Karikatur Penghinaan Terhadap Nabi Muncul Lagi, Buah Kebebasan Demokrasi?

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam
Sungguh lancang! Sebuah karikatur kembali diduga telah melecehkan dan menghina Islam. Pasalnya, ilustrasui karikatur tersebut menggambarkan dua sosok yang berjabat tangan di langit dengan latar belakang bersenjata. Sosok yang diilustrasikan diduga kuat mengarah pada dua Nabiyullah, yaitu Muhammad saw dan Musa as.
Karikatur pelecehan tersebut dimuat oleh salah satu majalah di negara Republik Turki sekuler. Hingga kejadian berlangsung, telah memicu kecaman dan amarah umat Islam di sana yang akhirnya memicu aksi protes ke jalan.
Pihak dari majalah tertuduh yaitu LeMan Magazine, Editor utamanya Tuncay Akgun berusaha untuk mengklarifikasi bahwa telah terjadi misinterpretasi. Tidak ada maksud untuk melecehkan Nabi Muhammad, karena katanya, yang bernama Muhammad sangat banyak. Tuncay menyatakan demikian kepada Agence France Press yang dikutip oleh The Guardian.
“This cartoon is not a caricature of prophet Muhammad in any way,” he told Agence France-Presse. “In this work, the name of a Muslim who was killed in the bombardments of Israel is fictionalised as Muhammad. More than 200 million people in the Islamic world are named Muhammad. (www.theguardian.com)
Meskipun demikian, masyarakat Turki tidak begitu saja menerima klarifikasi pihak LeMan Magazine. Karena jelas, karikatur tersebut telah dianggap menghina umat Islam dan ajaran Islam.
Penghinaan Terhadap Nabi, Buah Kebebasan Ekpresi Ala Demokrasi
Menyikapi aksi protes masyarakat Muslim di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdogan menyebut karya tersebut sebagai “provokasi keji” dan menegaskan bahwa pemerintah tak akan mentolerir penghinaan terhadap nilai-nilai sakral umat Islam.
Berdasarkan pemberitaan BBC, empat karyawan dari majalah satir LeMan sudah diamankan yang diduga sebagai pelaku pelecehan dengan karikatur tersebut. Kementerian Dalam Negeri Turki, Ali Yerlikaya mengecam LeMan Magazine dan mengatakan telah melakukan perbuatan yang memalukan dan membenarkan bahwa editor, design grafis, direktur serta kartunis LeMan Magazine sudah ditahan.
Sikap pemerintah Turki yang sigap dalam menahan para pelaku penghinaan terhadap Nabi memang layak didukung. Hanya saja, kasus-kasus serupa sudah sering muncul di berbagai negara. Sebut saja Prancis dengan Charlie Hebdo, atau Norwegia, juga negara-negara Barat lainnya yang sudah tercatat pernah melakukan penghinaan terhadap Islam. Baik sosok Nabi Muhammad saw, Al-Qur’an, dan juga terhadap pemeluknya.
Khusus negara Turki, secara historis memiliki hubungan yang sangat erat dengan perdaban dan masa kejayaan Islam, yaitu kekhilafahan Usmani (The Ottoman Empire). Akan tetapi, pasca runtuhnya kekhilafahan terakhir umat Islam (Khilafah Usmaniyah), Turki mendeklarasikan diri sebagai negara republik sekuler di bawah kepemimpinan presiden pertamanya oleh seorang agen Inggris, Mustafa Kemal Attaturk.
Oleh karena itu, ketiadaan institusi politik Islam kini membuat musuh-musuh Islam semakin berani untuk melakukan penghinaan (insulting), pelecehan, hingga pembantaian. Mereka menyebutnya dengan nama kebebasan dalam berdemokrasi. Ajaran kebebasan yang dibalut dengan jargon hak asasi (human rights), menjadi dalih bagi setiap orang, setiap kelompok, dan setiap negara berbuat sesukanya. Tetapi tidak ada ruang kebebasan bagi umat Islam untuk menyuarakan kebenaran Islam.
Secara empiris, penerapan demokrasi hanya memberikan kerugian bagi umat Islam bahkan dunia dengan dua bukti yang tidak dapat dibantahkan. Pertama, munculnya penjahahan gaya baru dengan senjata kebebasan berpendapat (the freedom of speech) telah melahirkan perang pemikiran yang memuluskan hegemoni dan intervensi oleh negara-negara kapitalisme global khususnya super power Amerika untuk menguasai dunia. Mereka membuat kesepakatan kerjasama, mengikat anggota, hingga menetapkan sanksi bagi yang melanggarnya.
Dengan cara demikian, para kapitalis global dapa menguasai sumber daya negeri lain atas nama investasi alias hutang. Keterikatan hutang akan melahirkan hegemoni (dikte) bagi negara penghutang. Sehingga, permintaan apapaun dari para negara kapitalis investor akan dikabulkan melalui undang-undang. Sebut saja undang-undang investasi asing, undang-undang minerba, omnibus law, dan sebagainya. Kesemuanya syarat dengan kepentingan asing yang lahir atas nama demokrasi. Tidak terasa seperti penjajahan, karena caranya dengan pemikiran atau dengan istilah kebebasan berkepemilikan untuk menguasai ekonomi negara lain.
Tidak cukup hanya dengan menguasai SDA, demokrasi juga melegalkan kebebasan berpendapat untuk menghina dan melecehkan ajaran-ajaran Islam. Seperti melahirkan isu terorisme, radikalisme, yang menunjuk Islam sebagai agama pencetusnya. Narasi ajaran kekerasan atas nama agama (baca:Islam) dimunculkan agar pemeluknya jauh dari ajaran agamanya sendiri. Hingga meragukan kebenaran syariat Islam. Akhirnya, demokrasi berhasil membuat umat Islam membebek pemikiran Barat dengan nama kebebasan beragama.
Maka tidak heran, kasus penghinaan terhadap Nabi bisa terjadi di negeri mayoritas Muslim bahkan saksi historis kejayaan peradaban Islam seperti Turki. Karena Turki telah mengadopsi demokrasi. Begitupun negara Barat yang memonsterisasi ajaran Islam seperti jihad, poligami, hijab, dan khilafah, adalah buah kebebasan berbicara demokrasi. Belum lagi, ide-ide tentang mengkerdilkan ajaran Islam sebagai moderasi beragama, pernikahan beda agama, legalisasi zina, LGBT, inses, yang kini tengah menghantui kaum Muslim. Semuanya juga hasil penerapan demokrasi atas nama the freedom of speech dan the freedom of expression.
Kedua, atas nama demokrasi jugalah penjajahan fisik dilegalkan di tanah kaum Muslim. Sejak munculnya ide demokrasi dalam peradaban modern Barat, penjajahan yang konon harus dihapuskan menurut tujuan didirikannya LBB atau kemudian berubah menjadi PBB (United Nations), hanyalah omong kosong. Sebab jargon-jargon hak asasi tidak berlaku atas umat Islam.
Barat menghapuskan kekhilafahan Usmani atas nama kebebasan beragama. Demokrasi tidak membenarkan adanya dominasi agama atas manusia dan negara. Sementara khilafah, adalah institusi politik berasaskan akidah Islam dan dibangun dengan sendi-sendi syariat. Sebab itulah khilafah menurut kebebasan Barat harus dihapuskan (abolished), karena syariat Islam dituduh tidak menjunjung hak-hak asasi manusia melainkan keterkungkungan hidup.
Selanjutnya atas nama demokrasi, penjajahan fisik kembali diciptakan atas negeri-negeri Muslim yang tidak tunduk dan menolak demokrasi. Barat atau negara-negara imprealis membuat berbagai skenario untuk melegalkan penjajahan fisik secara langsung maupun melalui agen-agennya yang memimpin negara-negara Muslim. Hancurnya Irak dan Afganistan adalah bukti empirik penjahana atas nama demokrasi. Irak dituduh mengembangkan senjata massal yang hingga sekarang tidak dapat dibuktikan oleh AS. Afganistan dilabeli sarang teroris yang melahirkan ajaran kekerasan dan menyerang Pentagon di AS pada 11/9. Irak dan Afganistan dijajah dan dijarah hingga babak belur dan menewaskan ratusan nyawa tidak berdosa atas nama demokrasi.
Begitu juga dengan wilayah lain. Demokrasi telah membisu ketika etnis Rohingya dibantai dan diusir oleh pemerintah Myanmar yang secara de jure dan de facto adalah negara resminya. Ironis, negara yang diharapkan mengayomi dan melindungi, justru menyembelih dan mencampakkan warga Rohingya. Hingga kini, mereka terlunta-lunta hidup tanpa kejelasan.
Selanjutnya Uyhgur di provinsi Xinjiang, China. Pemerintah membuat kamp-kamp untuk Muslim Uyghur karena melawan pemerintah China dan menolak untuk meninggalkan ajaran Islam. Para Muslimah dipaksa menikah dengan tentara komunis China, dipaksa minum khamr saat menjalankan puasa Ramadhan, hingga disiksa di kamp-kamp yang tidak layak bagi manusia. China juga melakukannya dengan dalih otoritas atau hak sebagai penguasa. Demokrasi lagi-lagi merestuinya.
Kahsmir di India, tidak akan pernah hilang dari ingatan dunia. Muslimah di Kahsmir diperkosa dan dibakar hidup-hidup. Warga Kashmir diisolasi puluhan tahun dan terus dikawal oleh militer India. Meskipun India berlaku biadab terhadap kaum Muslim, negara tersebut malah dinobatkan sebagai negara paling demokratis.
Kini, perhatian dunia menuju Palestina. Atas nama hak dan kebebasan, Zionis menghabisi Gaza dan melakukan genosida. Mampukan demokrasi menyangkal semua fakta-fakta empirik yang melanda negeri-negeri Muslim? Ataukah memang demokrasi itu dijadikan sebagai alat perang untuk umat Islam? Kenyataan telah menjawabnya.
Demokrasi terlalu mahal untuk dibayar oleh kaum Muslim bahkan dunia. Negara-negara kecil juga dimangsa oleh para kapitalis global. Bukan hanya untuk umat Islam. Lihat saja Ukraina, adakah yang menolong? Atas nama hak, Rusia menjajah Ukraina bukan?
Kekacauan pola pikir, diskriminasi, keraguan terhadap keyakinan (agama), pembunuhan, korupsi, pendudukan tanah illegal, menjadi harga yang harus dibayar oleh dunia modern untuk penerapan demokrasi.
Demokrasi Tidak Sejalan dengan Akidah Islam
Meskipun tidak semua orang menyadari bahkan tidak menerima jika ada bunyi kalimat “demokrasi bertentangan dengan akidah Islam”. Apalagi dari kalangan yang mabuk kebebasan. Puluhan tahun demokrasi dianggap sebagai solusi atas kondisi buruk di dunia. Padahal, secara historis, demokrasi lahir di kota Athena, Yunani kuno. Penerimaan lahirnya demokrasi di kalangan masyarakat Yunani tidaklah merata positif dan banyak yang menentang.
Sebut saja nama Plato, yang dikenal sebagai tokoh pemikir atau filsuf Yunani menolak demokrasi dan menilainya sebagai sistem yang rapuh dan rentan dalam tirani. Jika Plato menolak demokrasi, lalu kenapa umat Islam menerimanya? Apakah umat Islam lebih tahu demokrasi ketimbang yang melahirkannya sendiri (Yunani)?
Sehingga, ada beberapa argumen rasional yang harus dipahami tentang demokrasi yang tidak sejalan dengan akidah Islam. Pertama, secara asas. Asas lahirnya demokrasi adalah tirani dan ketidakadilan peradaban gelap Eropa. Penindasan dan perbudakan di mana-mana. Kaum perempuan tidak memiliki hak-hak pendidikan, hak politik, sebab hanya keturunan Raja yang boleh menikmatinya. Sementara rakyat biasa, hidup bak budak yang harus tunduk tanpa perlawanan kepada para Raja. Muncullah ide hidup bersama dengan kesepakatan bersama pertama kali dicetuskan di Athena.
Warga Athena yakin bahwa kesepakatan bersama adalah kebaikan bersama. Dan Tuhan bersama dengan suara kesepakatan bersama (vox vovuli vox dei). ide ini tidaklah diterima begitu saja dan juga tidak menjadi jalan revolusi bagi kegelapan Eropa (dark age). Barulah setelah masa renaisance, Eropa bangkit dengan sekulerisme dan memilih demokrasi sebagai model pemerintahan baru yang kemudian ditambah dengan jargon-jargon human rights sebagai bentuk the freedom (kebebasan). Sebab warga Eropa masa kegelapan ingin perubahan hidup revolusioner dan mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh hingga meuntut segala persamaan.
Dalam perlawanan kaum perempuan Barat, lahirlah ide gender equality (kesetaraan gender) yang belum pernah mereka dapatkan selama masa peradaban Barat (dark age). Renaisance membawa wajah baru bagi Eropa yang revolusioner. Kemajuan di bidang industri, kebebasan yang diidamkan kini terwujud. Hingga kebebasan yang kebablasan. Negara hanya sebagai regulator bukan eksekutor. Sebab negara tidak boleh internvesi kebebasan siapapun. Maka hasilnya teruwud dalam keyakinan sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Agama dalam demokrasi tidak boleh mengatur. Apalagi sampai menjadi bagian dari kebijakan suatu negara. Hal tersebut akan melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Sementara dalam Islam, peradaban Islam lahir dari kemurnian akidah Islam yang berasal dari wahyu Allah swt. Ada konskuensi logis yang harus diyakini yaitu mengamalkan ajaran-ajaran Islam dan yakin sepenuhnya akan membawa kebaikan bersama. Aneh memang jika seseorang meyakini agamanya tetapi ragu dengan ajarannya.
Kedua, demokrasi meyakini lahirnya aturan kehidupan dari suara mayoritas atau kehendak manusia. Demokrasi menyebutnya dengan istilah vox vovuli vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Konsep seperti demikian jelas tidak dapat diterima dalam Islam. Sebab suara manusia bukan suara Tuhan. Suatu dosa besar jika menyamakan kehendak Tuhan dengan kehendak manusia. Dalam QS Al-Ikhlas Allah berfirman “Allah, Tuhan yang bergantung kepadanya segala sesuatu”. Atau dalam QS Al-An’am (67), “Tidak hukum kecuali hukum Allah”. Lalu bagaimana mungkin hukum Allah bisa sama dengan buatan manusia? Bukankah penyamaan tersebut sama saja mengkerdilkan Kuasa Allah swt? Oleh karena itu, suara mayoritas manusia tanpa bersandar pada hukum Allah bukanlah suara Tuhan melainkan suara nafsu atau kelemahan manusia.
Ketiga, demokrasi sering disamakan dengan musyawarah. Benarkah? Demokrasi bukan dilihat dari musyawarah atau tidak. Karena demokrasi adalah sebuah paham (hadaharah) yang khas dan lahir dari rahim peradaban tiran. Kemudian menamakan diri dengan sekulerisme atau liberalisme (memisahkan aturan agama dari kehidupan/politik). Kaum agamawan diusir dari kekuasaan, dan kaum intelektual tidak dibenarkan mendalami agama karena dianggap penghambat kemajuan. Dengan begitu, lahirlah kebebasan. Demokrasi hanya menggandeng musyawarah untuk legalisasi suara mayoritas.
Akan tetapi lihatlah, ketika suara mayoritas itu adalah oligarki, kapitalis atau para korporat, maka demokrasi dimenangkan oleh mereka. Bukan oleh rakyat yang suaranya lebih banyak. Belum ongkosnya yang mahal dan melahirkan kesenjagan sosial. Tetapi tetap saja, demokrasi dianggap tidak bersalah dan masih bisa dipakai.
Musyawarah dalam Islam bukan memutuskan perkara dengan suara manusia jika berkaitan dengan perbuatan atau hukuman. Melainkan tunduk pada hukum Allah. Syariat Islam telah jelas mengatur sanksi bagi pelaku kejahatan. Baik sanksi yang dalilnya sudah qath’i dilalah, maupun dalam kategori ta’zir oleh Qadhi (Hakim dalam khilafah).
Jadi, tidak ada musyawarah dalam penetapan hukum syariat. Kecuali dalam perkara urusan teknologi, alat, atau semisal perkara-perkara mubah yang memang boleh disandarkan pada keutamaan maslahat. Maka boleh dimusawarahkan. Contoh, pembangunan bangunan pemandian umum khusus bagi wanita, pasar, dan lainnya.
Oleh karena itu, dengan tiga alasan yang telah dijelaskan, sulit untuk membantah bahwa demokrasi sudah usang dan tidak layak pakai. Sudah saatnya kaum Muslim dan dunia menyadari bahwa demokrasi adalah topeng kebebasan yang sesungguhnya adalah tirani yang mengelabui. Maka hanya Islamlah solusi untuk menghentikan segala penghinaan dan pelecehan terhadap syariat, kaum Muslim, dan juga nabi-nabi Allah. Serta menjaga kehidupan manusia (rahmatan lil ‘alamin). Allahu a’alam bissawab.
