Catatan : Askolani Nasution
Tahun 1990, saya mewakili orang tua dalam Ramah Tamah dengan para keluarga Perintis Kemerdekaan asal Sumatera Utara di Medan, bertemu dengan H. Ayyub Sulaiman Lubis. Lelaki berperawakan kecil yang menjadi Ketua Persatuan Persatuan Perintis Kemerdekaan Sumatera Utara setelah H. Mahals meninggal. Tak banyak bicara. Bersama saya waktu itu ada Muhammad TWH, penulis dan wartawan harian “Waspada” yang baru saja menulis novel “Api Berkobar di Kampung Mesjid”.
Nama Ayyub Sulaiman memang sering saya dengar kisahnya dari orang tua yang kebetulan teman seperjuangan beliau masa sebelum merdeka di Kotanopan. Jadi ketika hari itu saya bertemu beliau, ingatan saya mengembang ke masa-masa perjuangan mereka yang aktif menggagas kemerdekaan Indonesia.
Seingat saya, hanya dua kali saya bertemu beliau. Berbeda dengan H. Mahals, yang beberapa kali datang ke rumah waktu saya kecil, membongkar isi lemari kami untuk menemukan berkas-berkas perjuangan kemerdekaan.
Kebetulan ada beberapa data perjuangan yang tersimpan di rumah. Lalu dari beberapa catatan lain yang diberikan kepada saya oleh keluarga-keluarga Perintis Kemerdekaan, saya merangkum data perjuangan Ayyub Sulaiman Lubis. Ini ringkasannya untuk menjadi bahan refleksi bagi kita bersama:
Tahun 1931, beliau Ketua Badan Propagandis “Partindo” Cabang Kotanopan, 1933. “Partindo” itu partai yang dibentuk Soekarno masa kolonial dan amat besar pengaruhnya di kawasan Mandailing Julu. Lalu beliau dipenjara di Kotanopan, di belakang Pesanggarahan, karena dituduh mengadakan Rapat Umum “Partindo” tanpa izin yang mengandung penghasutan. Keluar dari penjara terus melanjutkan pekerjaannya sebagai Badan Propogandis “Partindo”.
Tahun 1933 beliau menjadi Ketua Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) Cabang Kotanopan. 1934, seluruh Partai Politik dibubarkan Belanda. Beliau kemudian membangun sekolah dengan nama “Ayyub Sulaiman School Al Madrasatul Islamiah” di Padang Sidempuan.
Tahun 1936, mendapat Plang Pintu (Posebt Ctelsel), yaitu dihukum tidak boleh mengajar, tidak boleh bergaul bersama lebih dari dua orang, dan tidak boleh keluar dari Daerah Tapanuli selama dua tahun. Tahun 1938, aktif kembali di Partai Politik yang baru yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) Cabang Padang Sidempuan.
1939, bulan September, dipenjarakan kembali di Padang Sidempuan karena kegiatan politik dan menuntut Indonesia berparlemen. Tahun 1940, menjadi Komisaris Gerindo Andalas Tengah berkedudukan di Sibolga, Ibukota Keresidenan Tapanuli Tengah untuk mewakili Pengurus Besar dari Jakarta. Tahun itu juga beliau ditangkap kembali dengan alasan untuk menjaga ketertiban umum. Waktu itu Belanda jatuh ke tangan Jerman di masa awal Perang Dunia II.
Tahun 1942, saat itu seluruh tanah air diduduki oleh Pertakbiran Tentara Daiton (Jepang). Bung Karno yang waktu itu berada di Padang memanggilnya. Dengan Surat Mandat tgl. 24-4-1942 beliau diutus menemui Bung Karno untuk menerima petunjuk dan Garis Perjuangan Nasional. Beliau diterima Bung Karno di rumah Abu Bakar Djoar, rumah No. 14 Kampung Tarandam, Padang.
Tahun 1945, 7 September 1945, menjadi orang pertama memproklamasikan kemerdekaan Indonesia untuk daerah Tapanuli dan membentuk laskar-laskar rakyat. Beliau juga menjadi Ketua Umum Partai Nasional Indonesia (PNI) di Daerah Tapanuli, membentuk Komite Nasional serta menyumpah pegawai-pegawai untuk menjadi Pegawai Republik Indonesia. Lalu menjadi anggota Komite Nasional Derah Karesidenan Tapanuli di Sibolga.
1949, bergerilya masuk hutan di masa Agresi Militer Belanda II, dan tetap menjadi Ketua Dewan Pertahanan dan Bupati Kepala Daerah Darurat Padang Sidempuan. Tahun 1946, diangkat menjadi Wedana di Kantor Residen Tapanuli di Sibolga. Tahun 1947, dipindahkan ke Padang Sidempuan. Kemduian menjadi Patih Kabupaten Padang Sidempuan.
Desember 1948, oleh karena Agresi ke II, diangkat menjadi Ketua Dewan Pertahanan Daerah Padang Sidempuan. Tahun 1950, sesudah Penyerahan Kedaulatan, didudukkan kembali sebagai Patih. Tahun 1951 hingga 1960, aktif di berbagai jabatan pemerintah di Aceh. Tahun 1961, diangkat menjadi Bupati Kabupaten Tapanuli Tengah di Sibolga.
Maksud saya, hanya ingin menunjukkan bahwa betapa di kawasan Mandailing Natal ini dulunya banyak tokoh pejuangan kemerdekaan. Nama-nama mereka ada di Tugu Perintis Kemerdekaan di Kotanopan. Dan saya beruntung memiliki catatan perjuangan mereka. Insya allah dalam waktu dekat akan saya susun menjadi buku seri perjuangan.***
Askolani Nasution adalah budayawan Mandailing