Artikel

Jiwa Yang Terpenjara

Esai : Lastriana Limbong, S.Ds

 

Pernah nggak sih kalian merasa kalau hidup tuh gitu-gitu aja. Rasanya rutinitas harian kian membosankan. Bangun tidur, mandi, makan, kerja, makan lagi, mandi lagi, makan lagi, tidur lagi. Siklusnya konstan, berputar bagai lingkaran bianglala.

Hidupmu bagai penjara, resah, tidak ada bahagia yang paripurna. Kamu mendamba kehidupan penuh gairah seperti mereka, bisa makan enak di restoran, punya keluarga terus liburan bareng, ke luar negeri tiap bulan. Rasanya hidup mereka sempurna. Kontras sekali dengan hidupmu yang terus berjibaku dalam hampa.

Namun bukankah “dunia adalah penjara bagi orang beriman dan surga bagi orang kafir” saudarku, sebagaimana yang dipesankan Sang Rasul Allah, ribuan tahun yang lalu. Imam Nawawi rahimahullah pun menerangkan bahwa orang mukmin akan merasa terpenjara di dunia. Karena harus menahan diri dari berbagai syahwat yang diharamkan dan dimakruhkan.

Orang mukmin diperintah untuk melakukan ketaatan. Mengorbankan rasa nyaman, terus berlelah hingga kelak ia mati, barulah akan rehat. Kemudian ia akan memperoleh apa yang telah Allah janjikan atas kenikmatan duniawi yang dikorbankan. Kenikmatan akhirat nan kekal, mendapati peristirahatan yang jauh dari sifat kurang.

Sedangkan keadaan orang kafir adalah sebaliknya, sehingga seakan-akan ia sedang berada di surga. Dunia adalah ladang kebahagiaan, tempat huru-hara mengorek segala kenikmatan. Senantiasa mencari tawa meski tak akan pernah terpenuhi puncak kepuasannya.

Maka untuk setiap jiwa yang sedang terpenjara, bersabarlah. Bersabarlah dari maksiat dan gemerlap yang sedikit. Bertahanlah dalam peluh keringat dalam ketaatan, dunia ini memang tempat berlelah-lelah. Aku capek, dan aku yakin kamu juga. Nanti kita pulang, beristirahatlah. Dan tiada tempat pulang terbaik, illa jannah. Insyaallah.***

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.