Oleh: Basyral Hamidi Harahap Sejarahwan Mandailing
Laporan pendahulu Godon dan fakta di lapangan menyatakan bahwa perbudakan masih merajalela di Mandailing di era 1800-an. Budak menjadi dagangan utama selain emas. Hampir sepertiga penduduk Mandailing ketika itu adalah budak atau orang yang berhutang (Castles,1972:20;Harahap, 1996b:37).
Asisten Residen T.J. Willer mencatat daftar harga –harga budak dan ternak di pasar Panyabungan yang berlaku pada masa sebelum Perang Paderi. Informasi itu di kumpulkannya dari tokoh – tokoh masyarakat yang sudah tua sebagai saksi mata keadaan tersebut.
Golongan budak Ampong dalam memiliki perwakilan di dalam tatanan masyarakat yang disedut natoras ampong dalam, sedangkan tiga golongan budak lainnya ( pangkundangi, hatoban dan parsingiran) tidak memiliki perwakilan tersebut ( Willer, 1846:7-12).
Menurut Willer harga budak di wilayah Barumun dan Padang Lawas jauh lebih murah dibandingkan dengan di wilayah Panyabungan.
Standar harga –harga di pasar di tentukan dengan satuan berat emas enurut tahil. Satu tahil sama dengan 37,8 gram atau sama dengan 620 grein menurut ukuran timbangan obat. Satuan tahil itu setara dengan ukuran – ukuran sebagai berikut:
1 tahil =4 pha =12 angka samas = 24 bela samas =48 opang = 96 bela berampat = 192 padoeain = 576 bare .
Harga harga berdasarkan standar emas itu berlaku di wilayah Panyabungan, termasuk harga budak dan hewan di pasar hewan Panyabungan sebelum Perang Paderi.
Tabel di bawah ini menggambarkan betapa perdagangan budak pernah merajalela di wilayah ini.
Yang Diperjual Belikan | Standar Emas | Gulden Perak |
Budak gadis remaja
Budak perempuan dewasa Budak remaja laki-laki Kerbau jantan Kerbau betina Anak kerbau Sapi Anak sapi Babi Anak babi Kambing dewasa Anjing gemuk Anjing kurus |
1 ¼ tahil
1/12 tahil 6/12 tahil 9/24 tahil 5/12 tahil 1/6 tahil 1/6 tahil 1/12 tahil 1/12 tahil 1/48 tahil 1/12 tahil 6/576 tahil 4/576 tahil |
75 25 30 22,50 25 10 10 5 5 1,25 5 0,62 1,41
|
Budak atau hatoban adalah milik pribadi, bukan milik pemerintah. Kalangan raja-raja pada masa itu memasukkan hatoban termasuk barang antaran yang di persembahkan oleh pihak pengantin perempuan yang jumlahnya mencapai 49 orang. Dahulu, hal itu jelas dilaksanakan. Kini sisa-sisa alam pikiran perbudakan itu masih di ucapkan dalam upacara mangupa. Keberadaan ke 49 orang budak di ganti dengan uang. Hal ini di ucapkan ( Harahap ,1993:284-285) sebagai berikut :
“dibaen madung dapot bagian hamu sude na markahanggi, sannari lehen hamu ma na tu batang boban, ima na tu suhut sihabolanan. Mangihutkon adat dohot ugari na nipungka ni ompungta na jumolo sundut i lehen hamu ma halak hundangan, halak bujing, dohot halak parampuan, pitu noli manaek pitu noli mijur. Anso di boto hamu boru na mora do on. Anggo dison angkon pataridahomunu ma na nicari munu i. Tangkas do di boto hamu sanga na songomn jia borat ni sibaenon disi,”
(berhubung kami semua kahanggi sudah mendapat bagian, sekarang kalian berilah beban yang harus di pikul, yaitu untuk suhut sihabolanan ( tuan rumah). Menurut adat dan hukum kebiyasaan yang telah di buat oleh leluhur kita yang telah wapat itu, kalian berikanlah halak hundangan, halak bujing, halak parampuan,tujuh kali naik tujuh kali turun. Agar kalian ketahui bahwa ini adalah puteri raja. Kalian tunjukkanlah di sini hasil pencaharian kalian. Jelas kalian ketahui, bagaimana beratnya melaksanakan perhelatan ini).
Yang di maksud dengan halak hundangan ialah budak laki laki dewasa, halak bujing berarti budak yang masih gadis,dan halak parampuan adalah budak ibu-ibu atau perempuan dewasa sebanyak 7X7 yang seluruhnya berjumlah 49 orang. Semuanya kini di nilai dengan uang.
Masalah perbudakan yang ditulis oleh pendahulu Godon itu, menjadi bahan penelitian Godon dalam pembangunan masyarakat. Pada tahun 1855 Godon melakukan sensus perbudakan di Mandailing. Hasil sensus menunjukkan bahwa jumlah budak di Mandailing ada 5.344 orang.
Tetapi menurut Godon pastilah jumlah yang sebenarnya lebih dari itu. Godon bertekad untuk menyelesaikan masalah perbudakan ini sebijaksana mungkin tanpa membahayakan para pemilik budak. Ini merupakan gerakan emansipasi bagi masyarakat budak ( Godon,1862:26).
Godon melakukan pendekatan kultural, antara lain mengadakan pertemuan dengan raja-raja sebagai pemilik budak di wilayah itu. Godon menyakinkan mereka betapa perbudakan melawan hak asasi manusia.
Gerakan anti perbudakan yang dilancarkan Godon ini 20 tahun mendahului kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang baru menetapkan penghapusan perbudakan pada tahun 1876.
Gerakan emansipasi Godon semasa dengan gerakan anti perbudakan di Amerika yang gencar setelah pada tahun 1852 terbit sebuah buku berjudul Uncle Tom’s Cabin yang di tulis oleh Harriet Beecher Stowe ( 14 Juni 1811-1 Juli 1896 ). Buku ini berasal dari tulisan bersambung tahun 1850 dalam National Era, satu surat kabar yang terbit di Washingtong. Judulnya semula adalah Uncle Tom’a Cabin, or, Life Among The Lowly. Tulisan ini telah menyadarkan dunia betapa kejamnya perbudakan. Karena bertentangan dengan hak asasi manusia, maka perbudakan harrus di hapuskan.
Harriet Beecher Stowe kemudian memperkuat misi buku Uncle Tom’s Cabin dengan menerbitkan buku lain berjudul The Key to Uncle Tom’s Cabin yang terbit tahun 1853. Buku ini berisi banyak dokumen dan pengakuan menentang perbudakan. Pada tahun 1856 Harriet Beecher Stowe menerbitkan lagi sebuah buku tentang pengaruh buruk perbudakan terhadap masyarakat berjudul Dred: A Tale Of The Great Dismal Swamp. Buku-buku Herriet Beecher Stowe telah menggemparkan dunia pada masa –masa hebatnya perbudakan di Amerika.
Gerakan nyata anti perbudakan dilancarkan oleh Godon. Pada tanggal 18 Februari 1856 Godon kembali menyelenggarakan rapat besar raja-raja Mandailing di Panyabungan. Permasalahan yang dibahas dalam rapat besar itu adalah upaya –upaya mengikis perbudakan di Mandailing. Ada delapan butir keputusan pertemuan besar itu
Kedelapan keputusan itu pada pokoknya berisi keinginan untuk menghapus perbudakan , ialah;
Pertama, pemilik budak harus berlaku baik terhadap budaknya, termasuk mengusahakan pengobatan jika budaknya sakit.
Kedua, pemilik budak yang bertindak sewenang-wenang kepada budaknya akan di sidang dalam rapat. Jika terbukti bersalah, ia di denda dan kemudian budaknya di bebaskan.
Ketiga, pemasokan budak dari Padang Lawas tidak dilarang. Sebaliknya tidak boleh ada budak dari Mandailing ke daerah manapun kecuali bagi budak yang baru menikah, maka pasangannya boleh mengikutinya.
Keempat, pembelian seseorang yang sudah berstatus budak dapat di lakukan secara bebas melalui sidang dalam rapat.
Kelima, orang yang berhutang akan bebas, jika sudah melunasi hutangnya.
Keenam, hutang yang berasal dari permainan atau meninggalkan permaianan di anggap tidak ada.
Ketujuh, tidak seorang pun bebas dari hutang-hutang, keculi dibicarakan dan diputuskan dalam rapat besar.
Kedelapan, jika diketahui ada seseorang yang berhutang, maka sesuia dengan pasal 7 diatas, seorang anggota masyarakat yang merdeka yang menjaminnya atau membelinya harus dihukum. Jika kuria atau kepala kampung melakukannya, didenda 2 tahil dan astu pau atau setara dengan 135 gulden ditambah seekor kerbau, jika orang biasa melakukannya di denda sebesar satu tahil dan satu pau atau setara dengan 75 gulden.
Segala urusan yang behubungan dengan perbudakan harus di putuskan oleh pengadilan. Kebijakan ini di ambil untuk mencegah kesewenang-wenangn.
Rapat besar ini merupakan peristiwa kemanusiaan yang penting dalam sejarah masyarakat Mandailing. Tiga bulan kemudian Mei 1856, Yang Dipertuan Hutasiantar mengumumkan secara resmi pengadopsian dua orang gadis budaknya menjadi saudara perempuannya sendiri. Salah satu diantara gadis itu menikah dengan seorang raja di Mandailing Julu. Ini benar-benar gerakan emansipasi yang luar biasa. Dampak positif gerakan ini sangat besar dalam mengangkat martabat kaum perempuan Mandailing. (disadur dari buku Madina Madani)