Cerpen: Rina Youlida Nurdina
“Yah, di sekolah, kami akan diberikan makan gratis untuk siswa setiap hari. Katanya makanannya yang bergizi lengkap, Yah. Mantap kan, Yah. Enak.. enak..”
“ Yang betul la kau, Cok. Banyak kali rupanya sudah uang guru-guru di sekolahmu? Di rumah ini saja masih sering kita bolong makan karena gak cukup uang yang ayah dapatkan untuk nafkah, padahal kita hanya tiga orang saja di rumah. Bagaimana kalian yang jumlahnya ratusan orang di sekolah?”
“Gak tau la, Yah, mungkin memang sudah kaya-kaya guru kami. Ada kok, Yah, guru kami yang bawa mobil ke sekolah, bawa sepeda motor juga banyak. Tapi ada juga yang masih nebeng dengan guru lainnya atau kadang naik beca. Tapi, Yah, mungkin karena takut akhirat, jadinya guru-guru kami mau sedekah yang banyak untuk murid-muridnya, kan kalau sedang mengajar guru sering ngasi pesan ke murid supaya sering berbagi dengan orang lain, termasuk la bersedekah, Yah.”
“Enak kali la itu ya, Cok. Berarti adikmu, Uli yang kelas dua juga nanti kebagian makan gratis tiap hari? Waah.., paten ini! Kalau bisa sekalian la kasi tau gurunya kalau ada makanan yang tersisa untuk ayah ya, kan lumayan tu.” Dahrun merasa sangat gembira mendengar kabar dari anak sulungnya, Ucok.
“Kalaulah betul yang Ucok sampaikan tadi, terang sajalah dunia ini kulihat nanti, berkurang beban hidupku ini,” gumamnya dalam hatinya.
Menikah muda dilakoni Dahrun, seorang pria yang masih cukup muda, 29 tahun usianya. Memiliki keluarga kecil yang syukurnya anak-anaknya cerdas. Tidak seperti dirinya yang sedikit lemot dalam berpikir, ia hanya mengecap pendidikan sampai kelas tiga SD saja. Dulu ia putus sekolah karena sampai kelas tiga SD pun ia belum pandai membaca dan menulis. Namun jangan ditanya soal berhitung, ia tak pernah salah kalau sedang menghitung buah kelapa yang ia turunkan dan menghitung barapa bagian yang menjadi haknya. Dahrun sehari-harinya hanya sebagai pekerja serabutan yang apa saja orang minta kerjakan akan ia usahakan mengerjakannya. Mulai dari membersihkan kebun, memetik kelapa, mangga atau buah lainnya untuk diborongkan si empunya sampai pekerjaan mengambil batu dan pasir di sungai pun ia kerjakan. Ia gigih dan tak malu mengerjakan apapun asalkan dapat menghasilkan uang untuk nafkah ia dan kedua anaknya. Ya, istrinya sudah pergi meninggalkan ia dan kedua anaknya karena tak tahan menanggung beban kehidupan yang cukup berat. Namu demikian, walau Dahrun merasa kecewa dengan sikap istrinya, ia justru bertekad kuat untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah dan memberikan kasih sayang yang cukup untuk kedua anaknya Ucok dan Uli yang masing-masing sekarang duduk di bangku kelas tiga dan dua sekolah dasar.
Mendengar kabar gembira dari anaknya, ia merasa sangat bersemangat. Di dalam pikirannya ia sudah mulai menghitung-hitung biaya kebutuhan rumah tangga jika dikurangi dengan biaya makan yang harus ia keluarkan setiap harinya. Ia menganggap jika benar makan gratis di sekolah itu terlaksana, maka ia tidak perlu takut lagi jika sewaktu-waktu empunya kontrakan rumahnya datang menagih sewa kontrakannya. Meski dua ratus ribu sebulan, untuk menyewa rumah berdinding papan berlantai tanah berukuran 3×4 meter itu, Dahrun masih sering kelabakan dan menunggak uang sewa. Dasar Dahrun yang sudah berekspektasi banyak kedepan apalagi setelah mendengar cerita anaknya tadi.
“Yah, nanti pulang kerja, tolong ayah belikan pulsa untuk token listrik kita yang dari semalam sudah sangat berisik ya,” pinta Ucok pada ayahnya.
“Yaa, nanti setelah ayah dapat upah menebang pohon rambutannya Wak Irul, ayah akan beli. Sekarang ajak adikmu untuk tidur siang dulu, jangan lupa kunci pintunya dari dalam. Ayah berangkat kerja dulu”.
Mentari yang masih sangat terik sepenggalan kepala, membuat Dahrun menunda dulu pekerjaannya. Ia berinisiatif untuk melanjutkan menebang pohon rambutannya nanti saja agak sore dan matahari lebih redup. Sembari menunggu, Dahrun singgah di sebuah warung kopi yang berada di dekat pohon rambutan yang akan ditebangnya itu. Jam istirahat siang para pekerja kebun membuat suasana warung cukup ramai.
Mengambil posisi duduk di pojokan, sambil menikmati hembusan angin sesekali Burhan memejamkan matanya. Bukan tidur, tapi sambil bersantai ia juga mendengar obrolan para pengunjung kedai kopi konvensional yang pasti memiliki bergudang cerita setiap bertemu. Ia sangat tahu diri. Walaupun duduk bersama di saru warung, ia tidak mau asal berbicara atau memberi pendapat saat orang-orang saling bercerita. Ia hanya berbicara saat ada yang bertanya saja.
“Gelaplah memang sudah Indonesia ini kawan, entah la mau seperti apa lagi kita masyarakat ini hidup. Orang-orang besar, berpangkat dan sukses di pemerintahan saja sekarang mengeluh. Seperti ketar ketir mereka dengan pemangkassan anggaran yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Kalian bayangkan la itu, mereka saja kelelap, apalagilah kita yang rakyat kecil ini.” Seorang pengunjung warung memulai pembicaraan.
“Ahh, apa yang musti kau susahkan. Kita ya akan tetap seperti ini, tak mengais ya tak makan. Kais hari ini untuk besok, dan besok kais lagi untuk lusa. Dan itu masih lebih syukur lagi daripada sama sekali tidak ada yang mau di kais. Kalau mereka si orang-orang besar itu kan sudah tetap ada yang akan datang tiap bulannya. Mereka cukup menunggu perjalanan tanggal saja di kalender.” Pria disebelahnya mengimpali.
“Setiap kebijakan itu pasti ada pengaruhnya, baik positif ataupun negatif. Sebagai masyarakat kecil, kita hanya bisa menerima saja apapun kebijakan itu. Kalau dapat siraman bantuan ya alhamdulillah, asal jangan sampai kita yang sudah susah malah tambah dibebani lagi dengan urusan negara. Biarkan mereka yang bekerja dan memikirkannya. Mau kamu koar-koar menuntut ini itu? Coba saja, siapa yang akan menanggapi. Apalagi dengar-dengar pemotongan anggaran itu kan untuk biaya makan gratis anak-anak kita yang sekolah, jadi biarkan saja kebijakan-kebijakan itu berjalan, toh kan kalian terbantu juga apalagi yang punya banyak anak bisa makan tanpa kalian harus banting tulang lagi untuk mencukupinya. Hehehe..,” pria disamping Dahrun menambahi.
“Ahh, gak tau lagi lah entah apa-apa saja kebijakan ini. Tapi yang pasti aku sangat sering mendengar kata gelap Indonesia belakangan ini. Yang lebih parah lagi anak-anak muda pada ramai bilang ‘kabur aja dulu’ padahal tak ada pun yang mengejarnya. Waktu aku dengar anakku cerita di rumah, katanya kabur aja dulu ke negara sebelah sana, di sana mereka krisis penduduk katanya,” sambung pria tadi.
“Krisis penduduk? Aku hanya tau krisis moneter saja, sewaktu aku masih SD dulu, kalau aku minta uang jajan, ibuku bilang kalau kita sedang krisis moneter, jadi apa-apa semua mahal. Susah betul keadaan dulu,” kata pria kedua.
Dahrun yang sedari tadi hanya diam mencermati pembicaraan mereka menangkap beberapa kata penting dalam pikirannya. Gelap dan kabur, kedua kata tulah yang melekat di pikirannya.
Melihat sinar mentari sudah mulai redup, Dahrun beranjak dari tempat duduknya dan mulai melanjutkan pekerjaannya.
Dahrun tiba dirumah sudah hampir jam delapan malam. Walau hanya disinari dengan sebuah lampu 15 watt, itu sudah cukup untuk menerangi seluruh rumahnya yang sangat sederhana itu. Dua batang pohon rambutan tua yang ia tebang hari ini cukup menguras tenaga dan waktu, maklum saja karena ia hanya mengerjakannya seorang diri dengan alat seadanya juga. Tetapi ia selalu bekerja dengan sangat baik sehingga siapapun yang meminta jasa tenaga Dahrun pasti merasa puas dengan hasil kerjanya yang bersih dan rapi. Dua ratus ribu rupiah Dahrun terima sebagai upah kerjanya hari ini. Wak Irul memang dermawan, gak pelit ngasi upah, pantas saja ia masih terlihat sehat meski kini usianya sudah mencapai tujuh puluh tiga tahun.
Setelah membersihkan diri, Ia membuka tudung saji dan melihat masih ada sisa makan tadi siang, ia pun melahapnya hingga terobatilah rasa laparnya. Melihat kedua anaknya di atas tempat tidur kayu berlapis tilam usang yang hanya dilapisi kain lusuh itu, ia merasa iba. Anak-anaknya sudah terlatih mandiri sejak ibunya meninggalkan mereka. Ucok anak yang rajin, meski tidak sempurna, ia sudah bisa melakukan pekerjaan rumah untuk membantu ayahnya jika sedang bekerja di luar.
Dahrun merebahkan badannya di samping kedua anaknya itu. Sudah terbiasa bekerja kasar tidak membuat badannya merasakan pegal-pegal lagi. Saling berbagi cerita dengan kedua anaknya, tanpa terasa satu persatu mereka mulai terlelap tidur dengan nyenyaknya.
Sekitar pukul dua dini hari, tiba-tiba Dahrun menjerit dengan kerasnya. Dadanya terasa sesak dan ia tak dapat melihat apapun disekitarnya.
“Indonesia gelaaap… Ayo kabur, ayo kabur”.
Sontak saja suara teriakan Dahrun membangunkan kedua anaknya dan beberapa tetangga di sekitar rumahnya. Beberapa lelaki datang menggedor rumah Dahrun untuk memberikan pertolongan. Ucok yang sigap dan ligat membuka pintu dan memepersilahkan mereka masuk.
“Kenapa kau, Dahrun? Buka matamu, cepat buka matamu!,” kata salah seorang pria sambil menampar-nampar pipi Dahrun.
“Indonesia sudah gelap, betul-betul sudah gelap. Ayo kita kabur ke negara sebelah!”. Teriakan Dahrun makin menjadi dan badannya pun bergetar hebat karena ketakutan.
“Ayaaaah……buka mata ayah. Listrik kita padam, yah! Ayah belum jadi beli pulsa untuk mengisi token listrik kita”.
Seketika Dahrun terdiam mendengar kalimat anaknya itu. Ia yang phobia kegelapan ditambah dengan masih teringat pembicaraan orang-orang tadi siang membuat ia tidak dapat mengontrol keadaannya. Ia benar-benar berpikir jika kegelapan sudah terjadi di Indonesia.
Merasa malu dengan yang barusan terjadi, Dahrun meminta maaf pada tetangganya yang telah ramai di rumahnya itu.
“Dahruuuun..Dahruun, kau memang polos sekali. Lain kali jangan lupa untuk mengisi token listrik ya. Kalau sudah mulai berisik, kamu harus segera membeli pulsanya supaya ini tidak terjadi lagi,” kata salah seorang tetangganya sambil senyum-senyum dan menepuk-nepuk pundak Dahrun yang terlihat lucu.***
Rina Youlida Nurdina adalah cerpenis / tinggal di Panyabungan, Mandailing Natal, Sumatera Utara / guru Bahasa Indonesia