PANYABUNGAN (MANDAILING ONLINE) – Dalam sistem negara ini Pemerintah Pusat, Provinsi dan Daerah masing-masing memiliki kewenangan. Oleh karena itu, persoalan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP) tak tepat bertumpu ke Pemerintah Daerah.
Proyek PLTP di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara (Sumut), adalah proyek strategis nasional. Kewenangan menutup dan mencabut izin operasionalnya berada di tangan Pemerintah Pusat.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah pada dasarnya telah menjalankan sebagaimana wewenang yang dimiliki dalam menyikapi desakan atas insiden yang belakangan terjadi di PT SMGP.
Hal itu diungkapkan Wakil Bupati Mandailing Natal (Madina), Atika Azmi Utammi Nasution di hadapan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Bersatu Madina (AMBM) yang unjuk rasa pada Kamis (20/10) siang, di aula kantor bupati Madina, komplek perkantoran payaloting, Desa Parbangunan.
Atika menjelaskan, bahwa Pemerintah Daerah telah menjalankan wewenangnya mulai dengan meminta dan merekomendasikan penutupan, meminta PT SMGP merealisasikan poin-poin rekomendasi hasil evaluasi Tim Forkopimda Madina bersama tokoh masyarakat, hingga meminta pendelegasian sebahagian kewenangan pengawasan operasional PT SMGP.
Hal itu dilakukan Pemerintah Daerah sebagai sikap keberpihakan sekaligus memastikan keselamatan masyarakat.
“Kalau diminta menutup SMGP secara administrasi sudah kami lakukan mulai April kemarin, sebelum agenda hari ini sudah duluan kita minta. Perlu kita pahami kewenangan masing masing dari pemerintahan yang ada di negara ini yakni pemerintah pusat, provinsi dan pemerintah daerah. Tiga stakeholder ini punya kewenangan masing masing,” jelas Atika.
“Kewenangan penutupan itu ada di pemerintah pusat. Selaku pemerintah daerah telah merekomendasikan penutupan, tugas kami sebenarnya yang dituntut itu sudah dikerjakan. Mahasiswa juga perlu melihat bahwa pemerintah daerah tidak pro perusahaan, jadi itu terjawab ya,” paparnya.
Selain terkait sikap Pemerintah Daerah, mengenai tim investigasi PT SMGP yang juga menjadi salah satu tuntutan mahasiswa AMBM turut dijelaskan.
Atika menjelaskan, tim yang dia pimpin tidak memiliki SK dan merupakan penunjukan secara lisan oleh Gubernur Edy Rahmayadi, kala meninjau PT SMGP usai terjadinya insiden Blow Out pada 24 April lalu.
“SK saya menjadi ketua tim investigasi tidak ada, kenapa dituntut? Saya hanya ditugaskan oleh gubernur menjadi ketua tim investigasi untuk kejadian Blow Out T-12 dan kami laporkan hasilnya kepada pak gubernur. Kalau yang ada SK-nya adalah tim evaluasi,” ujarnya.
Pernyataan yang disampaikan Atika berdasar. Pasalnya, tim pembentukan Forkopimda Madina dengan diketuai oleh Alamulhaq Daulay yang hanya memiliki SK.
Adapun pembentukan tim Forkopimda Madina tersebut, dilakukan pasca-insiden yang terjadi pada 6 Maret lalu. Saat itu, diungkapkan Bupati Madina HM Jafar Sukhairi Nasution untuk alasan pembentukan tim Forkopimda Madina karena perusahaan tak mengakui terjadi kebocoran yang menyebabkan 58 warga dilarikan ke rumah sakit.
Tim Forkopimda Madina dibentuk berdasarkan SK Bupati Mandailing Natal nomor 900/0696/K/2022 tentang Pembentukan Tim Evaluasi.
Selain itu, mewakili Kapolres Madina AKBP HM Reza, Kabag Ops Kompol M Rusli juga memberi tanggapan menanggapi tuntutan mahasiswa AMBM yang menuntut adanya penetapan tersangka atas insiden di PT SMGP.
M Rusli menjelaskan, bahwa kepolisian tidak tinggal diam dalam melakukan penegakan hukum. Soal penetapan tersangka, menurut dia, semua harus berproses sesuai dengan peraturan yang ada.
“Tim dari Krimsus Polda Sumut sudah turun, bahkan sudah dua pekan di Madina. Mereka sudah melakukan pemeriksaan, penyelidikan dan sebagainya. Untuk penetapan tersangka ada prosesnya dan ada SOP yang harus dipenuhi mereka,” katanya.
Rusli pun meminta mahasiswa bersabar menunggu apakah ada pidana atau delik hukum lainnya pada setiap insiden yang pernah terjadi di PT SMGP.
“Bapak Kapolda menurunkan tim ke Madina, baik Labfornya. Mereka kembali, disuruh datang lagi. Tim dari Krimsus itu dua kali datang, dalam hal ini Polri tidak main main. Bukan begitu asal makan cabai langsung pedas, bukan begitu adek adek. Ada proses hukumnya, ada SOP yang harus dilaksanakan. Dalam pasal 184 KUHP terlihat jelas,” jelasnya.
Peliput: Syahrul Ramadan Harahap