Artikel

Legenda Si Penguasa Kerangkeng, Akankah Kebenaran Terungkap?

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Sadis! Horor! Tidak Manusiawi! Itulah sederatan kata-kata yang pastinya muncul di benak setiap orang yang telah mengetahui kasus seorang bupati salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Kisah tragis yang dikabarkan menimpa anak manusia dalam satu ruangan illegal bersama rantai kerangkeng yang sampai pemberitaan terkini belum ada kepastian pernyataan tentang penggunaan kerangkeng di ruangan yang lebih layak disebut sebagai tempat isolasi atau tahanan.

Seperti yang dilansir dari CNN Indonesia, Selasa (25/01/2022), bahwa bupati Kabupaten Langkat tersebut telah memakai rompi tahanan KPK. Namun, bagaimana dengan kasus isolasi manusia yang ia lakukan?

Beberapa media yang memberitakan bahwa kerangkeng digunakan tidak lebih untuk 27 orang dalam ruangan yang mirip ruangan tahanan  atau isolasi. Mereka yang menjadi penghuni ruangan tahanan tersebut dikabarkan adalah para pekerja sawit untuk bupati Langkat. Pertanyannya, kenapa harus dikrangkeng segala?

Hasil laporan sementara menurut penuturan pihak bupati Langkat yang diberitahukan kepada kepolisian setempat menyebutkan,  bahwa penghuni ruangan menyeramkan itu adalah pecandu narkotika. Mereka sebenarnya diserahkan oleh keluarganya langsung kepada bupati untuk direhabilitasi.

Sehingga kerangkeng, ruang tahanan, dan kerja di kebun sawit adalah dalam rangka menjalankan rehabilitasi. Sejak kapan seorang bupati merehabilitasi langsung pecandu narkoba? Lalu, apa fungsi kepolisian dan BNN?

Di sisi lain, para pegiat HAM menilai, bahwa peristiwa kerangkeng dan tahanan di rumah pribadi bupati Langkat adalah bentuk perbudakan. Sehingga sangat melanggar garis-garis HAM. Bupati Langkat sedang diselidiki dengan kasus tersebut disamping kini menjadi tersangka korupsi. Lalu, bagaimana menyikapi peristiwa legenda si penguasa kerangkeng manusia itu? Akankah HAM bisa diandalkan dalam mengungkap kebenaran?

Pertama, sepertinya kasus pengurungan manusia dalam tahanan oleh bupati Langkat terlihat tidak begitu diseriuskan oleh pihak yang berwenang. Karena menganggap bahwa kasus utama bupati adalah korupsi. Kalau sudah ditahan dengan delik korupsi, maka butuh waktu yang lama lagi untuk menelusuri kebenaran dibalik kerangkeng tersebut. Apalagi jika sudah masuk penjara, tentu bertemu dengan tersangka amat sulit. Juga menemui orang-orang terdekat sekitarnya sebagai saksi akan segera melarikan diri.

Kedua, andaipun lembaga HAM menelusuri kasus ini, dan terbukti bahwa bupati Langkat melakukan kejahatan terhadap sejumlah orang dalam ruangan tahanannya, apakah lembaga HAM akan menawarkan hukuman seberat-beratnya? Atau malah dengan dalil HAM lagi, Bupati tersebut diberi keringanan hukuman?

Ketiga, perbuatan mengurung lalu mengisolasi dengan kerangkeng sungguh sadis. Hewan saja tidak diizinkan untuk diperlakukan sedemikian buruk apalagi manusia yang Allah Saw ciptakan derajatnya lebih tinggi dan mulia. Sudah selayaknya pelaku menerima hukuman yang tegas dan efek jera sehingga tidak akan memunculkan penguasa-penguasa kerangkeng yang baru di masa depan.

Inilah bagian dari wajah kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme liberal. Melahirkan pemimpin atau penguasa yang mayoritas gagal jadi uswah hasanah. Penguasa daerah dipilih oleh rakyat, namun saat berkuasa, rakyat malah disiksa dan diabaikan hak-haknya.

Keangkuhan pun kian congkak. Katanya bekerja untuk memajukan daerah dan masyarakat setempat. Faktanya jauh dari harapan. Meskipun tidak semua penguasa daerah seperti bupati Langkat, tetapi produk sistem hasilnya mayoritas. Tidak amanah, zalim, rakus, dan egois hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang menguntungkannya saja.

Pelaku tidak lagi mengingat sebelum duduk di kursi kebesarannya, adalah hasil suara rakyat. Memang, tidak bisa dipungkiri juga, rakyat yang memilih juga, terlepas suka rela, suka cita ataupun money politic. Walhasil, borok-borok penguasa juga penguasa daerah terlihat saat memimpin.

Apalah daya masyarakat? Hanya mereka yang menjadi lawan politik dan punya kekuatan yang mampu melaporkannya. Sementara rakyat, gigit jari.

Lihat saja betapa rapinya bupati Langkat menyembunyikan kejahatannya dari publik hingga tidak ada yang berani melaporkannya termasuk orang-orang sekitarnya. Padahal, ruang itu dikabarkan masih bagian dari rumah bupati Langkat. Logiskah jika tidak ada yang tahu? Lalu, kenapa enggan melapor?

Wajah kepemimpinan era sekuler memang sungguh buruk. Hukum yang ada juga tidak mampu memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Jika hukum lemah, maka bagimana kejahatan khususnya yang dilakukan oleh para penguasa bisa diminimanilisir? Wallahu a’lam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.