Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam
Sombong! Angkuh! Biadab! Bengis! Kata-kata yang layak dilayangkan kepada Amerika khususnya Donald Trump. Andai masih ada kata yang lebih kasar dari kata-kata tersebut, jauh lebih layak disematkan kepada sosok yang berlagak pahlwan, tetapi sesungguhnya adalah perampok dan penjajah yang bertopengkan retorika. Ucapan-ucapannya bak sihir mampu mempengaruhi penguasa negara-negara lain hingga tunduk dan patuh.
Seperti yang dilakukan oleh Yordania, King Abdullah melunak dan terlihat tunduk dari gestur tubuhnya saat bertemu dengan Trump di gedung putih Amerika Serikat.
Awalnya, ketika Trump menyampaikan keinginannya untuk mengusir warga Gaza ke negara-negara tetangga terdekat seperti Yordania, Mesir, dan negara Timteng lainnya, tidak ada yang setuju. Akan tetapi perubahan terjadi begitu mendadak pasca pertemuan King Adbullah Yordania dengan Trump. Pertemuan tersebut menghasilkan sinyal ketundukan dan persetujuan dengan ide Trump untuk menggusur warga Gaza.
Pertanyaannya kemudian adalah, mengapa para penguasa Muslim tidak punya sikap tegas dan menentang keinginan Amerika, yang jelas salah bahkan dalam kacamata hukum internasional sekalipun? Apalagi secara syariat Islam, jelas tidak dapat diterima.
Rencana Take Over Gaza Oleh AS adalah Perampasan Ilegal
Awalnya pada hari Senin, (10/02/2025), TRT World merilis berita yang menunjukkan Trump mengucapkan akan membeli dan memiiki Gaza.
“I’am committed to buying and owning Gaza. As far as rebuilding it and we may give it to other states in the middle east to build sections of it…, but we’re committed to owning it, takit it,” kata Trump penuh semangat kepada wartawan saat itu.
Pernyataan Trump dapat dimaknai sebagai sebuah isyarat bahwa tanah Palestina akan diambil dan dikuasasi serta dikelolo sendiri oleh Amerika. Padahal, Palestina bukan wilayah ZEE Amerika dan tidak berhubungan secara geografis dengan benua Amerika apalagi kepemimpinan secara the law of political legacy.
Namun, dalam sebuah video unggahan The Economic Times, Rabu (12/02/2025) Trump mengubah pernyataannya kepada wartawan bahwa dirinya tidak akan membeli Gaza, tetapi akan memilik Gaza.
“We’re not going to buy Gaza, we don’t have to buy. There is nothing to buy. We will have Gaza. No reason to buy. There is nothing to buy. Gaza is a war ton area. We’are going to take it.” ujar Trump.
Ia mengaku tidak akan membeli Gaza tetapi tetap konsisten pada pernyataan we will have Gaza (kita akan memiliki Gaza). Trump menunjukkan arogansinya lewat pernyataan akan memiliki alias akan mengambil dan merampasnya.
Alasan Amerika untuk mengambil alih Gaza karena dinilai tidak mampu mempertahankan dirinya dari serangan Israel dan mengalami banyak kerusakan atau kerugian. Sebagai polisi dunia, Amerika merasa bertanggung jawab untuk terlibat secara langsung turun menyelesaikan genosida yang sudah berjalan lebih dari setahun itu.
Trump juga mengatakan bahwa Amerika akan membangun kembali Palestina dan memberikan kehidupan yang damai, layak, serta menyediakan lapangan pekerjaan dan juga apartemen, bahkan membangun kota pariwisata di Palestina. Hanya saja katanya, butuh waktu yang lama lebih tiga atau lima tahun ke depan.
Akan tetapi, benarkah Amerika sebaik itu untuk warga Gaza? Ketika ia mengusir sisa warga Gaza ke Timur Tengah, akankah ia kelak mengembalikan tanah tersebut setelah ia bangun secara cuma-cuma kepada warga Gaza? This is capitalism. No free lunch. And that is imposible! Sesuatu yang tidak mungkin akan terjadi dalam dunia kapitalis.
Gaza adalah tanah yang diberkati oleh Allah, dan penuh kekayaan alam. Kapitalis global seperti AS adalah negara serakah yang terus ingin berkuasa dengan metode penjajahannya (new imprealism) baik dengan cara hard maupun soft. Atau dengan istilah George.W. Bush, stick and carrot. Jika dengan stick (tongkat bermakna senjata atau penjajahan fisik) tidak dapat dilumpuhkan, maka carrot (wortel atau bermakna cara halus seperti kerjasama saling menguntungkan, meskipun paling diuntungkan hakikatnya adalah pihak kapitalis sendiri) akan disuguhkan.
Israel selain mengkalim Palestina sebagai tanah yang dijanjikan bagi mereka, juga berhasrat memiliki cadangan gas alam Gaza yang begitu mempesona. Tentu saja tidak mungkin tanpa pengetahuan dan restu Amerika, bahkan harus saling berbagi keuntungan. Maka dengan bantuan Amerika selama ini, Israel tidak dapat dihentikan dari kejahatan-kejahatannya oleh negara manapun, persekutuan internasional sekalipun.
Kenyataan tidak dapat dibantah, bahwa Israel adalah pendatang yang merampas tanah Palestina dengan kekejaman dan kejahatan kemanusiaan. Lalu kini, Amerika secara terang-terangan menunjukkan posisinya bersama Israel untuk merampas Palestina secara ilegal. Akankah dunia berani mengadilli keduanya?
Amerika bukan Polisi Melainkan Teroris
Atas nama kedamaian dan polisi dunia, Amerika mencoba mengamambil alih untuk menyelesaikan kasus Palestina dengan cara yang tidak kalah arogan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan.
Amerika sebagai negara super power yang dinarasikan sebagai negara yang memiliki pengaruh paling besar di dunia, dan menjunjung tinggi hak-hak asasi (human rights), nyatanya tidak mampu berlaku adil terhadap setiap konflik yang terjadi di dunia ini. Atau dengan katan lain, Amerika sesungguhnya telah gagal menjadi polisi dunia.
Teriak anti teroris, anti perang, dan anti penindasan, justru Amerika adalah negara yang hobi melakukan semuanya. Apakah mengusir warga Gaza dari tanahnya dan dipaksa pindah ke negara lain bukan perbuatan teroris? Apakah berpihak kepada Zionis yang bengis dan merampok Palestina serta membunuh bukan perbuatan teroris? Lalu teroris seperti apa yang tidak didukung oleh Amerika?
Dunia tentu belum lupa atas penjajahan yang dilakukan Amerika terhadap Irak dan Afganistan selama tidak kurang dari 20 tahun lamanya. Kedua negara tersebut porak-poranda, banyak pemerkosaan, pembunuhan, dan perprecahan terjadi atas ulah Amerika. Apakah kejahatan demikian bukan bagian aksi teroris? Dan kelahiran negara Zionis yang meneror Palestina juga dibidani oleh Amerika.
Keadilan yang dimaksud oleh Amerika juga tebang pilih. Apakah adil mengungsikan warga Gaza ke Timur Tengah sementara perampoknya dibiarkan berkuasa? Itukah keadilan ala Barat? Apakah disebut keadilan ketika dunia meminta penghentian genosida di Gaza, tetapi Trump menyuruh mengobarkan perang jika tawanan Israel tidak dikembalikan? Berapa tawanan yang ditahan dibandingkan jumlah manusia yang telah korban nyawa akibat rudal-rudal Israel?
Di Mana Para Penguasa Muslim?
Derita Gaza hakikatnya adalah derita seluruh kaum Muslim sedunia. Para penguasa Muslim seharusnya memiliki empati dan kebaranian dalam menolong Palestina baik secara fisik maupun psikis.
Tentu saja bantuan makanan, pakaian, obat-obatan dibutuhkann, hanya saja bukanlah bantuan yang cukup. Karena semua bantuan yang masuk ke Palestina juga akan habis dirudal Israel.
Kehadiran para penguasa Muslim sekitarnya, yaitu Timur Tengah seperti Mesir, Saudi, Yordan, dan lainnya sebagai negara yang paling dekat dengan Palestina seharusnya mampu memberikan pertolongan pertama atas teriakan saudara-saudara mereka di balik dinding perbatasan yang mereka bangun.
Islam mengajarkan ikatan ukhuwan Islamiyah sebagai pemersatu kaum Muslim. Para pemimpin Muslim hari ini wajib mengambil tanggung jawab derita Palestina sebagai prioritas mereka. Karena mereka memiliki kekuatan militer, persenjataan yang dibuthkan dalam menolong warga Gaza.
Namun ironis, para penguasa Muslim justru bungkam dan tidak berani bersuara. Hatta menolak usulan Trump untuk menggusur warga Gaza pun tidak bernyali. Mereka menyerahkan leher saudara mereka sendiri ke tangan musuh. Perbuatan yang sungguh dibenci dan diharamkan oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Amerika berhasil mempermainkan negara-negara Timur Tengah dengan menjadikan Palestina sebagai isu sentral. Patuh tidaknya penguasa Timur Tengah kepada Amerika akan dinilai dari pandangannya terhadap kebijakan Israel dan Amerika terhadap Palestina. Padahal yang menjadi saudara mereka adalah warga muslim Palestina bukan Amerika.
Inilah bukti bahwa kaum Muslim tidak punya kekuatan di mata musuh-musuh Islam walaupun terdiri dari puluhan negara-negara nasionalis yang konon katanya merdeka dan berdaulat. Tetapi kenyatannya, tetap didikte oleh AS.
Maka semakin menunjukkan pada umat Islam, perlunya persatuan dan kesatuan secara politik untuk menyelesaikan kasus Palestina. Konsep sekat-sekat kepemimpinan nasinonalisme telah gagal membentuk kepemimpinan yang ideal dan bebas hegemoni. Serta tidak memberikan apapun kepada umat Islam melainkan kerugian (mudharat) dan kesengsaraan.
Oleh karena itu, kepemimpinan Islam adalah satu-satunya jawaban yang akan mampu menyelesaikan persoalan kaum Muslim di seluruh dunia, mulai dari Palestina, Xinjiang, Rohingya, Kashmir, Suriah, dan sebagainya.
Islam mengajarkan bahwa kepemimpinan bagi kaum Muslim hanya boleh ada satu, yang disebut dengan khilafah. Khilafah akan dipimpin oleh seorang khalifah, atau Amirul Mukminin untuk menyerukan jihad terhadap militer ke Palestina. Tanpa adanya khilafah, Palestina dan negeri muslim lainnya tidak akan pernah bisa ditolong dengan tuntas.
Dengan demikian, perkara pertama yang harus dipahami oleh umat Islam adalah mengembalikan kekhilafahan Islam yang dulu telah membebaskan Palestina dari perang Salib oleh Salahuddin Al Ayyubi, setelah awalnya dibebaskan di awal kekuasaan Khalifah Umar bin Khattab.
Islam mensyariatkan wajib bagi seorang Pemimpin untuk menjadi pelindung (junnah) bagi rakyatnya, bukan penjual aset-aset yang merugikan negara apalagi sampai menyembelilh warganya dengan kedok kerjasama asing, yang nyata menjajah secara fisik seperti Isael dan Amerika.
Saatnya kaum Muslim berfikir dan menyadari bahwa trik Amerika dalam menjalankan agendanya untuk umat Islam tidak pernah mundur dan menyerah. Selama Amerika tidak punya negara yang mampu mengimbangi kekuatannya, maka selama itu pula ia akan menipu dunia khusunya umat Islam. Dan satu-satunya negara yang menurut Amerika menjadi pesaing kuatnya adalah kepemimpinan Islam, yaitu khilafah. Allahu a’alam bissawab.