Perjalanan Pilkada madina telah usai namun bagi Golkar selama ini sebagai partai pendukung incumbent masih terus menyisakan banyak pertanyaan. Mungkin persoalannya masih agak sedikit mengambang, artinya memang perlu waktu tetapi kalau kritikan itu justru sangat mendasar dan disampaikan maka sudah semestinya perlu di terima, di evaluasi dan dikerjakan dengan lebih baik. Dari awal Partai golkar telah solid mengarah pada satu calon yaitu pasangan nomor 5 yakni pasangan Arsyad-Azwar yang notabene-nya bukanlah sebagai penggerak dan yang berkecimpung dalam wilayah politik golkar di Madina. Lalu kemana suara pendukung setia Golkar selama ini?
Membaca peta politik seperti berhitung matematika kuadrat, hasil yang akan dihitung tetap berdasar pada hasil persamaan dan hasil pembagi. Dari kebanyakan yang terjadi dalam sebuah internal partai faktor dominan persamaan adalah karena keberhasilan dominasi pada pemerintahan. Suka atau tidak nama besar partai golkar di madina adalah bukan hanya karena nama “besar” bupatinya sebagai ketua umumnya.Hasil pembagi-nya adalah kepercayaan pemilih yang mulai beranjak “cerdas” tidak lagi sekedar ikut ikutan. Seterusnya aspek kepentingan yang utama menjadi stagnan dan fragmatis, golkar tidak bisa berjalan tanpa didukung secara internal dan dana yang cukup untuk bisa memenangkan hasil pilkada madina 2010. Para pendukung partai golkar yang selama ini didukung penuh oleh kekuasaan menjadi seperti kebingungan. Di satu sisi mendukung arsyad-azwar sebagai bupati pilhan dan sisi lain terdorong ke pasangan lain yang memanfaatkan ketidak tahuan(kurang sosialisasi) subjektif pilihannya
Kembali lagi ke kenyataan metamorfosis opportunis dari masyarakat madina yang cenderung memilih kekuatan politik”nama besar” sebagai pilihan utama dan tidak terlepas juga dari tujuan uang sebagai asaz pendorong. Dan sementara para politisi menganggap kekuasaan sebagai tujuan utama pencapaian pribadi, bukan atas nama rakyat seperti yang didengung-dengungkan ketika kampanye. Saya tidak heran dengan politik opportunis ini, setiap ada kesempatan harus bisa dimaksimalkan sebagaimana mestinya. Ada pencalonan menjadi anggota dewan, banyak yang bisa menang karena kecukupan modal. Ada pencalonan menjadi bupati, mencari jaring kesempatan dengan uang, lalu yang tidak punya uang tinggalkan saja.
Sulit dipungkiri, Madina yang semestinya madani ini tengah menghadapi persoalan serius terkait merosotnya moralitas dan tanggung jawab para elite hampir di semua tingkat. Ironisnya, para elite yang memperoleh mandat politik cenderung ”masa bodoh” karena mata hatinya tertutup kekuasaan meskipun ada juga yang ingin berubah menjadi lebih baik.
Yang jelas Golkar sebagai partai besar jika tidak ingin “ngadat” harus segara berbenah diri menjadi ‘saudara tua” yang bijak untuk menjaring aspirasi dan mungkin harus menjadi oposisi bukan menjadi oportunis.
Pos-pos Terbaru
- Arief Tampubolon Minta Kajari Madina Mundur Jika Dugaan Korupsi Smart Village Takterungkap
- Dana Perjalanan Dinas di Kesbangpol Madina capai 841 Jutaan Termasuk Kunker ke IKN
- Kebakaran Rumah di Tambangan Akibat Arus Pendek.PLN : Intalasi Rumah Bukan Tanggung Jawab PLN
- Kades Rantobi Mengaku Parman Pemilik Lahan Tambang Maut di Desanya. Polisi Masih Lakukan Penyelidikan
- Delapan Mahasiswa asal Sumut Diwisuda di Universitas Al-Ahgaf Yaman
Most Used Categories
- Seputar Madina (5,078)
- Berita Sumut (1,421)
- Seputar Tapsel (439)
- Berita Nasional (918)
- Artikel (744)
- Politik Madina (283)
- Budaya (255)
- Berita Foto (255)
- Pendidikan (174)
- Dakwah (150)
One thought on “Golkar pasca Amru "Mau dibawa kemana"”