Oleh: Azhar Nasution M.Ag
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang memiliki sejarah panjang di Nusantara, termasuk di wilayah Mandailing Natal, Sumatera Utara. Selain sebagai pusat pembelajaran agama, pesantren juga menjadi tempat para pelajar yang dikenal sebagai santri menjalani kehidupan sederhana, mandiri, dan penuh nilai-nilai spiritual.
Namun, ada yang unik di Mandailing Natal. Di daerah ini, pesantren memiliki sejumlah istilah khas yang tidak ditemukan di tempat lain. Istilah-istilah ini menjadi bagian dari budaya lokal yang memperkaya dinamika kehidupan pesantren. Berikut delapan istilah unik dan fakta menarik seputar dunia pesantren di Mandailing Natal:
1. Fokir dan Fatayat
Di banyak tempat, pelajar pesantren disebut santri (laki-laki) dan santriwati (perempuan). Namun, di Mandailing Natal, sebutan yang digunakan berbeda. Pelajar laki-laki disebut Fokir, sedangkan pelajar perempuan disebut Fatayat.
Kata Fokir berasal dari bahasa Arab faqir yang berarti “orang yang kekurangan”, tetapi dalam konteks pesantren, bermakna seseorang yang sedang haus ilmu. Fatayat berasal dari kata Arab fatayat yang berarti “gadis” atau “perempuan muda”.
2. Marayap
Istilah “marayap” digunakan untuk menyebut waktu libur panjang di pesantren. Ketika musim liburan tiba, para santri akan berkata, “Marayap hamu?” (Apakah kamu pulang/libur?). Kata ini sudah menjadi bagian dari kosakata sehari-hari para santri ketika libur panjang di Mandailing Natal.
3. Ta’in
Menjelang ujian semester, para santri menggunakan istilah ta’in untuk menyebut masa persiapan atau jadwal tetap menjelang ujian. Kata ini berasal dari bahasa Arab ta’yin yang berarti “penetapan” atau “penentuan”.
4. Manambang
Manambang adalah istilah yang digunakan ketika seorang santri mengambil makanan—seperti nasi, lauk, atau minuman—dari pondok teman atau rumah warga. Ini adalah bentuk solidaritas dan kebersamaan yang mengakar kuat dalam budaya pesantren di Mandailing Natal.
5. Ayah Guru
Alih-alih memanggil “ustaz” atau “pak guru”, santri di Mandailing Natal sering memanggil guru laki-laki mereka dengan sebutan Ayah Guru. Istilah ini mengandung nuansa emosional yang lebih dalam, mencerminkan hubungan dekat layaknya antara anak dan orang tua.
6. Mudzakaroh
Mudzakaroh berarti kegiatan belajar kelompok atau mengulang pelajaran bersama setelah proses belajar formal selesai. Kegiatan ini bisa dilakukan antara sesama teman sekelas, adik kelas, atau senior. Kata ini juga berasal dari bahasa Arab yang berarti “diskusi” atau “pengulangan ilmu”.
7. Mangaji
Santri di Mandailing Natal menyebut kegiatan membaca atau belajar al-Qur’an dengan istilah mangaji. Kata ini merupakan bentuk lokal dari kata mengaji yang sudah diserap dalam bahasa daerah.
8. Pondok
Berbeda dengan pengertian umum, pondok di sini merujuk pada gubuk kecil tempat tinggal santri laki-laki (fokir). Biasanya terdiri dari dua ruangan sederhana: satu untuk tidur dan satu lagi sebagai dapur kecil. Di sinilah santri tinggal selama menimba ilmu di pesantren.
Penutup
Istilah-istilah ini bukan hanya sekadar kosakata, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai lokal, budaya, dan kehidupan sehari-hari santri di Mandailing Natal. Dengan memahami istilah-istilah tersebut, kita bisa melihat bagaimana pesantren tak hanya sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai penjaga tradisi dan jati diri masyarakat.