Artikel

Atika dan Realitas Birokrasi, Peluang dan Kendala

Pasangan Sukhairi-Atika

Oleh: Askolani Nasution

Setelah melewati perjalanan yang tidak mudah, akhirnya  M Ja’far Sukhairi Nasution dan Atika Azmi Utammi Nasution dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Mandailing Natal. Saya membayangkan saja apa yang ada dalam pikiran beliau. Terutama Atika.

Saya yakin, ada moment ketika Atika merenung. Duduk, mungkin sambil senyum, karena tiba-tiba berada di jalur pemerintahan. Padahal baru beberapa waktu yang lalu beliau ada di Australia, mungkin duduk di perpustakaan kampus, ada di sebuah coffe house sambil membuat studi analisis keuangan, ada di taman kota, ber-say-hallo dengan para bule yang berpapasan dengan bahasa Inggris cas-cus, atau ada di sebuah kantor perusahaan multinasional sambil mengkalkulasi break event point.

“My Way”, begitu mungkin bisiknya menirukan lagu Frank Sinatra itu. Ia yang dulu hidup dalam dunia serba rasional, terukur, efisiensi, atau bebas protokoler; lalu tiba-tiba berada di jalur birokrasi yang kaku dan aneh untuk mereka yang sepanjang hidup ada di jalur akademis, Barat lagi. Beliau harus taat aturan kapan boleh batuk, kapan berbasa-basi, kapan setengah tertawa meskipun tidak benar-benar lucu, kapan bla-bla.

Itu berat. Tapi menjadi kemestian baru. Dulu, mantan dosen saya seorang profesor. Tiba-tiba diangkat menjadi kadis pendidikan sebuah kota. Hanya satu tahun, ia langsung mengeluh. “Saya berhenti menjadi diri saya selama setahun ini,” katanya. Lalu balik lagi ke kampus.

Itu yang terberat di dunia birokrasi. Karena kita harus menjadi orang lain, yaitu orang yang dibentuk untuk diinginkan semua orang.

Bahkan orang teater seperti saya, yang melatih orang lain terampil berpura-pura, juga tak tahan. Iya. Karena dalam tidur pun kita tetap menjadi orang lain, bukan orang yang kita inginkan. Dengkur misalnya tiba-tiba menjadi aib, padahal itu tanda merdeka.

Nah di dunia baru itu seorang Atika mencemplungkan diri. Menenggelamkan diri tepatnya.

Coba kita kilas balik ke latar akademisnya. Lulus dari Magister of Finance UNSW, Australia, yang sangat bergengsi, karena universitas itu peringkat 45 dunia. Ia bergulat dengan segala kerumitan bisnis, dengan cara berpikir yang amat rasional, tiba-tiba harus berhadapan dengan berbagai kerawitan kekuasaan, politik praktis, dan seterusnya.

Saya yakin beliau banyak membaca soal konsep politik ekonomi makro. Karena politik dan ekonomi seperti mata uang logam, bersisihan.

Saya yakin beliau matang soal inflasi, pertumbuhan ekonomi, PDRB, neraca keuangan, investasi, modal, dan seterusnya. Konon lagi ekonomi pembangunan, pasti beliau sangat matang.

Saya yakin juga beliau amat paham soal realitas ekonomi pembangunan di kawasan Asia Tenggara, apalagi di dunia Barat. Semua latar akademiknya amat membantu memahami potensi ekonomi dan keterbatasan daerah ini.

Saya yakin beliau setidaknya juga sudah punya peta dasar tentang itu semua, karena sudah melihat kontekstualitas Mandailing Natal selama kunjungannya ke berbagai daerah.

Beliau melihat potensi, melihat keterbatasan ekonomi ummat, melihat kemiskinan, potensi PAD, atau kemungkinan peta investasi. Orang semuda beliau, dengan latar akademik yang matang, tentu sudah mampu menjabarkan, membuat formula, dan solusi yang aplikatif atas semua kesemrautan ekonomi daerah.

Dan ini, Mandailing Natal itu seperti piring kecil dalam jamuan makan. Ada banyak menu yang harus dicoba dan berjejal dalam piring kecil itu. Ada politik yang tidak rasional, ada pola-pola penganggaran yang tidak efektif dan efisien, ada sisi-sisi yang macet, dan berbagai distorsi lain untuk sebuah akselerasi pembangunan ekonomi daerah (berpotensi tapi tertinggl). Bahkan ada bandit-bandit yang cerdas memainkan konsep fait accompli, menjebak dan memaksa orang untuk melakukan hal yang tidak ingin dilakukannya.

Harus menjaga bandul politis, memelihara dukungan yang terus menerus, sambil harus juga melaju di jalur prioritas; ah, itu butuh energi yang luar biasa. Diperlukan dukungan dan pengertian yang luar biasa dari segenap ummat juga.

Untung, saya yakin Atika sudah punya sikap yang teguh untuk menginfaqkan dirinya bagi Mandailing Natal. Bahasa klasiknya sebutlah membangun kampung halaman. Apalagi kalau jalannya dimudahkan dengan pemberian ruang yang lebih luas untuk mencoba konsep-konsep baru misalnya; ada dukungan kaum milineal dan perempuan, dan sedikit rendah hati dari DPRD untuk membuka hati terhadap hal yang berbeda.

Jangan dulu selalu berpikir politis. Jangan dulu berpikir siapa makan menu apa. Sudah 22 tahun Mandailing Natal, masa begini-begini saja, masa jargon-jargon saja macam pepesan kosong? Gagah di motto tapi miskin kreativitas.

Semoga bupati dan wakil bupati baru mampu menguatkan harga diri kita kembali.

Askolani Nasuton adalah budayawan, sutradara dan juga birokrat. Pernah menjabat Kabag Humas DPRD Madina; Kabag Risalah dan Persidangan di DPRD Madina; Kabid Kebudayaan Dinas Pendidikan Madina. Kini masih non job.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.