garis-garis lurus) diberi warna hitam, putih dan merah yang pada hakikatnya mengandung makna-makna penting dan mendalam bagi masyarakat Mandailing.***

Jakarta, 2007
Catatan kaki:
1 Di beberapa huta, gondang boru dinamakan juga gondang dua , gondang topap, atau tunggu-tunggu dua.
2 Untuk menghias rumah tempat pelaksanaan horja siriaon, salah satu bahan yang digunakan adalah bulung ni bargot (daun muda pohon enau). Dari daun pohon enau beserta lidinya, orang-orang dewasa seringkali membuat sebuah alat musikal untuk dimainkan anak-anak yang disebut eor-eor.
3 Suhut adalah kelompok kekerabatan semarga (kahanggi) yang melaksanakan suatu upacara adat atau upacara ritual tersebut.
4 Gordang tano dibuat di atas permukaan tanah yang bagian bawahnya dilobangi dan kemudian ditutup dengan beberapa belah kayu (papan). Di bagian atasnya diregangkan empat buah senar yang terbuat dari otang (rotan) dan dimainkan oleh empat orang dengan menggunakan stik dari kayu.
5 Gondang sarama babiat dapat dimainkan dengan ensambel gordang sambilan dan gondang boru pada saat seekor harimau yang selalu mengganggu ketenteraman penduduk suatu huta telah mati setelah diburu dan dibunuh oleh warga setempat. Seiring dengan kematian harimau tersebut dilaksanakan suatu upacara adat karena orang Mandailing memandang harimau sebagai mahluk yang memiliki kekuatan magis yang juga memiliki adat. Ketika gondang dimainkan, seorang laki-laki menarikan tarian (disebut manyarama) yang mirip dengan gerakan-gerakan seekor harimau yang sedang marah.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.