Artikel

Konflik Antar Petani Akibat Irigasi Batang Gadis Kurang Urus (1)

Arus air di saluran Bondar Sialang hanya sampai di titik ini. Hamparan sawah di bagian hilirnya tak lagi memperoleh pasokan air. Diabadikan Sabtu (17/7/2021). Foto: Dahlan Batubara

Catatan : Dahlan Batubara
Jurnalis/Petani di Gunung Tua Jae

Selain jurnalis, saya juga aktif bertani. Mengelola sawah seluas sekitar 1/3 hektar. Pun mengelola ladang bayam dan sawi seluas sekitar 2 rante.

Posisi saya menulis artikel ini bukan saja dari sisi jurnalis, juga dari sisi petani.

Sawah yang saya kelola terletak di hamparan persawahan Sialang, kawasan barat Desa Gunung Tua Jae, Panyabungan, Mandailing Natal.

Irigasi untuk mengairi hamparan persawahan Sialang ini namanya Bondar Sialang. Statusnya irigasi tradisional.

“Bondar” adalah bahasa Mandailing. Suatu saluran air yang berhulu pada saluran air yang lebih besar, juga ada yang berhulu pada sungai.

Selanjutnya kata “Bondar” tidak saya pakai tanda kutip lagi.

Sekitar 80 % pasokan air untuk Bondar Sialang ini bergantung pada saluran sekunder Irigasi Batang Gadis yang melintasi Desa Gunung Tua Jae. Sisanya sekitar 20% bersumber dari air pembuangan sawah-sawah yang berada di hamparan persawahan Sinanggung.

Itu artinya, jika saluran sekunder Irigasi Batang Gadis ini “sakit” maka 80% air di badan Bondar Sialang ini hilang. Dan apabila dalam yang bersamaan persawahan Sinanggung berada pada musim tutup air alias usia padi menguning, maka air di Bondar Sialang tidak akan ada sama sekali.

Dampaknya jelas, dan saya selaku pelaku bertani di kawasan itu, menyaksikan derita teman-teman petani, tentunya derita saya juga.

Saya tidak tahu persis berapa total luas hamparan persawahan Sialang. Taksirannya mungkin kurang lebih 100 hektar.

Dalam rentang 6 tahun terakhir, volume pasokan air dari Irigasi Batang Gadis tidak menentu. Kadang volumenya normal atau mampu memenuhi 80% pasokan untuk Bondar Sialang.

Tetapi terkadang volumenya sangat kecil. Sewaktu-waktu hanya mampu memenuhi 40% pasokan. Jika volume irigasi Batang Gadis “sakit” maka pasokan hanya sekitar 10%. Bahkan nihil sama sekali.

Dalam 6 tahun terakhir pasokannya hanya dikisaran antara 20 hingga 10%.

Jika ditambahkan dengan pasokan dari persawahan Sinanggung, maka volume arus air di Bondar Sialang dalam 6 tahun terakhir hanya sekitar 30 hingga 40%.

Karena pasokan air hanya 30 hingga 40%, maka semakin ke hilir air kian kurang. Kian ke hilir lagi habis.

Maka sawah yang berada di bagian hulu lah yang selalu memperoleh air.

Di bagian tengah kondisinya megap-megap.

Di bagian hilir nasibnya “hidup segan mati tak mau”.

Ufs..sudah ada yang mati..! Sawah-sawah di hilir sudah banyak yang berubah jadi ladang, jadi kebun karet, jadi kebun manggis.

Sementara hamparan yang berada di tengah yang dalam kondisi “hidup segan mati tak mau” itu mengalami nasib “berair tak berair” alias kadang dapat air-kadang tak dapat air.

Berair tak berair ini tergantung mau tidaknya si petani melakukan “perang gerilya”.

Perangnya malam hari.

Senjatanya parang.

Saya ikut termasuk di kancah gerilya itu. Karena sawah yang saya kelola berada di batas tengah dan hilir.

Tehnik perangnya: menutup pintu air sawah yang di hulu plus membongkari empang-empangnya. Agar volume air membesar ke arah hilir.

Gerilya dilakukan sendiri-sendiri, sembunyi-sembunyi. Jangan sampai ketahuan yang lain.

Jam gerilya berbeda antara petani yang satu dengan petani yang lain. Ada yang beraksi pukul 8 malam, ada yang pukul 10 malam, ada yang pukul 12 malam.

Jika Anda sedang bergerilya dan melihat sorot senter di kejauhan, maka Anda harus mematikan senter Anda. Agar tak ketahuan. Bisa-bisa pemilik senter itu adalah empunya sawah yang empang sawahnya Anda bongkar. Dan dia juga pasti bergerilya.

Saya beraksi pada pukul 2 malam. Sebab, jika saya beraksi pada pukul 10 malam, maka pintu air ke sawah saya akan ditutup kembali oleh petani di hilir saya yang beraksi pukul 12 malam.

Karena saya beraksi pukul 2 malam, biasanya air akan selamat masuk ke sawah saya sampai pagi. Karena tak ada lagi petani lain yang bergerilya di atas jam 2.

Dan, biasanya, air hanya berhenti ke sawah saya pada pukul 7 pagi. Karena di jam itu akan ada petani lain yang beraksi menutup pintu air sawah saya. Biarkan saja, toh sawah saya sudah terairi selama sekitar 5 jam.

Saya melakukan gerilya sebanyak 2 kali dalam sepekan. Tidak tiap malam agar kesehatan tubuh tetap terjaga.

Total durasi air masuk ke sawah saya hanya sekitar 10 jam dalam sepekan. Biarkan saja, daripada tak pernah dapat air. Biarkan saja jika produksi padi rendah gara-gara air.

Jiika petugas irigasi menuduh saya berdusta, maka lihatlah foto yang saya sertakan di ujung artikel ini.

Foto pohon karet itu sudah masa produksi, itu artinya sudah lebih dari 7 tahun. Dan 7 tahun yang lalu derita mereka sudah terjadi. Derita petani akibat susahnya memperoleh air.

Apakah kelangkaan air ini akibat Irigasi Batang Gadis sedang “sakit” akibat kurang urus? Mari kita kupas di bagian 3 artikel ini. Pada bagian 2 saya tulis tentang konflik petani antar desa dalam rebutan air. (bersambung)

Hamparan di bagian hilir persawahan Sialang yang kini telah berubah jadi kebun karet. Diabadikan Sabtu (17/7/2021). Foto: Dahlan Batubara

 

Bekas sadapan pada batang karet menunjukkan umur pohon karet ini sudah di atas 7 tahun. Lokasinya hamparan di bagian hilir persawahan Sialang. Diabadikan Sabtu (17/7/2021). Foto: Dahlan Batubara

 

Volume air yang memprihatinkan menyebabkan banyak sawah yang bernasib “hidup segan mati tak mau” di hamparan bagian hilir persawahan Sialang. Diabadikan Sabtu (17/7/2021). Foto: Dahlan Batubara

 

Hamparan di bagian hilir persawahan Sialang yang telah bertahun tak dikelola pemiliknya akibat ketiadaan air. Diabadikan Sabtu (17/7/2021). Foto: Dahlan Batubara

 

Hamparan di bagian tengah persawahan Sialang yang kini telah berubah jadi kebun ubi kayu. Diabadikan Sabtu (17/7/2021). Foto: Dahlan Batubara

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.