Catatan: Lokot Husda Lubis, S. Ag
Sekedar ilustrasi, di negeri entah berantah seekor Raja Monyet tiba-tiba mendadak mengumpulkan para Menteri dan petinggi di kerajaannya. Sepertinya ada sidang Kabinet mendadak yang wajib di hadiri para petinggi kerajaan. Informasinya, rapat itu begitu penting, sehingga setiap Menteri atau petinggi kerajaan tidak satupun yang boleh absent
Para Menteri dan petinggi kerajaan sebenarnya merasa heran, tiba-tiba saja sang Raja mengumpulkan mereka. Namun karena itu titah Raja, para Menteri dan petinggi kerajaan yang setia ini satupun tidak ada yang berani bertanya. “Mungkin ada masalah kerajaan yang harus di bicarakan. Tapi apa ya…., di bilang tanggap darurat, tidak ada, semuanya aman-aman saja,” pikir mereka dalam hati.
“Saudara-saudara para Menteri dan para petinggi kerajaan yang saya hormati. Mungkin Saudara-saudara heran dan bertanya-tanya dalam hati, kenapa saya mengumpulkan kalian secara mendadak. Sebenarnya ada hal urgen yang perlu saya bicarakan dengan saudara-saudara, ini menyangkut masa depan kita semua,” ujar Raja Monyet sambil menggaruk garuk bagian bawah ketiaknya yang gatal.
“Ampun yang mulia. Ada apa gerangan yang mulia mengumpulkan kami semua. Sepertinya ada khabar penting yang ingin dibicarakan, kami sudah siap mendengarkan apa yang akan disampaikan yang mulia,” ujar Menteri Pertahanan di kerajaan Monyet itu.
“Hemmmmm, betul. Saya ingin pendapat dan saran dari semuanya yang hadir di sini. Mungkin informasinya sudah sampai kepada Saudara-saudara sekalian, bahwa di kerajaan manusia dalam waktu dekat ini akan melaksanakan pemilihan anggota Legislatif sebagai perwakilan rakyatnya nanti di DPRD. Masing-masing caleg saat ini sudah sibuk mengambil hati masyarakatnya. Poto-poto mereka sudah terpampang di mana-mana, tidak ubahnya bak poto model”, kata Raja Monyet.
“Betul yang mulia, kami telah mendengar kabar itu, tapi apa hubungannya dengan kita ini bangsa Monyet. Bukankah itu urusan manusia, lagi pula itu masalah politik yang mulia. Jangankan kita, manusia saja banyak yang bingung dan tidak mengerti. Sepengetahuan kami, politik itu jahat yang mulia, tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang ada hanya kepentingan,” sahut Monyet lain yang jabatannya sebagai Penasehat kerajaan.
“Justru itulah, saya mengumpulkan kalian semua. Saya ingin mendengar masukan dan pendapat dari saudara-saudara sekalian tentang hal ini, karena saya bermaksud ikut mencalonkan diri sebagai caleg di kerajaan manusia, bagaimana pendapat saudara-saudara sekalian ?. ” tandas Raja.
Mendengar ucapan Raja itu, semua yang hadir saling berpandangan. Mereka heran dan tidak paham apa maksudnya yang di sampaikan raja mereka. “Gila…., raja kami sudah gila, apa maksudnya ikut mencaleg di kerajaan manusia. Bukankah dari bangsa manusia sendiri sudah bertabur jumlah caleg. Lagi pula apa untungnya bagi kami warga monyet, bukankah itu nanti buat bahan tertawaan saja. Apalagi pakai pasang gambar atau baleho di mana-mana. Raja kami cari penyakit….!. Apa Raja kami ini mimpi !. ”, guman para monyet yang hadir dalam hati.
“Begini saudara-saudara, secara politik ada beberapa tujuan saya ikut mencalonkan diri. Manatau nanti saya menang dalam pileg, saya akan membawa aspirasi para warga kita semua. Utamanya, kehidupan kita selama ini banyak yang terancam akibat ulah manusia. Warga kita sering diburu dan hutan tempat kita hidup untuk melanjutkan keturunan sering di bakar secara sembarangan. Bukan itu saja, warga kita banyak yang ditangkapi, di karangkeng, di jual untuk pajangan rumah atau kebun binatang. Paling kejamnya lagi, saudara-saudara kita banyak yang di paksa untuk bekerja mengambil buah kelapa tanpa ada bayaran dan masukan makanan yang bergizi. Tenaga kita di eksploitasi untuk kepentingan manusia”.
“Apakah kalian tidak kasihan melihat saudara-saudara kita di cambuk dan dibentak-bentak saat mengambil buah kelapa. Lehernya di ikat dengan tali, bahkan anak- anak kita sering di tangkap dan di jual. Saya ingin memperjuangkan hak-hak kita dihadapan manusia. Kalau saya nanti berhasil jadi pemenang, akan saya usulkan di DPRD manusia dulu yang memanjat kelapa sedangkan yang pegang tali adalah monyet. Hal ini dilakukan agar manusia itu tahu bagaimana capek dan sakitnya diperlakukan seperti itu”, ujar Raja Monyet .
“Setuju…, setuju !. Kalau alasan yang mulia untuk membela dan memperjuangkan kepentingan monyet, kami sangat mendukung yang mulia. Tapi bagaimana caranya agar yang mulia bisa menang dalam pileg nanti, mana mungkin manusia memilih monyet sebagai anggota DPRD nya. Lagi pula secara fisik, kita beda dengan mereka. Mereka itu kan jalannya gagah, punya pakaian bagus, otaknya encer, apalagi kalau berurusan dengan duit, sedangkan kita tidak. Itukan hal yang mustahil yang mulia,” ujar salah seorang monyet yang usia paling tua.
Sambil berpikir, raja monyet mengelus-elus jenggotnya. “Begini saja, itu hal yang mudah. Saya dengar khabar saat pencoblosan nanti, manusia tidak lagi melihat model, wajah, latar belakang, kwalitas, profesionalitas dan komitmen dari seorang caleg. Mereka juga tidak mau tahu, apakah caleg itu manusia atau binatang. Umumnya manusia itu hanya melihat uangnya. Kalau si caleg mampu bayar Rp. 100-200 ribu persuara, mereka pasti pilih walapun modelnya seperti kita ini. Sedangkan bagi caleg yang tidak mampu tidak akan menang. Jadi apa salahnya mereka kita bayar, kita siapkan uang yang banyak untuk itu,”.
“Kalau memang itu betul, berarti peluang kita untuk menang sangat besar. Manusia itu mudah di atur ya, hanya di bayar Rp. 100 atau 200 ribu sudah aman. Padahal mereka itu mengaku orang-orang yang intelek dan orang yang beragama. Kalau begitu, kita siapkan dana yang banyak, cari donator sebanyak mungkin. Kalau perlu, segala aset kekayaan kerajaan monyet kita berikan kepada pemilih agar ada perwakilan kita duduk nanti di DPRD,” ucap sang Raja sambil menutup pertemuan itu.
Betul saja, tiba hari pemilihan Raja Monyet berhasil menang menjadi anggota DPRD. “Hore…hore…., kita menang, berarti ada perwakilan kita di DPRD. Terimakasi atas dukungan semua warga kerajaan Monyet. Mengeluarkan banyak dana bagi kita tidak ada masalah, yang penting duduk. Dana yang telah keluar itukan bisa nanti kita cari di DPRD, banyak obyekan di situ. Mulai dari memuluskan LPKJ, proyek, setoran para kepala SKPD, studi banding, reses, calo bagi yang berminat jadi PNS, setoran perusahaan dan uang hantu blau yang lain. Jadi tidak usah pening mencari gantinya,” ujar raja Monyet.
Intinya, manusia itu mudah di atur, mereka tidak melihat latar belakang dan asal usul calon dan komitmennya. Begitu juga dengan fisik, mereka tidak melihat berbulu atau tidak, pakai baju atau “telanjang”. Pokoknya siapa yang memberikan uang, walaupun ia hanya se ekor monyet tetap mereka pilih. Saya tidak tahu bagaimana jalan pikiran manusia kok bisa begitu. Mungkin mereka sudah terlanjur sakit hati dengan anggota DPRD terdahulu, suka menabur janji tapi tidak pernah di tepati. Atau karena faktor ekonomi, tapi herannya informasi yang kita dengar dari pemerintah sekarang angka kemisikinan setiap tahunnya bisa ditekan,” ujar Monyet.
Tulisan ini bukan bermaksud merendahkan siapa-siapa, ini hanya sekedar gambaran yang mungkin bisa saja terjadi saat Pileg nanti, tapi semoga saja tidak. Kita berharap, manusia masih punya hati nurani dalam pileg nanti. Jangan jadikan materi segala-galanya, sebab kalau hal ini terjadi bisa-bisa mereka yang terpilih nanti menjadi anggota DPRD tidak mempunyai kwalitas dan kepedulian dengan rakyat.
Selain itu, kita juga berharap agar masyarakat utamanya para caleg-caleg kita jangan meniru watak dan tingkah laku monyet. Misalnya, Monyet berwatak semau gue, tidak mau di atur dan berlagak pilon. Seekor monyet jika sudah mendapatkan makanan di tangannya, ia tidak peduli lagi pada monyet-monyet lain di sekitarnya. Ini adalah gambaran bagi orang atau pejabat yang tidak memperdulikan suara rakyat yang dulu mendukungnya untuk mencapai kursi kekuasaan. Ibarat pepatah, “lupa kacang pada kulitnya”, yang bisa diartikan : “karena sudah dapat kekuasaan, lupa pejabat akan rakyatnya”.
Watak lain monyet adalah tidak bisa diam. Seekor monyet tangan dan kakinya akan senantiasa bergerak walau sekedar menggaruk-garuk kepala. Ini adalah gambaran bagi orang atau pejabat yang suka usil, ia tidak lebih dari biang kerok yang pandai memancing keributan dan menambah permasalahan baru, bicara ceplas-ceplos tak tentu arah. Pendapatnya mencla-mencle tidak bisa dijadikan pegangan.
Monyet juga pandai dan ahlinya berakting. Jika monyet berakting di sirkus semua anak kecil senang, artinya monyet hanya pantas dijadikan penghibur bagi anak-anak kecil. Ini adalah gambaran bagi orang atau pejabat yang tidak memiliki gambaran riil. Ia naik ke kursi kekuasaan bukan karena kemampuannya, tapi karena popularitas dan pendukung butanya.
Monyet juga sangat rakus. Seekor monyet, ketika ada kesempatan mengambil makanan, segera ia penuhi tangan kanan dan kirinya, bahkan kedua kakinya. Ini gambaran bagi orang atau pejabat yang menggunakan aji mumpung. Tak ada lagi rasa malu dan risih mengeduk harta rakyat untuk dibagikan kepada keluarga dan kroni-kroninya.
Monyet juga mampu memperdayai siapa pun. Ia mahir memperhitungkan dan mengelak dari bencana dan mudah memasang perangkap hingga musuh tak berdaya. Ia pemberani, tanpa perhitungan, lepas bebas tidak terkendali, dan penuh vitalitas. Ia mampu membuat seseorang suka padanya, walaupun orang tersebut pernah dijahilinya. Ia selalu menempatkan dirinya di posisi yang menguntungkan. Kalau kebetulah harus kalah, ia tahu betul bagaimana caranya menyerah tanpa kehilangna muka. Dia mengerti, pada saat tertentu lebih baik mundur satu langkah untuk maju seribu langkah.
Berbagai pendapat memang praktik politik uang diprediksi bakal marak di Pemilu Legislatif 2014. Indikasinya terlihat dari minimnya aktivitas kampanye para calon Legislatif di daerah pemilihan (dapil). Padahal waktu berkampanye dan menyosialisasikan caleg kurang dari tiga bulan sudah berlalu. Para caleg sepertinya terbilang kesulitan dalam mencari dukungan suara.
Kondisi ini tentunya akan mendorong para caleg untuk menggencarkan aksi politik uang dengan istilah ‘beli putus’ atas suara di dapil masing-masing. Tidak menutup kemungkinan cara seperti itu yang digunakan para caleg. Karena kalau diikuti, kampanye secara keseluruhan akan membutuhkan dana besar.
Tentu saja ini fakta yang menyedihkan. Demokrasi kita dijadikan seperti demokrasi dagang sapi. Uang berseliweran dengan cara sembunyi-sembunyi. Begitu tersembunyinya, terkadang susah menyigi apakah uangnya asli atau palsu. Walaupun serangan fajar sepertinya sudah terdeteksi pengawas Pemilu, namun modus money politik terus berkembang dengan menggunakan sarana telekomunikasi telepon genggam untuk merekam atau mengabadikan gambar calon yang di coblos saat masyarakat di bilik suara. Hal tersebut sebagai bukti kepada orang-orang yang akan menyebar uang dalam Pemilu.
Namun kita berharap, money politik dalam pileg ini sebenarnya tidak terjadi. Masyarakat tidak lagi melihat uang si caleg, tapi lebih melihat kepada kwalitas, profesionalitas, komitmen untuk memperjuangkan aspirasi rakyat nanti di DPRD. Lagi pula, money politik adalah melanggar peraturan pemilihan umum dan agama.
Majelis Ulama Indonesia telah menetapkan fatwa haram atas politik uang (money politic) dan politik transaksional berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW. Ketua Umum MUI, Din Syamsuddin mengatakan bahwa yang namanya politik uang, serangan fajar, serangan Dhuha, serangan tengah malam, serta politik transaksional “Wani Piro” yang terjadi selama ini jelas melanggar ketentuan agama. Semoga saja kita terhindar dari perbuatan itu.***