Seputar Madina

HIPMI Madina dan Rendahnya Jumlah Usahawan

Industri roti kacang hijau di Madina
Industri roti kacang hijau di Madina

Oleh : Dahlan Batubara

 

Saya teringat seorang teman etnis Tionghoa di Medan tahun 1993. Dia masih berusia 23 tahun. Bersama pamannya mendirikan pabrik bolu di belakang rumah sang paman, rumah kecil berdinding tepas. Mereka berdua yang mendirikan pabrik itu dan hanya mereka dua saja pekerjanya merangkap pimpinan pabrik. Maklum, pabrik itu masih kecil, hanya mampu menghabiskan satu karung tepung terigu per hari.

Di tahun 1993 itu, usia pabrik itu masih 1,5 tahun, dan pemasarannya masih menumpang kepada tim pemasaran dari satu pabrik bolu yang tak jauh dari rumah si paman.  Mereka terus mengelola usaha itu meski belum begitu menghasilkan. Istri si paman bekerja sebagai tukang cuci pakaian di rumah orang kaya, sedangkan teman saya itu masih bergantung hidup pada orangtuanya. Pabrik itu betul-betul belum menghasilkan keuntungan banyak. 

Tetapi, sepuluh tahun kemudian pabrik itu sudah memiliki 5 karyawan dan satu tim pemasaran plus 1 unit truk membawa bolu ke Lubuk Pakam hingga Tebing Tinggi. 

Selama bergaul dengan beberapa keluarga Tionghoa, saya memperoleh pemahaman bahwa orientasi hidup mereka bukan pada “apakah kamu sudah bekerja?” melainkan “apa rencana usaha kamu?”. Orientasi itu jauh beda dengan orientasi mayoritas “orang kita” yang selalu pada “apakah kamu sudah bekerja?”.

Jika ada kaum family yang bertemu, biasanya akan muncul kalimat “apa anakmu sudah kerja?”, “kerja di mana anak kamu?”, “anak saya kerja di kantor Camat”, “anak saya kerja di apotik”, “anak saya kerja di kaltex”,  “kemarin anak saya melamar PNS, gagal,” “anak saya masih nganggur, belum dapat kerja”, “tolonglah cari pekerjaan untuk anak saya”.

Orientasi bekerja ini menjadikan kita hanya fokus mencari pekerjaan, menjadi pekerja upahan, bergantung pada upah. Menjadi kuli, menjadi buruh, menjadi karyawan, menjadi pegawai. Bukan berorientasi mendirikan unit usaha, menjadi pengelola perusahaan, menggaji karyawan, memperoleh kekayaan dari output perusahaan yang didirikannya.

Alhasil, berdasar data HIPMI bulan Mei 2016, jumlah pengusaha atau enterpreneur atau wirausaha di Indonesia hanya 1,8 % dari total jumlah penduduk Indonesia di tahun 2016. Sedangkan di negara Asean seperti Singapura tercatat sebanyak 7 persen, Malaysia 5 persen, Thailand 4,5 persen, dan Vietnam 3,3 persen jumlah pengusahanya.

Mental kuli ini masih mendominasi, baik secara individu maupun secara sosial kolektif. Dari generasi ke generasi. Tak berubah hingga kini. Tak terdengar perubahan pradigma dari “mencari kerja” kepada “membuka usaha”.

Bahwa, beternak 5 ekor itik itu nilai prospeknya jauh lebih hebat ketimbang menjadi karyawan bergaji 5 juta rupiah sebulan.

Sebab, karyawan itu memiliki batas buntu, paling tinggi jabatan direktur di satu perusahaan. Tetapi peternak itik memiliki prospek menjadi komisaris di banyak perusahaan yang didirikannya.

Tetapi, peternak itik dari 5 ekor itu kelak akan menembus level-level multi usaha. Diawali dengan peternakan itik petelur, lalu bertambah dengan itik pedaging, lalu akibat kebutuhan pakan si peternak akan mendirikan usaha produksi pakan ternak yang pada gilirannya selain untuk kebutuhan pakan ternaknya juga akan menjual pakan ternak. Dari level itu, merangkak ke level lanjutan yakni mendirikan usaha penetasan itik.

Akibat sudah memiliki cabang usaha yang memproduksi pakan, si peternak kemudian akan mendirikan cabang usaha perikanan, cabang usaha ternak ayam, cabang usaha perdagangan ayam potong di sejumlah pasar.

Level kemudian adalah, si peternak sudah mendirikan rumah makan yang bermenu utama daging itik, lalu menambah cabang usaha restaurant sup itik. Level berikut adalah ekspansi pembukaan rumah-rumah makan dan restaurant bermenu daging itik.

Level itu terus melangkah naik ke level-level berikut. Karena bisnis dan ekspansi bisnis memiliki gerak dinamis. Si peternak telah merambah usaha di peternakan sapi. Bahkan akan merambah bisnis lain karena dia telah memiliki banyak jaringan, relasi.

Dan si direktur tadi masih tetap direktur di satu perusahaan, sedangkan si peternak itik telah menjadi komisaris di banyak perusaan yang didirikannya serta menggaji sejumlah direktur.  

Pengurus Himpunan  Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Kabupaten Mandailing Natal resmi dilantik, Rabu (9/11) di Panyabungan. Akankah pengurus baru ini mampu meningkatkan jumlah pengusaha di daerah ini?

Atau, apakah HIMPI Madina mampu mengkampanyekan agar generasi muda menjahui cita-cita menjadi karyawan, menjadi kuli, menjadi pegawai, mengejar gaji?

 Pertanyaan itu perlu dikedepankan, mengingat jumlah pengusaha, termasuk pengusaha muda masih minim di Mandailing Natal, baik yang bergerak di sektor agribisnis, agroindustri, industri, jasa dan perdagangan.

Memposisikan HIPMI Madina sebagai harapan motor penggerak pertumbuhan jumlah usahawan merupakan posisi wajar, sebab organisasi ini (jika benar) adalah kumpulan pengusaha-pengusaha muda, pengusaha yang tentunya telah mengalami pahit getir mendirikan dan menjalankan bisnis.

Bisnis, esensinya  tak memiliki sekolah resmi, sebab “kurikulum” bisnis itu ada di kesulitan, kendala, kepercayaan, jaringan, relasi, jiwa tarung, daya juang, pantang menyerah, merugi, beruntung, berhutang, dikejar hutang, putus asa, putus harapan, tengkurap, melamah, menguat, sabar, tekun.   

Membangun bisnis tak bisa mengharapkan pemerintah, sebab, pemerintah bukan pelaku usaha melainkan regulator, mendukung dari sisi infrastruktur dan menjamin keamanan berusaha. Tetapi, HIPMI memiliki orang-orang sebagai pelaku usaha, memiliki jaringan pengusaha-pengusaha yang tentunya bisa menelurkan ilmu bisnis kepada pemula, membimbing dan mengarahkan.  

Semoga HIMPI Madina mampu meningkatkan jumlah pengusaha di Madina. Semoga.

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.