Ijtima Indonesia Berdoa 2025: Meneguhkan Semangat Dakwah di Tengah Oase Spritual Dunia Global

Oleh: Moechtar Nasution

Provinsi Lampung, tepatnya Kota Baru mendadak menjadi magnet spritual yang mengguncang dunia. Kota Baru yang dibangun pada tahun 2012 sebagai mega proyek calon pengganti ibu kota Provinsi Lampung menggeliat dengan sunnah sunnah Nabi Muhammad SAW. Jutaan manusia dari berbagai pelosok nusantara termasuk dari Mandailing Natal dengan formasi lebih kurang seratus jemaah sudah hadir disana.

Bahkan terkonfirmasi jemaah dari puluhan negara juga turut hadir membersama kegiatan rohaniah ini. Salah satu nama besar yang telah dikonfirmasi hadir adalah Maulana Saad Kandhlawi, pucuk pimpinan “Amir” jamaah Tablig dari India.  Demikian sebutan masyarakat untuk entitas dakwah ini selain jemaah kompor, jemaah janggut dan yang lainnya.

Kehadiran beliau bersama rombongan menjadi magnet tersendiri bagi jamaah yang mendalami dakwah “khuruj”. Tentu saja, selain itu juga hadir ratusan ulama dari berbagai penjuru dunia yang diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan jemaah.

Semua hadir tanpa dikomando dan tanpa paksaan. Mengalir alamiah seperti air yang turun dari ketinggian. Mereka datang dengan pakaian jubah, serban penutup kepala, tasbih di tangan, siwak di saku kemeja, memelihara jenggot, sebagian diantaranya memakai tongkat dan kemudian semua ini disempurnakan dengan amalan amalan amaliah yang menyertainya.

Kehadiran jutaan jemaah ini mampu menyulap wajah kompleks perkantoran yang mangkrak menjadi energi positif yang penuh kedamaian, keteduhan, kebersahajaan, dan ketenangan.  Atmosfer spritual memancar ke seluruh penjuru negeri dan sejak dua bulan terakhir di berbagai platform media sosial hiruk pikuk sudah mulai terlihat dengan ragam artikel, meme dan flayer ajakan untuk mensukseskan kegiatan ini.

Kegiatan berskala besar ini membawa pengaruh yang signifikan bagi masyarakat setempat. Lalu lintas menuju Kota Baru pun menunjukkan denyut kehidupan yang tak biasa. Arus kendaraan hilir mudik nyaris tak putus, silih berganti menuju lokasi Tabligh Akbar Indonesia Berdoa 2025.

Bus-bus besar pengangkut jamaah berseliweran seakan tak berhenti, disusul truk logistik, minibus, ambulance, patroli polisi hingga kendaraan pribadi yang membawa keluarga dan rombongan kecil.  Ratusan bahkan mungkin ribuan tenda  besar dan memanjang didirikan untuk menyambut kedatangan jemaah. Semua menjadi saksi bisu tentang perjuangan dakwah, lahan kosong yang semula hanya ditanami singkong  dan sebahagian besar dibiarkan kosong begitu saja tiba tiba  disulap menjadi tempat yang paling indah untuk menengadahkan tangan bermunajat kepada Ilahi Rabbi. Suara lantunan kalam Ilahi menggema saling bersahutan dari tenda tenda yang dibangun secara sederhana.

Tabligh Akbar Indonesia Berdoa 2025 dengan titik episentrum yakni Mesjid Al-Hijrah bukan hanya tentang pertemuan jamaah dunia, bukan hanya sekedar perkumpulan biasa, akan tetapi juga tentang bagaimana sebuah peristiwa keagamaan mampu menghidupkan kota, menyatukan manusia, dan menebar keberkahan, kebaikan dan kesejahteraan dari sajadah hingga lapak sederhana.

Epicentrum of Growth” menjelma dan bersanding dengan keimanan yang semakin meningkat. Bukan hanya ajang syiar dan memperkuat ukhuwah Islamiyah semata namun juga berdampak positif dan nyata dalam sektor kehidupan masyarakat lainnya. Dakwah semakin mengkristal, di sisi yang lain pertumbuhan ekonomi khususnya UKMK meningkat.

Tabligh Akbar Indonesia Berdoa 2025 bukan hanya agenda keagamaan, namun peristiwa besar yang tidak hanya memancarkan energi spritual semata namun lebih dari itu diharapkan menjadi “asbab” bagi tumbuh dan berdayanya ekonomi keummatan, meningkatnya relasi sosial ummat, berkembangnya dakwah, memperbaiki mental spritual ummat, mewujudkan peningkatan keimanan dan ketaqwaan, semakin bergairahnya usaha memakmuran mesjid, terwujudnya keluarga yang sakinah mawaddah warohmah, membudayakan “ta’lim” di rumah dan yang lainnya.

Di kota inilah perhelatan dakwah dilaksanakan dari tanggal 28, 29 hingga 30 November. Di tengah lahan kosong puluhan hektar didirikan ribuan tenda dengan berbagai ukuran untuk menampung jemaah yang diperkirakan bisa mencapai angka satu hingga lima jutaan yang berasal dari “gen” tabligh seperti India, Pakistan dan Bangladesh, dari negara padang pasir juga hadir jemaah Yaman dan yang lainnya. Tak ketinggalan juga dari benua Afrika seperti Kenya, Tanzania, Afrika Selatan, Maroko, Tunisia hingga Eropa dan Amerika. Negara tetangga Asia juga hadir dari Malaysia, Thailand, Brunai, Kamboja, Srilangka dan yang lainnya.

Lampung berevolusi dan bertransformasi menjadi pusat dakwah dunia. Selama tiga hari kumandang tasbih, tahmid, tahlil dan takbir menggema dari jutaan jemaah yang mengagungkan kekuasaan Allah SWT. Jutaan manusia dari lima benua “tumpah ruah” untuk bertafakkur, beriktikaf, berzikir, bermunajat, duduk  bersimpuh dalam doa di sepertiga malam, mendengarkan “bayan” yang isinya hidup hanya sementara dan akhirat selamanya, makan “khidmat” berjemaah dari nampan besar, menghapal doa, belajar mengaji,  belajar menerima perbedaan di antara sesama manusia hanya karena ras, golongan, warna kulit, idiologi, organisasi dan embel embel lainnya.

Langit Kota Baru akan dipenuhi “doa doa” yang menembus langit dari manusia manusia yang tulus dan ikhlas. Mereka berdoa bukan untuk diri mereka sendiri namun untuk kemaslahatan bersama sesama umat Nabi Muhammad SAW. Saling mendokan untuk kebaikan, saling mendoakan untuk kesehatan, saling mendoakan untuk kebahagiaan, dan saling mendoakan untuk istiqomah dalam perjuangan dakwah. Semua doa bermuara untuk mewujudkan bangsa kita menjadi “baldatun toyyibatun warobbun ghofur”.

Mereka ikhlas datang menggunakan biaya sendiri dengan menggunakan pesawat terbang, naik kapal laut, naik mobil, bus, sepeda motor dan bahkan banyak juga yang berjalan kaki sampai hitungan bulan lamanya baru sampai di lokasi. Bahkan sebahagian diantaranya menabung terlebih dahulu mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk biaya selama di sana. Hal yang sangat bertentangan dengan logika namun karena kecintaan kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW mereka melakukannya dengan keikhlasan semata.

Mempergunakan uangnya sendiri untuk berjuang di jalan dakwah, makan ditanggung sendiri, meninggalkan keluarganya untuk menjemput hidayah Allah, ber “jaulah” mendatangi rumah ke rumah hanya untuk mengajak shalat berjemaah di masjid, menghabiskan sisa umurnya untuk menyeru kepada kebaikan bersama, dan menyandarkan hidup matinya hanya kepada sang Khaliq semata.

Kehadiran mereka murni karena panggilan iman. Mereka hamba Allah yang meninggalkan atribut duniawi mulai status sosial, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi. Tidak ada pangkat dan jabatan di sana, semua sama, menyatu, melebur dan membaur.  Sama-sama menata hati dan memperkuat silaturrahmi.

Ini adalah fenomena rohani global, karena hanya Allah SWT yang mampu menggerakkan jutaan jemaah datang berbondong bondong. Mereka datang dengan kebaikan, kasih sayang, dan kesederhanaan dan semoga nilai-nilai luhur yang datangnya dari hidayah Ilahi  ini dapat bertransformasi dan  didistribusikan ke seluruh dunia.

Tabligh Akbar ini diposisikan sebagai gerakan kebangkitan kesadaran kolektif dalam menatap wajah dan kondisi umat dewasa ini. Mampu melahirkan inisiasi untuk menjawab tantangan, hambatan, peluang, dan kebutuhan dakwah di masa sekarang dan yang akan datang. Tantangan usaha dakwah akan semakin berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Dan ini bukan perkara mudah. Tentunya kolaborasi dan sinergitas di antara ulama dan umara menjadi penting untuk dipertegas. Tugas yang mulia untuk membersamai gerakan dakwah ini. Mulai dari lingkup yang paling kecil. Jadikan momentum ini menjadi ruang refleksi bersama tentang usaha menghidupkan kembali nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi, keluarga, desa dan masyarakat secara keseluruhan. Melalukan revitalisasi dan aktivasi tentang nilai nilai agama dalam kehidupan pribadi dan keluarga merupakan benteng sekaligus filter yang kuat untuk “berselancar” di tengah lautan globalisasi jelang revolusi industri 6.0.

Ruang privat dan publik harus tetap berisikan ajakan untuk kebaikan dan harus tetap saling mengingatkan untuk kebenaran seperti yang pernah dilakoni Nabi Muhammad SAW dalam perjuangan dakwah. Posisi ini menjadi urgen dewasa ini di tengah ketidakpastian iklim global dan di tengah arus kehidupan modern yang semakin sarat individualisme.

Suatu sore di pertengahan Agustus, di pelataran mesjid saya bertemu dengan orang tua yang bernama Sofyan dari Roburan. Lama kami berbincang dan diakhir pertemuan itu, beliau menyampaikan pesan “hidup hanya sekali dan jangan menua tanpa arti”. Puitis dan penuh filosofi. Wallohu Aqlam Bisshawab…

Comments

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses