Artikel

Kita Belum Merdeka

Pak tua meratap ilustrasi
Pak tua meratap ilustrasi

Sudah 71 tahun Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, sesungguhnya bangsa ini belum benar-benar merdeka. Indonesia sejatinya masih terjajah. Lihat, misalnya, tingkat kesejahteraan rakyat yang masih jauh dari apa yang dicita-citakan dalam konstitusi. Pendapatan perkapita Indonesia pada tahun 2015 hanya menempati urutan ke-115 dari 185 negara yang ada di dunia, dengan jumlah US$ 3,362 pertahun. Angka itu cuma sepertiga dari Malaysia dan sepersepuluh dari Amerika Serikat.

Padahal Indonesia adalah negara dengan kekayaan alam luar biasa; di darat maupun di lautan, di permukaan maupun di perut bumi. Sayang, kekayaan yang berlimpah itu tidak untuk kesejahteraan rakyat, tetapi lebih banyak dinikmati oleh pihak asing. Kondisi ini tidak jauh beda dengan zaman penjajahan dulu; mirip zaman VOC dulu. PT Freeport, misalnya, yang telah mengeruk kekayaan emas di Bumi Papua sejak zaman Orde Lama terus diberi perpanjangan ijin eksploitasi tambang. Padahal PT Freeport telah beberapa mangkir untuk memberikan keuntungan lebih bagi negeri ini.

Negeri ini pun masih sangat bergantung pada pihak asing dalam berbagai aspeknya. Tak hanya perusahaan-perusahaan asing yang mencengkeram negeri ini. Bahkan para pengambil kebijakannya pun adalah titipan asing atau yang benar-benar dapat menjamin kepentingan asing di negeri ini. Contoh mutakhir adalah Arcandra Tahar, warga negara AS, yang diangkat menjadi Menteri ESDM oleh Presiden Jokowi. Memang, setelah banyak dipersoalkan oleh sejumlah kalangan, Senin malam (15/8) Arcandra dicopot oleh Presiden Jokowi. Namun, pengangkatan dia menjadi menteri jelas mengisyaratkan adanya kepentingan asing untuk mengamankan aset-aset strategisnya di negeri ini.

Penguasaan asing atas tanah dan air serta kekayaan negeri ini, juga pengaruh asing dalam kebijakan negeri ini, hanyalah potret dari “kemunafikan (hipokritisme)” para pemimpin negeri ini di tengah rasa cinta tanah air dan seruan bela negara yang didengung-dengungkan di musim agustusan ini.

Masih Terjajah

Penjajahan (imperialisme) adalah politik untuk menguasai wilayah lain demi kepentingan pihak yang menguasainya. Penjajahan gaya lama dilakukan dengan menggunakan kekuatan militer, mengambil-alih dan menduduki satu wilayah serta membentuk pemerintahan kolonial di negara/wilayah jajahan. Namun, cara ini secara umum sudah ditinggalkan karena membangkitkan perlawanan dari penduduk wilayah yang dijajah, yang merasakan langsung penjajahan secara nyata. Karena itu penjajahan kemudian berubah dengan gaya baru yang tak mudah dirasakan oleh pihak terjajah. Penjajahan dilakukan melalui kontrol dan menanamkan pengarauh atas ekonomi, politik, pemikiran, budaya, hukum dan hankam atas wilayah yang dijajah. Namun, tujuannya tetap sama, yaitu mengeksploitasi kekayaan wilayah itu dan mengalirkannya ke negara penjajah.

Penjajahan inilah yang disebut oleh Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, dalam kitab Mafâhim Siyâsiyah, sebagai metode baku negara-negara pengemban utama ideologi kapitalisme untuk menyebarkan pahamnya dan mempertahankan pengaruhnya ke seluruh penjuru dunia.

Dengan menilik bentuk penjajahan gaya baru ini, dikaitkan dengan fakta yang terjadi di negeri ini, jelas sekali bahwa negeri ini belum bebas dari penjajahan. Jelas sekali, negeri ini masih dicengkeram oleh penjajahan gaya baru.

Kemerdekaan Hakiki

Kemerdekaan hakiki adalah saat manusia bebas dari segala bentuk penjajahan, eksploitasi dan penghambaan kepada sesama manusia. Mewujudkan kemerdekaan hakiki itu merupakan misi dari Islam. Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk menghilangkan segala bentuk penjajahan, eksploitasi, penindasan, kezaliman dan penghambaan terhadap manusia oleh manusia lainnya secara umum.

Yunus bin Bukair ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada penduduk Najran, yang di antara isinya berbunyi:

«… أَمّا بَعْدُ فَإِنّي أَدْعُوكُمْ إلَى عِبَادَةِ اللّهِ مِنْ عِبَادَةِ الْعِبَادِ وَأَدْعُوكُمْ إلَى وِلاَيَةِ اللّهِ مِنْ وِلاَيَةِ الْعِبَادِ …»

…Amma ba’du. Aku menyeru kalian ke penghambaan kepada Allah dari penghambaan kepada hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian ke kekuasaan (wilâyah) Allah dari kekuasaan hamba (manusia) … (Ibn Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553, Maktabah al-Ma’arif, Beirut).

Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum dengan Rab’i bin ‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra.) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’i bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’i bin menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju kelapangannya; dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam…” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk, II/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut). 

Penghambaan kepada sesama manusia tidak hanya diartikan secara harfiah sebagai perbudakan seperti seperti dulu. Penghambaan kepada sesama manusia pada masa modern ini terwujud dalam bentuk aturan hukum dan perundang-undangan buatan manusia yang menggantikan aturan Allah SWT. Inilah yang menjadi doktrin demokrasi; kedaulatan ada di tangan rakyat (manusia). Lebih parah lagi jika aturan, hukum dan perundang-undangan tersebut diimpor dari pihak asing/penjajah. Artinya, aturan hukum dan perundang-undangan pihak asinglah yang diberlakukan. Inilah penjajahan modern sebagaimana masih berlangsung di negeri ini.

Islam, dengan inti ajarannya yaitu tauhid, akan membebaskan manusia dari penghambaan ala demokrasi ini. Pasalnya, dalam Islam penyerahan kekuasaan membuat hukum (menentukan halal-haram) kepada manusia—sesuai doktrin demokrasi—adalah satu bentuk syirik. Syirik seperti itulah yang telah mengakar pada Bani Israel.

﴿اِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللَّهِ …﴾

Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah… (TQS at-Taubah [9]: 31).

Makna ayat tersebut dijelaskan dalam riwayat dari jalur Adi bin Hatim ra. Ia menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah membaca ayat tersebut lalu bersabda:

« أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ »

Mereka memang tidak menyembah para rahib dan pendeta mereka. Namun, jika para rahib dan pendeta mereka menghalalkan untuk mereka sesuatu maka mereka pun menghalalkannya, dan jika para rahib dan pendeta mereka mengharamkan atas mereka sesuatu maka mereka pun mengharamkannya. (HR at-Tirmidzi).

Di sinilah Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia (rahmatan lil alamin). Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam. Hal itu diwujudkan oleh Islam dengan membawa ajaran tauhid yang meniscayakan bahwa pengaturan kehidupan manusia haruslah dengan hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Adil dan Maha Sempurna.

Semua itu akan menjadi nyata di tengah kehidupan dan bisa dirasakan oleh masyarakat ketika ajaran tauhid, hukum dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam itu diambil dan diterapkan untuk mengatur semua urusan kehidupan. Tanpa itu maka kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan keadilan Islam itu tidak akan terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsunya terus diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Allah SWT telah memperingatkan hal itu:

﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ﴾

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkannya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Wahai Kaum Muslim:

Kemerdekaan hakiki itu sesungguhnya ada dalam penerapan sistem hukum Islam secara total. Karena itu perjuangan sungguh-sungguh untuk menerapkan aturan dan hukum Allah SWT, yakni syariah Islam, untuk mengatur segala urusan kehidupan di masyarakat harus terus dilakukan hingga Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian bisa ditegakkan. Hanya dengan itu kemerdekaan hakiki bisa benar-benar nyata, kelapangan dunia bisa dirasakan oleh seluruh rakyat dan keadilan bisa dinikmati oleh siapa saja. Hal itu pasti terwujud karena sudah merupakan janji Allah SWT dan kabar gembira dari Rasulullah saw. WalLâh a’lam bi ash-shawâb.

Dicopy dari : Al-Islam, Hizbut Tahrir Indonesia

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.