Seputar Madina

Dahlan Hasan Nasution, Berbuat dan Mengabdi Ditengah Kritikan dan Hujatan

 

(Bagian 2 dari 2 tulisan)

Beliau menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan dan diatasi secepat mungkin Aspirasi masyarakat tentu saja menjadi bahan kajian secara komprehensif dan berbekal ini beliau melakukan berbagai reformasi guna menjawab kebutuhan masyarakat utamanya masyarakat kecil yang terhimpit dengan persoalan kebutuhan ekonomi. Berbagai upaya reformasi manajemen publik tentu saja tidak akan bisa memuaskan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat harus tercerdaskan dengan meningkatkan peran serta dalam masyarakat.

Inilah masyarakat “Civil Society” yakni masyarakat yang bisa berinteraksi dengan keadaban dan penuh budaya sehingga ketika pembangunan yang dilakukan pemerintah belum secara optimal mampu memenuhi tuntutan masyarakat tersebut, masyarakat bisa memaknainya sebagai dinamika pembangunan. Pola pikir masyarakat harus ditempatkan secara rasional dengan mengedepankan prinsip demokrasi yang egeliter. Keberhasilan pembangunan walau itu sekecil apapun harus diakui sebagai keberhasilan akan tetapi jika masih banyak yang kurang sempurna jangan lantas diberikan label yang negatif. Sudah saatnya kita menuju pembangunan dengan pola pikir (mind set) yang positif guna merubah paradigma berfikir “klasik”.

Kritik adalah ungkapan tidak setuju yang bisa muncul karena perbedaan pendapat, kepentingan, cara pandang atau nilai-nilai. Dalam masyarakat yang sangat majemuk, kritik adalah sebuah kewajaran karena ia menegaskan kekayaan perbedaan dan keberagaman budaya. Jika kritik tidak muncul dalam masyarakat seperti ini ada beberapa hal yang bisa dicurigai. Di antaranya terdapat dominasi satu pandangan atau kepentingan yang tidak memungkinkan munculnya pendapat dan suara yang berbeda; atau masyarakat kebanyakan yang beragam tersebut tidak peduli dan bersikap apatis sehingga merasa tidak perlu mengungkapkan pandangannya yang berbeda; atau lebih parah lagi masyarakat yang punya pandangan berbeda hanya tidak mau repot saja dan menerima begitu saja pandangan orang lain.

Tapi kritik juga memiliki fungsi lain yang sangat penting. Kritik yang selalu ada dan menjadi kebiasaan yang dipraktekkan secara lumrah memungkinkan kontrol dan pengawasan di antara masyarakat dan pemimpinnya. Setiap orang berhak dan sebaiknya dianjurkan untuk mengkritik, sesama anggota masyarakat lainnya atau seorang pemimpin tidak mungkin akan memimpin dengan ide dan pemikirannya semata.

Entah mengapa, ada dari kita  yang selalu punya kecenderungan untuk menjadi sosok yang gemar sekali mencari-cari kesalahan orang lain. Lihat saja betapa mudahnya seseorang menuduh atau mengkritik orang lain akan tetapi amat sangat penting untuk dibarengi dengan kedewasaan dan kematangan sehingga kritikan tersebut bisa menjadi bahan kajian untuk ditelaah. Kritik menjadi sah dan memiliki akuntabilitas jika dibarengi dengan moralitas, etika dan fatsun karena itu jelas akan lebih bermartabat dan berbudaya. Berkatalah yang baik atau diam. Ya, kita sebagai manusia memang telah diberikan banyak sekali nikmat oleh Allah SWT termasuk nikmat dapat berbicara. Akan tetapi, banyak diantara kita yang salah menggunakannya untuk kebaikan. Sejatinya, harus dapat dijaga karena itu merupakan karuniakan oleh-Nya.

Kritik juga mengenal bijak dalam pengertian mampu secara proporsional melihat kelemahan disamping kelebihan. Walaupun tampaknya di mata kita kemampuannya kecil/sepele dan kita masih bisa jauh lebih baik dari orang tersebut. Namun, cobalah bertanya pada diri sendiri, bagaimana bila kita berada di posisi orang yang dikritik, tanpa mempertimbangkan sedikitpun,  kebenaran dan kemampuannya?

Dan pastikan apa motif untuk memberikan kritikan tersebut. Sebisa mungkin harus diupayakan objektif dan bersih dari kepentingan terutama yang berkaitan dengan politik. Jika motifnya dipenuhi dengan iri, dengki dan hanya untuk menunjukkan kesalahan, maka segeralah berhenti untuk mengkritik karena tidak ada orang yang luput dari salah dan khilaf, dan begitupun diri kita.

Daripada menyibukkan dan melelahkan diri dengan mengorek-ngorek kesalahan dan kelalaian orang lain bukankah lebih baik berpikir positif. Coba tanyakan dengan jujur pada diri sendiri, sudah mampukah berbuat lebih baik dari orang yang dikritik atau yang dicari-cari kesalahannya?

Memposisikan diri pada tempat yang dikritik mungkin bisa jadi akan bisa menetralisir hasrat untuk mencari kesalahan? Mampukah kita berbuat seperti dia, sebaik dia, atau lebih baik dari dia? Dan kalaupun ternyata memang mampu berbuat lebih maka bersyukurlah, jangan sampai hal tersebut  menjadikan ujub dan menjadi justifikasi untuk selanjutnya “gembar gembor” melakukan kritik seakan tidak ada habisnya.

Sebaiknya marilah memelihara perkataan dan perbuatan, jangan menjadikan kritikan sebagai wadah untuk menyerang dan membunuh karakter seseorang.

Bagi seorang mukmin yang senantiasa merasa diawasi oleh Allah, wajib mengerti bahwa “perkataan” itu termasuk amalannya yang kelak akan dihisab: amalan baik maupun buruk. Karena pena Ilahi tidak meng-alpakan, tidak pernah lalai ataupun menghapuskan satupun perkataan yang diucapkan manusia. Ia pasti mencatat dan memasukkannya ke dalam buku amal. Ingatlah bahwa semuanya, kelak harus kita pertanggungjawabkan.

Perangkum      : Tim

Editor              : Dahlan Batubara

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.