Oleh : Z Pengaduan Lubis (almarhum)
Bahasa Daun-daunan
Di samping kelima macam ragam bahasa yang telah dikemukakan di atas, pada masa lalu masyarakat Mandailing juga memiliki satu ragam bahasa yang lain yang dinamakan hata bulung-bullung (ertinya daun-daunan). Ch. A. van Ophuysen menamakannya bladerentaal.
Berbeda dari bahasa yang biasa, yang digunakan sebagai kata-kata dalam hata bulung-bulung ialah daun tumbuh-tumbuhan yang dalam bahasa Mandailing disebut bulung-bulung.
Daun-daunan yang digunakan ialah daun-daunan yang namanya punya persamaan bunyi dengan kata-kata yang terdapat dalam bahasa Mandailing. Misalnya ialah daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitarak digunakan untuk menyampaikan kata marsarak (berpisah). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama pau (pakis) digunakan untuk menyampaikan kata diau (pada saya).
Daun yang tumbuh-tumbuhan yang bernama sitanggis (setanggi) digunakan untuk menyampaikan perkataan tangis (menangis). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama podom-podom digunakan untuk menyampaikan perkataan modom (tidur). Daun tumbuh-tumbuhan yang bernama hadungdung digunakan untuk menyampaikan perkatan dung (setelah). Dan daun tumbuh-tumbuhan yang bernama sitata digunakan untuk menyampaikan perkataan hita (kita).
Kalau misalnya daun hadungdung bersama-sama dengan daun sitata, daun sitarak, daun sitanggis dan daun podom-podom dikirimkan oleh seorang pemuda kepada kekasihnya, maka sang kekasih akan mengerti bahwa sang pemuda mengatakan kepadanya: “dung hita marsarak jolo tangis au anso modon”. Artinya “setelah kita berpisah, menangis saya dahulu baru bisa tertidur”.
Pada masa yang lalu, bahasa daun-daun biasanya digunakan oleh muda-muda (naposo na uli bulung) dalam masyarakat Mandailing, terutama pada waktu mereka berpacaran. Dalam hal ini, dapat dikemukakan bahwa pada masa yang lalu kegiatan berpacaran (asmara) antara pemuda dan pemudi dalam masyarakat Mandailing sama sekali tidak boleh dilakukan secara terbuka. Hubungan dan kegiatan berpacaran harus dirahasiakan atau dilakukan secara rahsia.
Oleh karena itu, jika dua orang muda yang berpacaran hendak menyampaikan sesuatu di antara mereka, maka mereka menggunakan bahasa daun-daunan. Dan jika seorang kekasih hendak menyampaikan daun-daunan sebagai “surat cinta” kepada pacarnya, dia harus melakukannya secara rahasia.
Misalnya dengan meletakkan daun-daunan tersebut di satu tempat tertentu yang sudah mereka sepakati dan tidak diketahui orang lain. Secara sembunyi-sembunyi mereka yang berpacaran itu akan mengunjungi tempat rahasia tersebut secara bergiliran, untuk melihat apakah di tempat itu terdapat “surat cinta” yang terdiri dari daun-daunan.
Kalau dua orang yang sedang berpacaran hendak berdialog secara langsung, mereka akan melakukannya dengan cara yang disebut markusip (berbisik). Kegiatan markusip dilakukan pada waktu tengah malam agar tidak diketahui oleh orang lain. Dalam hal ini, pemuda dengan cara sembunyi-sembunyi mendatangi rumah tempat kekasihnya tidur. Kemudian dengan menggunakan sandi atau kode sang pemuda akan membangunkan kekasihnya dari balik dinding rumah tersebut.
Untuk membangunkan sang kekasih, biasanya pemuda menjentik-jentik dinding rumah dengan jari tangannya secara perlahan-lahan. Dalam hal ini, biasanya sang kekasih memang sudah menunggu kedatangan kekasihnya untuk markusip pada waktu-waktu tertentu tengah malam. Oleh karena itu sang pemuda cukup menjentik dinding rumah beberapa kali untuk memberitahukan bahwa dia sudah datang dan berada di balik dinding.
Kadang-kadang untuk memberitahu kehadirannya di balik dinding sang pemuda membunyikan alat musik yang dinamakan tulila yang suaranya halus sekali. Bila sang gadis sudah mengetahui kehadiran kekasihnya di balik dinding, maka mulailah mereka berdailog secara berbisik-bisik. Dialog antara dua orang yang markusip biasanya dihiasi dengan pantun-pantun percintaan yang romantis.
Dan tidak jarang pula dihiasi dengan musik yang dimainkan dengan alat tiup yang terbuat dari ruas bambu (buluh) yang relatif sangat kecil, sehingga suaranya sangat halus. Alat musik yang khusus digunakan pada waktu markusip itu dinamakan tulila.
Pada masa sekarang, bahasa daun-daunan (hata bulung-bulung), dan penggunaannya sudah hilang dari tradisi budaya Mandailing. Demikian pulanya dengan ragam-ragam bahasa yang tersebut di atas. Yang masih terus digunakan oleh warga masyarakat Mandailing di negeri mereka ialah hata soma (ragam bahasa sehari-hari).
Sedangkan ragam bahasa yang lainnnya, boleh dikatakan sudah hampir punah sama sekali. Karena selama ini warga masyarakat Mandailing tidak berusaha untuk melestarikannya. Kepunahan ragam-ragam bahasa Mandailing yang sangat kaya itu sangat merugikan kelompok etnis Mandailing, bahkan merugikan bangsa Indonesia. Karena ragam bahasa tersebut merupakan kekayaan budaya etnis, yang kalau sudah punah hampir mustahil untuk menghidupkannya kembali.***