Artikel

INSTING HEWAN DALAM BENCANA

 

Oleh : Moechtar Nasution

Fenomena munculnya hewan langka yakni kambing hutan (capricornis sumatraensis) dipemukiman masyarakat pada saat erupsi gunung Sinabung tahun lalu tentunya menjadi perhatian yang perlu untuk dipelajari guna menambah perbendaharaan ilmu bencana yang dimiliki bangsa ini. Kenapa hewan-hewan yang ada dihutan gunung Sinabung mulai keluar dari habitatnya? Apakah ini menjadi bahan perhatian serius bagi kita atau kita hanya menganggap peristiwa ini sebagai cerita biasa belaka tanpa makna.

Perkembangan ilmu pengetahuan, tekhnologi dan komunikasi sudah begitu cepat seiring dengan tantangan zaman namun sebagai manusia yang memiliki sifat ketidaksempurnaan – maka belajar kepada alam adalah sesuatu yang sangat penting. Mulai zaman dahulu manusia menjadikan alam dengan segala isinya sebagai bahan pelajaran untuk dijadikan  penambah ilmu pengetahuan. Alam adalah tempat  menatap masa depan, tempat segala eksprimen ilmu pengetahuan dan tempat menabur segala kebaikan dan keburukan. Harmoni antara manusia dengan alam terjaga dengan baik sebagaimana hubungan antara alam dengan pencipta-Nya. Tumbuhan, hewan, sungai, lautan, gunung dan sebagainya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari manusia. Sebagai suatu sistim yang saling mendukung dan bersinergis satu sama lainnya. Rantai ekosistim dan kelangsungan hidup manusia.

Alam beserta isinya merupakan bahan pelajaran yang perlu dikembangkan dalam menghadapi bencana terutama dengan hewan. Mengapa? Karena diyakini hewan-hewan khususnya yang ada didaerah rawan bencana akan memberikan respon secara alamiah terhadap bencana berdasarkan naluri dan indera yang dimilikinya dan dengan respon tersebut hewan tersebut akan berupaya  menyelamatkan diri. Sama seperti manusia, maka hewan ini juga akan melakukan penyelamatan diri jika terjadi bencana. Respon inilah yang seharusnya menjadi kajian keilmuan guna menambah ilmu pengetahuan manusia terhadap bencana.

Dengan mempelajari kepekaan, sensitivitas, dan respon alamiah hewan (animal instinct) terhadap bencana maka manusia bisa menjadikannya sebagai kearifan alam sebagai tanda-tanda akan terjadi bencana, bahkan amat sangat mungkin dijadikan sebagai peringatan dini bencana. Sudah saatnya kita mempelajari hal ini guna perbaikan manajemen sebagai bagian dari upaya bersama untuk mensinergiskan penyelenggaraan penanggulangan bencana dikemudian hari terutama yang berkaitan dengan peringatan dini kebencanaan.

Banyak fakta yang berbicara betapa sesungguhnya manusia amat sangat lalai bahkan melupakan kearifan alam beserta isinya ini sehingga kemudian menjadi asing dengan perubahan perilaku, sikap dan tingkah  laku hewan-hewan ini padahal sesungguhnya nenek moyang  telah menjadikan ini sebagai kearifan yang berguna bagi kehidupannya sehingga mereka bisa harmoni dengan alam. Dan karena “kesombongan” ini juga kita menjadi tidak peduli dengan alam sehingga ketika terjadi bencana kita menjadi “tersentak” dan sadar bahwa sebelum dan saat terjadi bencana nyata dan benar kita telah melihat hewan-hewan didaerah rawan bencana telah menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku hewan diluar kebiasaannya ini biasanya akan muncul seiring dengan semakin dekatnya bencana itu terjadi.

Jika  mau jujur, banyak hewan-hewan yang ada dikawasan gunung Sinabung  sudah  berpindah pada saat pra dan erupsi terjadi. Cuman sayangnya fenomena ini luput dari penglihatan manusia. Insting hewan amat sangat peka terhadap bencana sehingga ini menjadi kekuatan yang sifatnya ekstra  bagi mereka untuk mengantisipasi terdampak bencana. Clive Walker, pakar margasatwa yang banyak menuliskan tentang kehidupan liar satwa Afrika pernah mengatakan "Satwa liar bisa mengetahui fenomena yang akan terjadi, terutama burung-burung. Banyak laporan burung-burung berhasil mendeteksi kalau bencana alam akan terjadi,“. Banyak berita yang menyebutkan bahwa pada saat sebelum gempa tsunami pada  tanggal 26 Desember 2004 dengan kekuatan 9,0 SR atau setara dengan 32 giga ton bahan peledak – yang lalu menunjukkan telah terjadi perubahan perilaku secara drastis dari hewan-hewan seperti kepanikan yang luar biasa sehingga gajah yang selama ini menjadi primadona pariwisata di Thailand berlari menyelamatkan diri kedataran yang lebih tinggi.

Kemajuan tekhnologi informasi dan komunikasi sebagai buah kemajuan ilmu pengetahuan telah “membius” ingatan dan membuat manusia menjadi bangsa yang pelupa terhadap nilai-nilai filosofi alam.  Sama sekali enggan belajar dari sejarah panjang leluhur dengan tidak  menjadikannya  sebagai bahan pelajaran yang berguna bagi masa depan.  Masyarakat Mandailing Natal utamanya yang bermukim di sepanjang bantaran sungai Rantopuran – Gunung Tua Raya meyakini bahwa jika binatang melata atau hewan lunak seperti keong sudah naik kedaratan dan atau memanjat pohon atau juga tiang rumah penduduk maka diyakini ini merupakan pertanda akan terjadi banjir besar. Keyakinan ini berlangsung turun menurun dan dari generasi kegenerasi berikut.

Hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki tradisi yang berkaitan dengan  hewan dan bahkan dibeberapa daerah ada beberapa hewan yang dianggap memiliki “kekuatan” sehingga dijadikan sebagai ikon kekuatan manusia. Jangan pernah masuk kehutan dikawasan Mandailing jika anda tidak memahami pemaknaan bahasa “ompung” yang ditujukan kepada harimau atau lihatlah rumah-rumah adat atau rumah rakyat yang menjadikan tanduk kerbau sebagai hiasan yang memiliki makna tersendiri.  Perhatikanlah elang yang memiliki ketajaman mata sehingga dari udara mampu menangkap gerakan ikan didalam air.

Kelihaian elang ini memunculkan inspirasi sehingga kemudian ada  batalion militer yang menjadikannya sebagai lambang kesatuan atau perhatikan juga penciuman anjing yang sangat tajam dan dikarenakan ketajaman indra penciuman ini, anjing kemudian dipakai aparat keamananan untuk membantu tugas-tugas mereka seperti melacak narkoba dan dibeberapa tempat yang mengalami longsor untuk membantu melacak orang yang belum diketemukan.

Menjadi menarik wacana yang disampaikan oleh teman saya Rosramadhana Nasution, seorang dosen dan kandidat doktor Antropologi disebuah PTN ternama di Surabaya yang mengusulkan tentang pentingnya penambahan mata kuliah Antropologi Bencana didalam kurikulum pendidikan perguruan tinggi atau juga mengupayakan muatan-muatan tentang pengurangan resiko bencana sejak dini dibangku sekolah mulai tingkatan Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi mengingat bahwa negara kita ini berada dalam kategori rawan bencana berdasarkan letak geografis.

Diyakini dengan muatan mata kuliah ini akan mampu mensinergiskan penanganan bencana berikut dengan semua problematikanya berdasarkan kajian antropologi, termasuk didalamnya penguatan budaya lokal seperti kearifan (local wisdom). Menjadi tantangan bagi kita untuk bisa melestarikan kearifan seperti ini mengingat bahwa biasanya kearifan yang berkembang dimasyarakat cendrung mudah untuk dilupakan akibat proses globalisasi dan perjalanannya yang sangat lambat dikarenakan proses transformasinya bersifat  tradisional yakni dari mulut kemulut. Kearifan memang terkesan sepele dan remeh temeh biasa namun jika dipelajari ternyata bisa menjadi kekuatan sekaligus keunggulan.

Pertanyaan selanjutnya adalah kemana semua penghuni hutan gunung Sinabung itu pergi pada saat erupsi terjadi? Bukankah hanya ada beberapa hewan yang  memasuki perkampungan sesuai dengan laporan media? H.D Ratnayake, Pejabat Departemen Hewan Sri Langka pernah mengatakan “Hewan memiliki indera keenam dan bisa mendeteksi keberadaan bencana alam. Binatang-binatang menggunakan naluri dan indera seperti penciuman dan pendengaran untuk menghindari ancaman bahaya. Saya yakin satwa-satwa liar ini telah mengendus bencana maha dahsyat tersebut. Mereka memiliki indera keenam dan tahu kalau bencana akan terjadi,”.

 Pakar-pakar bencana luar negeri sudah sangat sering melakukan kajian/ riset tentang keterkaitan insting hewan dengan bencana karena diyakini akan dapat meningkatkan kewaspadaan pada manusia terhadap bencana yang akan terjadi. Persoalannya kemudian apakah Indonesia yang berdiam dipertemuan tiga lempeng dunia yakni Eurasia, Pasifik dan Hindia Australia ini memiliki kemauan yang kuat untuk mempelajari ini dan menjadikannya sebagai kearifan yang selanjutnya ditelaah dan dikritisi berdasarkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi? Bukankah negara kita yang terdiri dari hampir 17.500 pulau ini banyak memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang bisa kita sajikan dilaboratorium-laboratorium bencana yang dimiliki? Bukankah negara dengan lebih kurang 200 etnis ini sangat kaya dengan kearifan? Mengutip kalimat yang sering disampaikan iklan ditelevisi kalau bukan kita siapa lagi..kalau bukan sekarang kapan lagi.

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.