Oleh: Alfi Ummuarifah
Guru dan Pegiat Literasi Islam
Seorang perempuan ketika menikah tentu harus memahami niatannya adalah untuk mencetak dan menyiapkan generasi unggul yang dilahirkannya. Inilah cita-cita terbesar yang mulia pada seorang perempuan menurut syariah. Menjadi seorang ummun.
Menjadi seorang ummun itu sangat dibutuhkan ilmu yang mumpuni dalam urusan keperempuanan. Misalnya ilmu tentang cara mendidik anak (tarbiyatul awlad),mengasuh anak, masak memasak, pengobatan, membuat pakaian, megurus rumah, membersihkan rumah,ilmu ekonomi untuk mengatur keuangan dan lain sebagainya.
Sungguh banyak keilmuan yang dibutuhkan oleh seorang ibu. Karena itu kemudian Kartini punya cita-cita membuat sekolah perempuan untuk para ibu di zamannya agar terlahir generasi yang cemerlang saat itu. Tentu untuk lepas dari penjajahan dan membangun bangsa. Namun itu disalahartikan oleh pegiat gender dengan perjuangan yang berfokus pada emansipasi wanita. Sungguh mereka keliru dalam membaca sejarah. Bahkan itu adalah pembelokan sejarah secara nyata untuk mengabsahkan tujuan mereka agar terlihat sesuai. Mereka menyamakan perjuangan Kartini dengan perjuangan mereka yang bahkan tak cocok sedikitpun dengan cita-cita Kartini.
Oleh karena itu yang menyatakan bahwa Kartini menginginkan sama atau ingin menyaingi laki-laki itu keliru. Sebab kartini hanya ingin para wanita mendapatkan pengetahuan yang banyak agar memiliki cukup bekal dalam mendidik anaknya. Agar anaknya menjadi generasi yang cerdas, bervisi besar dan mampu mengukir peradaban. Peran sentral ini tak bisa dilakukan oleh perempuan yang bodoh yang dilarang sekolah. Karena saat itu dibedakan sekolah untuk pribumi dan perempuan di masyarakat jawa oleh penjajah. Inilah yang ingin didobrak kartini. Bukan hendak ingin mengalahkan laki-laki dalam statusnya sebagai Qowwam untuk keluarganya.
Jadi, yang menyatakan bahwa tugas sentral ummun atau full mother sebagai sesuatu yang mencegah perempuan meniti karirnya di sektor publik itu pendapat keliru. Kartini justru faham jika perempuan tetap boleh berkecimpung dalam sektor publik melakukan perubahan, namun tidak boleh meninggalkan tugas sentral strategisnya di rumah sebagai ummun atau full mother itu. Ini sejalan dengan syariat Allah terkait dengan kewajiban ibu sebagai ummun yang juga harus berkiprah di sektor publik menjalankan perannya sebagaimana laki-laki dalam dakwah, pendidikan, kesehatan dan sektor yang dibenarkan oleh syara.
Artinya tak harus memilih salah satunya. Sebab dua-duanya menghantarkan perempuan tadi menuju syurga Allah dengan jenis pahala yang berbeda.
Adapun jika berbenturan tugas ummun dengan sektor publik. Lalu barulah syariat menentukan prioritas utamanya harus pada status ummunnya.
Oleh karena itu perempuan harus pintar memanajemen waktunya adar tugas sektor domestik dan publiknya itu tertunaikan sempurna. Di sinilah barangkali multitalenta yang Allah anugerahkan pada perempuan bermaslahat agar perempuan mampu mensinergiskan segalanya.Tentu tak boleh diabaikan satu perkara sedikitpun tanpa alasan yang syar’i. Maka sesungguhnya kartini lebih memahami daripada yang kita bayangkan.***