Artikel

Dianggap Kodrat, Adakah Sebagai Sinyal Penerimaan Seks Menyimpang?

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen

“LGBT itu sebagai kodrat kan tidak bisa dilarang.” Kalimat ini menjadi viral di sosial media yang kemudian menjadi perbincangan banyak pihak. Kalimat tersebut tentu saja mengejutkan rakyat Indonesia. Karena belum ada tokoh manapun yang notabene Muslim berani secara gamblang memberikan pernyataan demikian.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh seorang Menteri, professor yang juga notabene seorang Muslim, Namun ironis, pernyataannya tidak sejalan dengan pola pikir seorang intelektual. Hanya berbicara dengan hawa nafsu dan retorika ngawur belaka.

Ia menyampaikannya ketika memberikan komentar terkait isu kelompok perilaku seks menyimpang (LGBTQ+) yang tengah menyeret nama band asal Inggris yang akan di Indonesia, yaitu Coldplay.

Penolakan kedatangan band asal Inggris itu datang dari berbagai kalangan. Khususnya PA 212. Alasannya, band tersebut terindikasi keterlibatannya dalam kampanye kaum pelangi.

Terbukti, beberapa foto-foto penyanyi band itu membentangkan bendera pelangi saat konser. Semua tentu tahu apa arti bendera pelangi, yaitu simbol kaum seks menyimpang (LaGiBeTe). Terlepas apakah penyanyi Coldplay sebagai pelaku atau hanya sekedar pendukung. Tetapi penolakan sudah ramai.

Setelah banyak yang protes dan tidak terima dengan pernyataan Pak Menteri, ia pun akhirnya mengklarifikasi maksud yang ingin ia ssmpaikan.
“Yang  dilarang kan perilakunya. Orang LGBT itu diciptakan oleh Tuhan. Oleh sebab itu tidak boleh dilarang. Tuhan yang menyebabkan dia (orang) hidupnya menjadi homo, lesbi, tetapi perilakunya (LGBT) yang diperuntukkan kepada orang itu lah yang tidak boleh”.

Tetapi yang paling menyeramkan dan  mengkhawatirkan dari target Pak Menteri adalah, bahwa dirinya sedang mempersiapkan rancangan KUHP untuk menangani perilaku LGBT. (Tv@news)

Belum lama para wakil rakyat di DPR menggolkan UU TPKS yang intinya dianggap hanya menyentuh tanah pelapor dan terlapor. Sementara jika tidak delik aduan, maka hubungan seksual baik dengan kekerasan maupun tidak, ruang hukumnya bukan kriminal melainkan keluarga.

Lalu, bagaimana harus membayangkan aturan yang akan menangani perilaku seks meinyimpang (kaum LagiBeteQ)? Seperti yang dimaksud oleh Pak Menteri tadi?

Dari kejadian ini, ada pelajaran yang bisa kita ingat untuk diulang. Bahwa setiap ucapan pejabat negara atau penguasa, ada aroma yang sedang dipersiapkan di balik layar. Andai belum ada hukumnya, maka akan ada upaya menuju kesana.

Biasanya, langkah pertama yang diambil adalah test the water untuk melihat reaksi masyarakat.
Pernyataan Pak Menteri yang menyatakan pelaku seks menyimpang adalah kodrat, tidak berlebihan kalau dinilai sebagai bentuk test the water.
Lalu apa yang perlu kita pahami dari fakta ini?

Pertama, persoalan pelaku seks menyimpang (lesbian, gay, homoseksual, transgnder, queer, biner). Jika dirunut tali isunya yang membuat LagiBeteQu kembali gempar, bisa dikatakan dari Piala Dunia di Qatar. Sebab LGBTQ masuk pembahasan yang membutuhkan energi besar bagi Qatar untuk menolaknya.

Seterusnya, baru-baru ini Saudi melalui akun resmi untuk pariwisata memperbaharui persyaratan masuk para turis. Gender kodrat maupun pilihan (LaGiBeTe) tidak lagi menjadi persoalan yang harus dipertanyakan.

Sehingga apapun pilihan gendernya, tidak lagi menjadi penghalang para pelancong masuk ke Saudi. Dengan alasan, bahwa privasi pengunjung bukanlah hal rinci yang perlu untuk diketahui. Sebab Saudi fokusnya pengembangan wisata.

Bicara tentang pelancong, pastinya terkait dana/modal. Mereka sudah tentu dari kalangan berduit dan bermodal. Sehingga mampu melakukan perjalanan keliling dunia.

Dan konon, kaum LGBTQ+ pemilik Pink Market global saat ini bisa dikatakan menjadi salah satu  pemilik modal terkuat. Sehingga mereka dan para pendukungnya maupun donaturnya yang kemungkinan besar akan menjadi visitor-visitornya.

Selanjutnya kini Indonesia. Kabar rencana kedatangan band Coldplay bisa saja sebagai ajang percobaan. Sebagian nitizen ada yang sudah berkoar-koar membelanya dengan mengatakan ada diskriminasi. Sehingga narasi itu terlihat seperti ingin memuluskan kedatangan Coldplay sekalipun terindikasi ada keterlibatan dengan perilaku kaum seks menyimpang.

Ada pesan yang dibawa dari arus ini yaitu percobaan terhadap penerimaan keberadaan kaum LGBTQ secara terbuka di tengah-tengah masyarakat Muslim di negeri-negeri Islam khususnya Indonesia. Dan bisa jadi mengarah kepada legalisasi. Bukankah sejalan dengan rencana Pak Menteri tadi? Bahasanya pengaturan, tetapi tujuannya lebih kepada legalisasi negara. Naudzubillah min zaalik.

Kedua, melihat kaum LGBTQ+ saat ini tidak bisa seperti yang disebut Mahfud MD tadi, hanya membenci perilakunya bukan orangnya. Nah sekarang yang melakukan penyimpangan seks itu siapa? Orang bukan? Orang itu ya doer-nya. Terus kalau misalnya ada hukuman yang dihukum apanya? Perbuatannya? Fisiknya bukan? Perilaku dan orangnya. Tanpa ada orangnya, siapa yang membawa perbuatannya? Tidak bisa dipisahkan. Jelas logikanya kacau jika mengikuti pemahaman Pak Menteri.

Kemudian, LGBTQ+ sekarang bukan lagi sekedar penyakit kejiwaan atau penyakit kelainan rasa. Melainkan sebuah gerakan politik global yang berupaya meraih tiga tahapan.

Pertama, meraih penerimaan sosial. Kedua, meraih penerimaan politik,  dan terakhir meraih penerimaan legal atau hukum seperti yang telah diterima kaum LGBTQ+ di Amerika dengan disahkannya perkawinan sejenis.

Kaum LGBTQ+ tahu bahwa penerimaan legal itu bisa dicapai kalau terlebih dahulu meraih penerimaan politik. Dan penerimaan politik tersebut hanya bisa dicapai jika jumlah kelompok LGBT+ tersebut signifikan atau besar. Karena kalau jumlah mereka kecil, maka secara politik pasti akan diabaikan.

Jadi wajar, jika mereka terus kampanye jor-joran, baik merekrut orang dan generasi muda jadi pelaku LGBTQ+, juga mempropogandakan agar mereka diterima dengan dalil hak-hak asasi manusia.

Kalau bicara di negara-negara Barat, penerimaan secara politik hingga dilegalkan begitu mudah, karena  pendukung dan pelakunya ada di kuris-kursi kekuasaan. Hingga membuat aturan penerimaan pasangan sesama jenis atau menolak gendernya lalu melakukan trans (operasi kelamin) dilindungi undang-undang. Beginilah yang dimaksud dengan pengaturan bukan? Apakah seperti ini yang diinginkan oleh Pak Menteri kelak terjadi di negeri ini?

Di Indonesia sendiri, gerakan kalangan LGBTQ+ sudah sampai pada tahapan mana? Pertanyaan ini sangatlah penting. Apalagi jika dikaitkan dengan pernyataan Pak Menteri. Sepertinya hampir mendekati tahapan ketiga. Sebab sudah mengarah kepada perbincangan ranah hukum.

Banyak indikasi yang mendukung di lapangan andai dikatakan tahapan ketiga sudah ingin diraih oleh kaum LGBTQ+ di Indonesia. Meskipun tidak begitu terdengar media mengekspos, tetapi fakta-fakta di masyarakat, sudah menjamur. Mulai dari kalangan remaja hingga orangtua. Selain itu, tingginya angka penyakit seks menular dan  berbahaya adalah salah satu dampak yang mengisyaratkan bahwa negeri ini darurat seks bebas termasuk sesama jenis.

Sudah jauh sekali di negara ini mengabaikan kelalaian. Ketika kaum pelangi suatu saat nanti tetiba telah mendapatkan payung hukum, lalu masyarakat biasa bisa apa? Mampukah melawan kekuatan hukum? Apalagi di negeri ini hukum hanya milik mereka yang kuat.

Adakah manusia yang tinggal di negeri besar Indonesia kelak ridho, jika pelaku seks menyimpang  dilegalkan? Tidak bisa dibayangkan ada pernikahan kaum seks menyimpang dari segi undangan saja misalnya, dalam undangan  ditulis Fulan dan Fulan. Karena seharusnya Fulanah dan Fulan. Atau Adam dan Ani, bukan Adam dan Anto. Atau Ani dan Aini.

Terus, nanti kalau mati mau pakai doanya? Gelar pasca kematiannya? Hanya ada almarhum dan almarhumah.  Bingung bukan? Makanya sudah lurus Allah kasih, jangan sombong mau menolak kodrat tetapi akhirnya bingung dunia akhirat.

Selanjutnya ketiga, terkait dengan kodrat seksual. Tentu manusia sudah secara nyata mengetahui, kodrat seksual itu hanya ada dua. Laki-laki atau perempuan.

وَاَنَّهٗ خَلَقَ الزَّوۡجَيۡنِ الذَّكَرَ وَالۡاُنۡثٰىۙ

“dan sesungguhnya Dialah yang men-ciptakan pasangan laki-laki dan perempuan”,.

Dan disebutkan pula dalam suhuf Nabi Ibrahim dan Musa bahwa sesungguhnya Dialah yang menciptakan pasangan laki-laki dan perempuan, jantan dan betina.

Allah yang menciptakan laki-laki dan perempuan dari air mani yang dipancarkan ke dalam rahim. Kemudian dihembuskannya ruh, sehingga dia hidup dan bergerak.

Jadi, kalau kita bicara kodrat, artinya bicara tentang qadha dan qadar. Gender diciptakan dengan kodratNya hanya ada dua berdasarkan firmanNya. Jadi kalau lebih dari dua, mengikuti firman siapa?

Kemudian, secara ilmu sains dalam pembahasan genetika pun, proses penciptaan manusia itu terbentuk dari sel telur dan sperma laki-laki. Baru terjadi janin. Gak pernah terjadi dengan sel telur + sel telur atau sperma + sperma. Sehingga jelas   kalau LGBTQ+ itu bukan kodrat melainkan pilihan yang terlaknat.

Itulah kodrat. Sesuai ketetapan (qadha) dan ukuran/takaran (qadar). Dan untuk keduanya sikap seorang Muslim adalah wajib mengimani. Artinya menerima kodrat jenis kelamin sejak lahir adalah wajib adalah bentuk keimanan. Jika menolak jenis kelamin yang dibawa lahir, berarti menentang kodrat, menentang rukun iman yang keenam. Jika menentang rukun iman, namanya apa?

Kalau terlanjur ada yang dikenal dari orang-orang terdekat seseorang yang ternyata mengidap penyakit seks menyimpang ini, maka untuk menyelesaikan kasus LGBTQ+ yang semakin massif dan menjamur, bagaimana solusinya?

Pertama, di level individu. Kalau kebetulan ada yang dikenal, maka ajaklah kembali ke jalan yang benar sebelum terlambat. Sentuh lagi keimanannnnya. Perbaiki keimanannya. Ingatkan tentang dosa, pahala, iman, dan akhirat.

Betapa beratnya dosa yang ditanggung pelaku LGBTQ+ kelak di yaumul hisab. Dan bahkan tidak tebayang. Di dunia mungkin mereka merasa senang atau bebas. Tetapi ketika berhadapan dengan Allah, jawablah masing-masing. Jika  menyayangi teman, keluarga, maka ajaklah kembali. Jangan biarkan ia salah langkah hingga mati.

Pelaku LGBTQ itu harus ditanamkan yang paling penting adalah aqidahnya yang menyeluruh tentang penciptaan alam semesta, manusia dan kehidupan.

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. [at-Tahrîm/66:6]

Kedua, di level masyarakat, level ini lebih kepada kontrol dan pengawasan serta edukasi. Artinya, jika mendapati ada kelompk LGBTQ atau semisalnya, dan diketahui oleh masyarakat, maka jangan diam. Segera bersikap dengan menasehati dan mengingatkan.

Untuk tindakan preventif juga tidak boleh ditinggalkan. Itulah gunanya adanya kelompok-kelompok kajian atau majelis-majelis taklim. Bukan cuma buat emak-emak atau nenek-nenek harusnya.

Jika ada lembaga-lembaga Islami seperti kampus, minta kehadiran mereka di tengah-tengah masyarakat. Kerjasa sama dengan masjid-mesjid membina para remajanya. Bisa dijadikan program pengabdian masyarakat bagi para dosennya.

Atau bisa juga kerjasama dengan media-media lokal untuk memberikan edukasi yang benar tentang pergaulan dalam Islam. Khususnya kalangan muda. Hidupkan lagi remaja masjid, rohis-rohis di sekolah, dakwah-dakwah di kampus. Itu salah satu kontrol dan pengawasan.

Bukankah Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an: Illalazina amanu waamilussolihati,watashoubil haq watawa soubis sabr.

Ayat lain Allah juga menyerukan (Ali Imran:104) agar ada segolongan dari umat maksudnya berjamaah/berkelompok bersama-sama. Misalnya dengan kelompok atau jamaah-jamaah kajian Islam untuk melakukan pembinaan aqidah.

Ketiga, adalah peran atau kehadiran negara. Ini adalah benteng utama yang seharusnya mampu melindungi rakyat dari segala kerusakan, baik moral, aqidah, maupun sikap. Dengan apa? Tentunya dengan aturan yang mampu menyelesaikan persoalan kehidupan manusia. Bukan cuma itu, tetapi juga berbuah pahala sebagai bekal kehidupan selanjutnya.

Gerakan LGBTQ+ yang sudah menjelma jadi gerakan politik, seharusnya disadari oleh negara bahwa ada ancaman besar bagi generasi ke depan. Kerusakan iman, akhlak, keturunan, dan sebagainya. Sebab segala yang diharamkan Allah jika dikerjakan pasti membawa mudharat. Itu sudah pasti. LGBTQ+ adalah haram, tentu membawa kemudaratan jika dibiarkan apalagi sampai diterima. Naudzubillah min zaalik.

Oleh karena itu, harus terjadi sinergi saling membahu antara individu, masyarakat, negara dalam membentengi arus LGBTQ+. Agar tidak sampai menjadi gerakan politik apalagi gerakan hukum.

Sungguh tidak ada aturan yang mampu dengan tegas mencegah dan menghentikannya kecuali aturan Islam. Aturan Islam jelas menghadapinya. Ada sanksi pelaku pelanggaran syariat. Kejam? Tentu tidak.

Lebih kejam dan jauh lebih kejam lagi jika dibiarkan dan dilegalkan. Karena sama artinya mengundang azab turun ke negeri ini. Sudah siap terima azab? Jika tidak, maka mari sama-sama saling mendukung kebaikan, menolak kemaksiatan, demi keselamatan generasi di masa depan hingga akhirat. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.