Aku Ingin Diratukan, Tapi Sistem Telah Merampasnya

Oleh: Nesty Laila Sari

 

Sejak awal menikah, aku punya impian sederhana: ingin diratukan. Sebagai seorang istri, aku hanya ingin taat kepada suami, merawat anak-anakku, dan membangun rumah tangga dengan penuh kebahagiaan, ketenangan, dan kedamaian.

Namun, kenyataannya berbeda jauh. Setelah melewati hari demi hari, aku merasakan bahwa jalan ini tidak mudah. Terlebih setelah memiliki anak, ternyata bukan hanya impianku yang memudar, tapi juga beban tanggung jawabku semakin berat. Aku harus merawat anak, mengurus rumah, memenuhi kebutuhan suami, bahkan mengusahakan biaya hidup yang seharusnya bukan hanya menjadi tugasku.

Ya, aku paham betul bahwa merawat anak adalah amanah dari Allah, kewajiban mulia seorang ibu. Tapi pertanyaannya: mengapa seluruh biaya hidup dan keperluan anak harus aku yang menanggung? Ke mana tanggung jawab seorang suami?

Aku tidak menafikan bahwa suamiku telah berusaha keras. Ia mencoba memenuhi kebutuhan keluarga, memberikan yang terbaik dari apa yang mampu ia usahakan. Tetapi apa daya, sistem hari ini begitu kejam. Hidup semakin mahal, pekerjaan sulit dicari, dan rakyat dibiarkan berjuang sendiri tanpa ada solusi yang meringankan.

Semua ini adalah akibat dari sistem sekularisme yang memengaruhi negeri ini. Sistem yang membuat negara abai terhadap rakyatnya, seolah buta dan tuli terhadap penderitaan keluarga-keluarga kecil seperti kami. Lalu, bagaimana mungkin seorang suami bisa memuliakan istrinya dan mendidik anak-anaknya dengan tenang jika ia sendiri terhimpit oleh sistem yang menindas?

Tidak heran, banyak yang akhirnya memilih jalan pintas. Ada yang menempuh perceraian, ada yang lari pada judi online untuk menenangkan jiwa, bahkan ada pula istri yang terpaksa berutang melalui pinjol demi sekadar bertahan hidup — meski akhirnya terjerat lilitan hutang.

Sementara itu, para pemimpin negeri justru sibuk menikmati kekayaan dari rakyat, bersenang-senang di atas penderitaan istri-istri yang tertekan dan suami-suami yang kebingungan mencari nafkah.

Maka, sungguh bukan suamiku yang gagal. Yang gagal adalah sistem hari ini, yang tidak pernah memberi jalan keluar untuk rakyatnya. Yang menindas, bukan menolong. Yang membiarkan, bukan mengayomi. Dan selama sistem ini terus dipertahankan, kisah getir para istri sepertiku akan terus berulang.***

 

Comments

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses