Editorial

HARI INI ADA YANG MATI

Oleh : Askolani Humas DPRD Mandailing Natal

Sebut saja namanya “Juang”, lelaki lajang 25-an tahun yang minggu lalu mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Menggantung diri di pintu kamar orang untuk sebuah kematian yang dipilih. Sebutlah ini takdir, suratan, karena rezeki, jodoh dan ajal adalah takdir Tuhan. Tetapi alangkah kejamnya takdir yang disuratkan kepada “Juang” karena lelaki ini terpilih untuk mengakhiri hidupnya dengan “nista” seperti itu (jika benar kematian seperti itu memang kematian yang paling nista). Kita melihatnya sungguh amat sederhana sekali: mengapa begitu gampang kita putus asa!
Tapi, ini: mari tarik sebatang rokok, dan nikmati sebuah kopi. Mari kita reguk dalam-dalam dunia dalam nafas kita. Kita ada di antara orang-orang yang tak seorang pun tahu, apakah kita terpilih untuk sesuatu takdir, atau tidak terpilih. Kita tak tahu seberapa saya Tuhan kepada kita, setara atau tidak dengan rasa sayang yang juga kita berikan kepada Tuhan. Apakah Tuhan sungguh-sungguh memilih kita menjadi hamba yang memiliki kemuliaan, sama seperti usaha kita memuliakan Tuhan. Apakah Tuhan akan tetap sayang kepada kita, saat kita lebih banyak dendam kepada takdir yang dipahatnya. Saya tak baik berandai-andai terlalu lama.
Begini saja. Lelaki itu bernama Juang. Lahir tak seberuntung kita (jika kita memang makhluk yang cukup beruntung). Ayahnya meninggal waktu dia masih balita, disusul ibunya tak lama. Hidup dengan kemiskinan yang tak berhati nurani, bekerja apa saja untuk sepiring nasi pagi dan sore hari (yang entah bergizi atau tidak, karena gizi hanya ada dalam konteks orang kaya). Ia dapat menerima berbagai penuzulan tak bermartabat, karena lapar tak mengenal martabat. Ia pernah mencuri nasi tetangga, atau juga mengambil paksa haknya dari tetangga (bukankah tidak beriman seseorang jika masih ada tetangganya yang belum makan?). Ia bisa menerima takdir dengan amat lapang dada, tak pernah mengeluh, tak pernah mencaci maki, tak pernah membenci Tuhan (karena amat percaya Tuhan adalah penguasa mutlak atas takdir dan kerahman-rahiman).
Tapi hari ini ia sakit, sudah beberapa hari. Tak ada uang buat berobat. Orang sakit tak bisa kerja! Orang sakit tak punya uang! Orang sakit tak bisa makan! Orang tak makan-makan tak berpengharapan, apalagi di negeri yang bertahun-tahun melupakan nuzul “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ia tak pernah sekolah, tak hapal UUD, tak butuh sebaris puisi perjuangan atau kemanusiaan. Ia hanya tahu sejak bertahun-tahun: “Kalau tak bekerja, ia tak makan; kalau tak makan, ia tak bisa bekerja.” Untuk rakyat sederhana seperti Juang tak ada yang lebih mudah mengakhiri kerumitan sosial ini, kecuali dengan sebuah kematian yang terpilih, entah telah ditakdirkan atau tidak. Tapi jika benar telah ditakdirkan, betapa kejamnya karena kita yang harus terpilih menjalani ini!

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.