Artikel

Layakkah Pernyataan “Tuhan Bukan Orang Arab” Diucapkan?

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Diam itu adalah emas! Mungkin inilah nasehat yang cocok disampaikan kepada Bapak KSAD Dudung Abdurrahman. Sebab tidak punya kepabilitas menyampaikan sesuatu namun memaksakan diri untuk menjelaskan demi pembelaan dan pembenaran. Apalagi jika pernyataan tersebut dimaksudkan untuk bercanda. Layakkah ajaran agama sendiri dibawa untuk bersenda gurau? Terlebih urusan mendasar yaitu Tuhan!

Belum lama dilansir oleh republika online.co.id, hari ini, berita yang menyebutka bahwa KSAD Dudung Abdurrahman berbagi pandangan tentang ajaran Islam. Dikutip dari pernyataan Dudung saat menjadi bintang tamu ‘Deddy Corbuzier Podcas‘ pada detik 01.02.39, Rabu (1/12).

Dalam acara tersebut, rupublika co.id menuliskan tentang pernyataan-pernyataan KSAD Dudung terkait pandangannya terhadap ajaran Islam. Ada beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dari ucapan-ucapannya. Seperti sedekah yang menurutnya harus dilaksanakan oleh mereka yang mampu atau kaya. Kemudian tentang doa. Dalam artikel berita yang dimuat oleh rupublika.co.id, Dudung mengatakan bahwa dirinya berdoa dalam shalat cukup simple dengan bahasa Indonesia saja karena Tuhan bukan orang Arab.

Pandangan KSAD Dudung Abdurrahman tersebut tidak boleh dibiarkan dan harus diluruskan. Sebab, ucapan tersebut mengandung ambigu dan bisa membuat gaduh. Sebagai manusia yang mengaku beriman kepada Allah swt, tentu ia akan mudah menerima nasehat dan senang dinasehati jika salah dalam berucap dan bertindak. Karena nasehat adalah bukti cinta dan penjagaan dalam ajaran Islam. Adapun poin-poin yang perlu dikritisi sebagai berikut.

Pertama, terkait perkara sedekah. Kalau menurut KSAD Dudung, bersedekah haruslah orang yang kaya dan mampu. Tidak salah. Tetapi pemaknaan kaya dan mampu juga harus tepat. Jika yang dimaksud adalah kaya/mampu secara materi, ia keliru. Karena sedekah yang harus dipahami pertama adalah sunnah yang dianjurkan. Tidak ada prasyarat harus mampu/kaya secara materi dulu baru bersedekah. Seberapa pun yang disanggupi oleh seseorang, Islam tidak memandang nilainya namun amalnya. Toh, bicara standar kaya/mampu juga harus ada ukurannya.

Apalagi di zaman kapitalis sekarang, standar kaya/mampu juga tidak jelas. Jadi, tidak perlu menunggu standar kapitalisme untuk kaya/mampu. Jika ada niat dan barangnya halal dari zat dan cara memperolehnya untuk disedekahkan, maka segera laksanakan. Bukankah sedekah pahalanya akan terus mengalir bagi pemberinya? Jika hanya untuk orang kaya saja dianjurkan, berarti orang tidak kaya tidak punya peluang untuk meraih pahala sedekah? Tuhan tidak pilih kasih dalam memberi.

Kedua, pernyataan yang sangat ambigu dan kontroversi KSAD Dudung soal Tuhan bukan orang Arab. Ia menyebut kata “Tuhan”,  selanjutnya menyematkan “Orang Arab”. Adakah Tuhan yang Maha Pencipta layak disematkan atau dibandingkan dengan orang Arab sebagai makhlukNya? Tuhan itu Allah swt, Al-Khaliqu ala kulli syaii fissamawati wama fil ardh. Dia juga Al-Mudabbir, Al-Malik, Al-Awwalu wal Akhiru. Sementara manusia tidak memiliki segala yang dimiliki oleh-Nya. Lalu, kenapa berani menyandingkan Tuhan dengan kata kalimat “bukan orang Arab”?  Astaghfirullah!

Seharusnya, jika sudah tidak punya bahan untuk dibincangkan, alangkah bagusnya pakai nasehat diam itu adalah emas untuk keselematan diri sendiri. Akhiri saja perbincangan. Khawatirnya, kejadian yang dilakukan oleh KSAD Dudung dengan pernyataannya tersebut bisa saja dianggap sebagai pelecehan terhadap Allah swt.

Perbuatan semacam itu tentu bukanlah perbuatan yang karimah dan ahsan. Melainkan perilaku yang tercela dan dilarang. Bahkan bisa membuat pelakunya masuk dalam ketegori munafik jika berniat memperolok-olok Sang Pencipta. Tidakkah ada rasa takut dalam diri dan jiwa yang diciptakan lemah dan serba terbatas itu ketika kelak berhadapan dengan Sang Pemiiliknya?

Ketiga, persoalan berdoa dengan bahasa Arab atau tidak, itu persoalan keutamaan. Bahasa Arab diutamakan dan tidak ada pertentangan di kalangan ulama terkait keutamaan tersebut. Bahkan bacaan shalat itu isinya semua doa. kalau doa dimaknai sebatas lepas shalat, betul, tidak ada yang melarang pakai bahasa apapun. Pokoknya yang berdoa ngerti isi doanya.

Jadi, tidak ada hubungan berdoa memakai bahasa Arab dengan orang Arab. Jadi logikanya sangat dangkal jika menyamakan orang Arab dengan bahasa Arab dalam berdoa terlebih menyematkan kepada Tuhan.

Kenapa orang Arab mesti dibawa-bawa? Kalau bahasa Arab sudah jelas posisinya dalam ajaran Islam. Bahasa yang diwajibkan secara individu (fardh ain) untuk dipelajari dan diketahui oleh umat Islam. Sebab Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup di dunia diturunkan oleh Allah swt dengan memakai bahasa Arab.

Itulah keutamaan bahasa Arab sebagai bahasa pilihan langusng oleh Allah swt. kalau orang Arab? Ya, Allah swt juga memilih Nabi terakhir, yaitu Rasulullah Muhammad saw dari kalangan bangsa Arab. Tetapi apakah semua orang Arab lalu harus dianggap Nabi atau keturunan yang paling mulia tanpa dosa? Tentu konteksnya berbeda.

Atau apakah kalimat “Tuhan bukan orang Arab” itu adalah pernyataan untuk menguatkan sentimen terhadap bangsa tertentu yaitu “Arab”? Bukankah sentien terhadap suatu bangsa/suku adalah rasisme? Apakah rasisme dibenarkan di negeri yang konon demokratis?

Teruntuk sentilan orang Arab sendiri, pertanyaan yang muncul adalah, adakah orang Arab pernah menggores luka menganga di negeri ini? Seperti menjajah, merampok, korupsi, mengintervensi? Bukankah semua itu dilakukan oleh orang Barat? Kenapa tidak sentimen kepada Barat? Malah ke Arab? Aneh bukan?

Logika dan pemikiran yang salah serta bebas menyematkan sesuatu yang tidak sepadan lahir dari sistem kehidupan yang sekuler dan liberal. Andaipun tidak bermaksud melecehkan Tuhan, namun kalimat itu sungguh tidak layak terucap dari lisan seoarang Muslim. Kehati-hatian dalam berbicara adalah cerminan seorang muslim. Rasulullah saw sudah mengingatkan bahwa lisan dan kemaluan adalah dua perkara yang banyak membuat manusia kelak tergelincir ke dalam api neraka.

Bahkan ucapan-ucapan yang keluar dari lisan adalah cermin pemahaman, yang pastinya juga merupakan cermin keimanan. Jadi, waspadalah dengan lisan! Wallahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.