Artikel

Bela Palestina Tak Cukup Dengan Retorika

Oleh: Novida Sari, S.Kom
Ketua Majelis Taklim Islam Kaffah Madina

Pidato Presiden Prabowo dalam Forum KTT Developing Eight (D-8) dinilai bagus tapi terkesan menggurui dan abai atas apa yang dilakukan oleh negara-negara tersebut, demikian menurut Pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar. Menurutnya, Prabowo tidak mendapatkan cukup informasi tentang perkembangan di Gaza. Meskipun Indonesia sendiri begitu vokal membela Palestina di kancah internasional, namun tidak berarti kontribusi dari negara lain itu kecil. Smith juga menyoroti kebijakan Prabowo tentang ketiadaan solidaritas, kerjasama dan keterpecahan suara di antara sesama negara muslim. Prabowo juga mengkritik devide et impera yang melemahkan solidaritas negara muslim; namun menurut Smith, secara substansi, Prabowo tidak salah, tapi artikulasinya tidak diplomatis dan salah tempat. Karena KTT D-8 seharusnya bukan menjadi ajang saling menyalahkan (mediaindonesia.com, 22 Desember 2024). Lantas bagaimana harusnya membela Palestina?

Retorika di Atas Keberlangsungan Genosida

Berdasarkan laporan Palestine Press Agency yang dikutip melalui kanal telegram Gazamedia, kondisi terkini Palestina (26/12) di hari ke 447, telah menelan korban yang kian meningkat, jumlah syahid 45.339 jiwa, 107.940 terluka sejak 7 Oktober 2023 lalu. Dan 75% korbannya adalah anak-anak dan wanita, jelas ini adalah genosida terstruktur dan tersistematis yang dilakukan oleh Zionis-Israel. Bahkan zionis telah melakukan tiga pembantaian terhadap keluarga di wilayah jalur Gaza saat tiba di rumah sakit, 38 orang syahid, 137 orang dilaporkan mengalami luka-luka selama 24 jam terakhir.

Namun kondisi faktual seperti ini, sering kali luput untuk dibicarakan di kancah internasional oleh para pemimpin negeri kaum muslim. Biasanya hanya berisi pembicaraan diplomatis atas solusi yang sebenarnya tidak menuntaskan akar masalah. Diplomasi yang berulang-ulang, yang ujung-ujungnya akan berakhir sia-sia, karena sesungguhnya itu hanyalah basa-basi politik semata. Bagaimana mungkin mereka mampu mengajukan solusi two nation state untuk satu wilayah yang sama, pada pihak yang sangat serius untuk melakukan genosida. Dan parahnya, ini adalah realita, bukan isapan jempol belaka. Sehingga perjuangan diplomasi oleh para pemimpin negeri kaum muslimin atas Palestina, tak tak ubah bagaikan talking doll.

Menggantungkan harapan atas solusi yang diberikan oleh PBB atas Palestina merupakan sesuatu yang mustahil. Apalagi jika memperhatikan sejarah dan posisi PBB, yang merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan negara yang membidangi lahirnya negara Israel di tahun 1942. Lembaga ini juga menjadi alat perpanjangan negara yang senantiasa melindungi Israel, yakni Amerika.

Keputusan berupa surat perintah penangkapan dari pengadilan kriminal internasional (International Criminal Court/ ICC) yang ditujukan pada perdana menteri (PM) Benjamin Netanyahu juga pada mantan menteri pertahanan Yoav Gallant, telah menunjukkan ketegasan dari sikap Amerika dalam menolak keputusan ICC ini, secara terang benderang.

Mitos Perdamaian Dunia

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa PBB itu disetir oleh Amerika selaku negara adidaya pasca Perang Dunia II. Meskipun ratusan resolusi dewan keamanan telah mengutuk, mengecam dan menuntut kebrutalan zionis dalam me-genosida wilayah Gaza, namun Amerika tetap berdiri kokoh dalam membela anak emasnya, yakni Zionis-Israel. Berbagai kesaksian pejabat militer juga laporan komisi khusus PBB, yang telah membuktikan terjadinya genosida dan pelanggaran HAM keras di Palestina, Amerika tetap tidak mendengar bahkan membela mati-matian anak kesayangannya, Israel.

Jadi, bagaimana mungkin menggantungkan impian atas PBB dalam penyelesaian konflik yang ada di Palestina.

Palestina Butuh Militer dan Khilafah

Kemustahilan dalam mengharap solusi yang diberikan oleh PBB, semakin menyadarkan kita bahwa, Palestina butuh militer dan juga Khilafah. Karena kepemimpinan sekuler tidak akan pernah mengirimkan militernya untuk mengusir zionis Israel dan menyelamatkan rakyat Palestina.

Khilafah adalah ajaran Islam, ia akan tegak dalam sistem yang khas, yang telah ditentukan oleh hukum syara, yakni dalam bentuk institusi kekhilafahan yang akan dipimpin oleh seorang Khalifah.

Kemunculan Khilafah adalah sebuah keniscayaan. Karena Khilafah adalah bisyaroh yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw., mengimani bisyaroh Rasulullah saw. adalah bagian daripada akidah, meskipun ia dipandang sebagai sesuatu yang utopis hari ini.

Karena bagaimanapun, kaum muslim tidak akan bisa menjadi umat yang satu, dalam sekat nasionalisme. Hanya Khilafah yang mampu menyatukan seluruh negeri kaum muslimin, dan akan membebaskan negeri-negeri yang tersandera, terjajah dan terpuruk secara sistematis. Palestina pun akan terbela melalui militer yang akan diutus oleh Khalifah. Dan itu akan terwujud atas izin Allah SWT. Wallahu a’lam

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.