Job Hugging, Efek Ketidakpastian Ekonomi Kapitalisme

Oleh: Djumriah Lina Johan
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Muncul fenomena baru di dunia kerja yang disebut job hugging. Kalau dulu banyak orang sering pindah-pindah kerja atau job hopping demi mengejar tawaran gaji yang lebih tinggi. Kini, justru banyak pekerja memilih ‘memeluk’ pekerjaannya yang ada saat ini meskipun merasa merana dan tidak nyaman.

Fenomena ini semakin marak di tengah situasi pasar kerja yang penuh ketidakpastian. Para pekerja merasa lebih aman bertahan di tempat lama daripada harus ambil risiko pindah kerja.

Tak hanya dari sisi pekerja, perusahaan pun ikut ‘memeluk’ karyawannya. Setelah periode great resignation pada 2021-2022 yang membuat banyak perusahaan kekurangan tenaga kerja, kini banyak pengusaha lebih memilih mempertahankan staf ketimbang merekrut baru.

Tren job hugging nyatanya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di tingkat dunia. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat pengunduran diri pekerja pada tahun 2025 hanya 2%, terendah dalam satu dekade.

Akar Masalah Job Hugging

Fenomena job hugging sejatinya hanyalah efek dari ketidakmampuan sistem kapitalisme dalam menjamin pekerjaan bagi masyarakat. Lewat tren job hugging ini, nampak jelas bahwa sistem kapitalisme gagal memberikan kesejahteraan.

Di negara mana pun yang menerapkan sistem kapitalisme pasti memiliki masalah yang sama dalam menghadapi problem tenaga kerja dan ketersediaan lapangan kerja. Ini karena sistem kapitalisme pada dasarnya adalah ideologi rusak dan merusak yang mengatasi masalah dengan masalah. Di antara rusaknya ideologi kapitalisme dalam masalah tenaga kerja dan lapangan kerja, yakni:

Pertama, sistem kapitalisme menekankan pada produktivitas dan efisiensi sehingga memungkinkan bagi perusahaan untuk menyesuaikan jumlah pekerja dengan kebutuhan produksi serta biaya. Seiring kemajuan teknologi, perusahaan cenderung melakukan efisiensi dengan mengurangi kuota tenaga kerja dan menggantinya dengan mesin dan teknologi. Imbasnya, lapangan kerja pun menyurut karena pengurangan tenaga kerja.

Kedua, melakukan job hugging adalah pilihan yang serba salah. Bertahan, tetapi kesejahteraan tidak terjamin. Keluar pun belum tentu mudah mendapat pekerjaan. Tidak ada jaminan pula bagi pekerja tidak terkena PHK sewaktu-waktu. Ini karena dalam pandangan kapitalisme, pekerja merupakan bagian dari mesin produksi. Paradigma ini akan menjadikan manusia mudah tereksploitasi dengan tuntutan kerja tinggi, tetapi gaji rendah, bahkan jauh dari kesejahteraan.

Terlebih jika kondisi ekonomi tidak stabil atau pasar mengalami penurunan. Para pemilik perusahaan lebih memilih melakukan PHK untuk mengurangi biaya demi mempertahankan kelangsungan bisnis dan keuntungannya. Dengan demikian, tidak ada jaminan keamanan kerja bagi pekerja.

Sistem kapitalisme menyebabkan kesenjangan ekonomi yang besar antara pekerja dan pemilik modal sehingga mengurangi kemampuan pekerja untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Kekayaan hanya berpusat pada sebagian orang. Walhasil, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Pada sisi lain, dalam kapitalisme, negara tidak terlibat langsung dalam menciptakan lapangan kerja dan kesejahteraan pekerja. Negara hanya bertindak sebagai regulator, yakni menetapkan regulasi dan kebijakan yang pro kapitalis dan sebagai fasilitator yang memudahkan asing atau swasta terlibat dalam penciptaan lapangan kerja.

Negara juga tidak memberikan jaminan dalam kebutuhan dasar individu dan publik sehingga nasib pekerja jauh dari kata sejahtera. Jadilah job hugging menjadi pilihan realistis yang terpaksa dilakukan.

Islam, Solusi Pengganti Sistem Kapitalisme

Di dalam Islam, negara adalah pengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam itu adalah pemimpin dan dia diminta pertanggungjawaban atas orang yang ia pimpin.”(HR Bukhari dan Muslim)

Tugas riayah (pengurusan) negara adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negara yang memiliki kemampuan, tetapi tidak mempunyai pekerjaan. Bahkan, nafkah atas orang fakir yang tidak memiliki kerabat yang mampu menafkahinya menjadi tanggung jawab negara.

Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw., “Siapa saja yang meninggalkan harta, itu adalah hak ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang lemah (yang tidak punya anak maupun orang tua), itu adalah urusan kami.”  (HR Bukhari dan Muslim).

Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Selain itu, negara juga wajib menanggung nafkah orang-orang tidak mampu jika tidak ada kerabat yang sanggup memberinya nafkah. Dalam pengertian syariat, orang yang tidak mampu diartikan sebagai orang yang secara fisik benar-benar tidak mampu bekerja atau orang yang tidak mendapat pekerjaan yang dari pekerjaan itu ia bisa memperolah nafkah.

Syariat menjamin seluruh kebutuhan dasar mereka berdasarkan dalil-dalil tersebut. Caranya dengan mewajibkan suami dan ahli waris memberi nafkah kepada wanita secara mutlak dan orang yang tidak mampu secara hakiki atau secara hukum. Kemudian, jika mereka tidak ada, atau ada tetapi tidak mampu, kewajiban itu diserahkan kepada baitulmal, yakni negara.

Dalam negara Khilafah, fenomena job hugging, risiko pengangguran, serta PHK massal dapat dicegah melalui kebijakan berikut:

Pertama, mengelola sumber daya alam yang terkategori milik umum, termasuk tambang. Islam melarang menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta. Dengan aturan ini, negara dapat membangun industri strategis, semisal pengilangan minyak, pengelolaan tambang, dan sebagainya yang memungkinkan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Penyediaan lapangan kerja dalam industri strategis juga akan mendorong masyarakat meningkatkan keterampilan dan kemampuannya.

Kedua, menerapkan syariat ihyaul mawat, yaitu meghidupkan tanah mati yang berarti mengelola tanah tersebut dengan sesuatu yang menunjukkan bahwa tanah tersebut dikelola (Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, An–Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 273). Negara dapat memberikan status tanah mati, yaitu tanah yang telah ditelantarkan pemiliknya kepada siapa saja yang dapat mengelola dan menanaminya sehingga produktivitas masyarakat akan tumbuh seiring kebijakan ini.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barang siapa menghidupkan tanah mati (membuka lahan baru), tanah itu menjadi miliknya.” (HR Ahmad, At-Tirmidzi, dan Abu Dawud). Hadis ini menunjukkan bahwa usaha untuk mengubah tanah yang tidak produktif menjadi produktif akan membawa keberkahan dan tanah tersebut menjadi milik siapa yang berusaha.

Ketiga, memberi tanah produktif bagi rakyat yang membutuhkan untuk bertani/berkebun (iqtha’). Iqtha’ adalah memberikan tanah yang sudah dikelola dan layak ditanami. Kebijakan ini dapat mengatasi angka pengangguran dan membuat rakyat lebih produktif bekerja.

Keempat, mendorong individu bekerja. Negara dapat memberikan modal berupa hibah atau pinjaman tanpa riba agar rakyat dapat memulai usahanya. Negara juga akan memberikan fasilitas berupa pelatihan dan keterampilan agar mereka dapat bekerja pada beragam jenis industri dan pekerjaan.

Dengan mekanisme ini, negara dapat menjamin pekerjaan dan kebutuhan hidup masyarakat secara adil. Semua ini hanya dapat dilakukan dengan diterapkannya sistem Islam kafah di bawah naungan negara Khilafah. Wallahu a’lam.

Comments

Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses