Artikel

Ketika Mahasiswa Angkat Bicara, Akankah Pemerintah Berlapang Dada?

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Kalangan kampus kini kembali sedang menjadi sorotan. Pasca pemberitaan meme BEM UI yang bertuliskan The King of Lip Service.  Seperti diberitakan oleh gelora.co, Minggu (27/06/2021) bahwa Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Leon Alvinda Putra telah memberikan penjelasan terkait hal tersebut.

Penjelasan tersebut disampaikan Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra, secara virtual kepada KompasTV, Leon mengatakan bahwa infografis berisi gambar meme yang diunggah melalui akun Twitter @Bemui_Official tersebut adalah  bentuk kritik kepada Presiden Jokowi.

Cuitan itu kini sedang viral dan mendapatkan banyak apresiasi serta dukungan. Baik dari kalangan aktifis, politis, intelektual juga mahasiwa sendiri. Mereka menilai, bahwa kritik tersebut adalah nafas baru bagi dunia kampus setelah cukup lama bungkam. Bahkan, Presiden Jokowi sendiri memberikan komentar positif terkait hal itu.

Persoalannya kemudian adalah, kini mulai muncul beberapa kritikan dari mahasiswa dan kampus berbeda sebagai bentuk dukungan terhadap aksi BEM UI tersebut. Sebut saja BEM USU (Universitas Sumatera Utara).

Masih dilansir dari gelora.co (29/06/2021), Presiden Mahasiswa USU, Muhammad Rizki Fadillah mengatakan bahwa BEM USU hadir bersama dengan BEM UI untuk tetap menyuarakan kritik yang dijalankan sesuai dengan koridor selaku mahasiswa.

Rizki pun membeberkan sejumlah janji Jokowi yang tak terwujud. Seperti revisi UU ITE yang tidak menjadi prioritas Prolegnas, pasal karet UU ITE yang sudah banyak memakan sekitar 800-an kasus, semakin dilemahkannya KPK, dan rentetan janji lainnya. Ia juga memastikan BEM USU akan tetap menjaga solidaritas antarsesama mahasiswa dalam memberikan kritikan kepada pemerintah. Sebab, inilah yang menjadikan mahasiswa sebagai agen perubahan di tengah masyarakat.

Tidak itu saja, muncul panggilan revolusi Indonesia 2021 dari PB HMI. Bahkan, organisasi mahasiswa ini juga menyatakan agar Presiden Jokowi gentlemen. Jika memang tidak sanggup memimpin, untuk apa bertahan, hanya menambah susah rakyat. Kritikan yang senada juga muncul dari mahasiwa UGM yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi adalah juara ketidaksesuain antara omongan dan kenyataan.

Kembalinya suara mahasiswa tentu membawa angin segar bagi dunia kampus yang melahirkan generasi krtitis, berani, dan independen. Keberanian yang muncul dari dalam diri mahasiswa adalah salah satu bukti lahirnya kesadaran untuk turut serta berpartisipasi dalam memberikan sumbangan perubahan bagi negeri. Sebagai simbol kebanggaan mahasiswa yang dikenal dengan istilah The Agent of Change.

Seluruh elemen masyarakat harus memberikan dukungan terhadap kebangkitan mahasiswa yang sebelumnya sempat redup. Dan diharapkan, tidak ada judgment sepihak sehingga membuat generasi muda terpecah dan tidak maksimal dalam memberikan suara serta perjuangan mereka sebagai generasi penerus di masa depan. Jiwa-jiwa kritis dan pemberani harus didukung dan diarahkan agar tidak salah jalur.

Hanya saja, pertanyaan utamanya adalah, apakah pemerintah kini mampu berlapang dada menerima suara-suara krtitis generasi muda ini? atau malah sebaliknya? Karena sebelumnya, mahasiswa telah dibungkam bersuara dengan UU ITE serta propaganda radikalisme/ekstreimisme. Sanksinya tidak tanggung-tanggung, penjara dan eksekusi final dari kampus.

Padahal, pemerintah sendiri pernah mengaku rindu didemo, atau mengakui bahwa krtitik adalah kebebasan berdemokrasi, dan sebagainya. Tetapi tindakan yang diambil untuk menanggapi kritik ataupun demo malah dijawab dengan kedzaliman.

Masyarakat kini sedang menunggu kepastian sikap pemerintah, yaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.  Sehingga gelar The King of Lip Service tersebut bisa dibantahkan. Karena penyematan gelar-gelar tersebut oleh mahasiswa bukanlah tanpa bukti melainkan sudah dikumpulkan sebagai referensi akurat yang bisa dipertanggungjawabkan.

Ketidaksiapan pemerintah dalam menerima kritik tidak lepas dikarenakan kinerja yang sudah berjalan nyata terlihat miskoneksi antara yang diumumkan dengan realitas yang diterima. Pemerintah sebagai pelaku terduga lip service tersebut bisa jadi mengakui hak kritik namun tidak siap menerima kebenaranannya.

Hal tersebut bisa juga dikarenakan ketakutan-ketakutan pada diri penguasa yang selama ini telah nyata terlihat lemah, tidak mampu, serta jauh dari kapabilitas pemimpin yang diharapkan. Topeng pencitraan saat kampanye semakin terkuak dan membuat masyarakat kini muak. Ketidakmampuan ditutupi dengan tangan besi menciptakan UU atau Perpres yang menjerat siapa saja yang dianggap tidak setuju atau tidak sejalan dengan kebijakan yang ada.

Begitulah kenyataan yang dirasakan langsung oleh masyarkat tidak terkecuali kalangan akademisi. Semua dilemahkan dan dibungkam dengan kekuatan dan kekuasaan  pemerintahan yang berjalan. Padahal, kritik adalah bentuk kepeduliaan dan perhatian masyarakat khususnya dari generasi muda kampus agar para pemimpin tersebut tidak lari dari jalurnya alias tegak di atas hukum yang diakui.

Aksi kritik dari kalangan masyarakat khususnya generasi muda intelektual adalah bukti bahwa kaum millennial negeri ini masih hidup dan sangat potensial untuk membangun negeri ini menuju masa depan yang lebih baik. Insyaallah. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.