Artikel

Marak Hubungan Sedarah (Inses),  Bukti Akidah Makin Melemah?

Oleh: Mariani Siregar, M.Pd.I
Dosen Pendidikan Islam

Miris! Ironis! Ngeri!. Kata-kata tersebut sepertinya belum mampu untuk mewakili rasa dan pikiran seseorang yang beriman ketika mendegar peristiwa hubungan sedarah (inses). Karena dalam pemahaman orang-orang beriman, khususnya seorang Muslim, perilku demikian adalah tabu dan terlarang.

Sehingga, tidak akan pernah terpikir dalam benak manusia yang sudah ditunjuki oleh keimanan untuk melakukan perbuatan tersebut. Jangankan hubungan sedarah, yang tidak sedarah pun jika menyimpang dari syariat, termasuk dalam dosa besar dan hukumannya tidak tanggung-tanggung. Paling menyakitkan, dosa-dosa besar akan dibawa hingga hari akhir (hisab) jika tidak diselesaikan di dunia.

Namun, kasus-kasus hubungan sedarah (inses) dan seksual terlarang lainnya, kini semakin marak. Akhir-akhir ini, pemberitaan terkait hubungan sedarah tidak luput dari media massa. Seperti kasus ditemukannya mayat seorang bayi dalam kantong plastik, yang ternyata adalah hasil hubungan sedarah antara dua bersaudara di Kota Medan.

Selain itu, muncul akun jadi-jadian yang bernama “fantasi sedarah”. Berbagai aktifitas seksual sedarah dibagikan dan diposting dalam akun group facebook tersebut. Dan lebih mengejutkan lagi, group yang dimaksud memiliki ribuan anggota (followers). (https://www.tempo.co/video/arsip/tempo-eksplainer-viral-fantasi-sedarah-ini-bahaya-hubungan-inses-1533782).

Akidah Melemah, Hubungan Sedarah (Inses) Marak

Fenomena hubungan sedarah secara hukum yang berlaku di negeri ini, juga termasuk pelanggaran atau kejahatan. Apalagi jika kasusnya kategori ‘kekerasan seksual’, maka bisa diperkarakan kriminal. Tetapi sayangnya, jika kasus serupa tidak berkesan kekerasan dan tidak  ada laporan, maka tidak termasuk tindakan pidana dan sanksinya juga sulit diterapkan. Sebab tidak termaktub dalam pasal-pasal yang telah ditetapkan.

Hanya jika ada pelaporan dari pihak yang merasa dirugikan, barulah dinaikkan berkas perkara. Padahal, kasus kejahatan termasuk hubungan sedarah (inses), sepertinya lebih banyak tersembunyi dibandingkan sampai ke meja pelaporan aparat yang berwenang. Alasannya terutama adalah ketakutan dan ancaman.

Pada kasus akun Fantasi Sedarah, kecepatan penegak hukum mengamankan pemilik akun memang sudah tepat. Setidaknya, ada upaya yang dilakukan untuk meredam amarah masyarakat, karena sudah sangat meresahkan.

Perbuatan hubungan sedarah (inses) setidaknya bisa terjadi dalam tiga kategori (jenis) seksual, yaitu antara orang tua-anak (parental), saudara kandung (siblings), serta sesama keluarga dekat (family). Intinya, mereka yang masih punya hubungan darah dalam satu keturunan tertentu.

Data Komnas Perempuan dalam CATAHU (catatan akhir tahun) 2022 menunjukkan bahwa dari 2.363 kasus kekerasan terhadap perempuan, inses menduduki posisi ketiga dengan 433 kasus atau setara 18 persen dari total kasus kekerasan seksual dalam ranah personal. (Jakarta.nu.or.id). Naudzubillah min zaalik. Sangat mengerikan, bukan?

Keberanian untuk melakukan kejahatan atau maksiat besar seperti hubungan sedarah (inses) adalah bukti semakin melemahnya keimanan dan ketakwaan seluruh lapisan masyarakat di negeri ini. Kecolongan demi kecolongan dari berbagai kejahatan adalah konsekuensi dari kondisi lemahnya keimanan.

Lemahnya iman secara menyeluruh dari semua lapisan masyarakat, bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, faktor individu (perorangan) yang sudah tidak peduli dengan iman dan takwa. Manusia di abad internet lebih mengedepankan nafsu daripada petunjuk (wahyu). Bahkan para pemilik akun facebook Fantasi Sedarah mengaku saat diamankan aparat, bahwa mereka melakukannya atas dasar ingin memperoleh kepuasan nafsu.

Agama telah ibarat dongeng bagi kebanyakan manusia yang kini mendewakan kebebasan dan hak asasi. Segala perbuatan tidak lagi berstandar pada hukum halal-haram. Semua boleh dihantam atas nama HAM. Banyaknya kejahatan dan maksiat yang beredar adalah bukti menipisnya keimanan dan takwa masing-masing individu. Tentu saja penyebabnya bisa internal maupun eksternal seperti lingkungan.

Kedua, faktor masyarakat yang juga sudah dalam pemahaman kehidupan acuh tak acuh alias tidak peduli. Warga berbuat apapun di sekitar tidak lagi menjadi perhatian publik karena selain takut akan mendapatkan risiko buruk, juga digandrungi pemikirian primitif individualis (selfish). Mereka berfikir kalau bukan keluarganya yang menjadi pelaku atau korban, tidak perlu diurus. Walaupun tidak semua berpandangan demikian, tetapi mayoritas seperti itulah yang terjadi.

Ketiga, faktor hukum yang lemah dari negara. Ketegasan hukum untuk kasus perbuatan asusila belum mampu ditegakkan. Sebab persoalan seksual masih dipandang hanya sebagai batasan moral bukan kriminal. Walhasil, manusia merajalela melakukannya. Belum lagi peran negara dalam membuka sederas-derasnya arus situs-situs porno yang bebas akses dan dikonsumsi segala jenis usia.

Seorang ayah disuguhkan situs porno, anak bisa jadi korban pelampiasan apalagi jika sudah bermasalah dengan istrinya dalam persoalan nafkah batin. Istri kerja di luar rumah, kelelahan, ditambah harus melayani suami, membuat pelayanan istri tidak sesuai harapan. Mencari kambing hitam terhadap isteri, padahal suamilah terkadang yang menyuruh istrinya bekerja. Interaksi keluarga paman-keponakan, kakak-adik pun bukan dibangun dengan rambu-rambu Islam, yang seharusnya memang diadopsi oleh negara sebagai tatanan hidup bermasyarakat.

Penerapan Syariat Islam Kafah, Cegah dan Akhiri Hubungan Sedarah

Syariat Islam memiliki aturan komprehensif dalam menyelesaikan persoalan hidup manusia. Rasulllah saw bersabda, “Islam itu tinggi, dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya”. Sebab itulah Islam adalah agama yang satu-satunya selain sebagai keyakinan juga merupakan pandangan hidup (way of life). Tidak ada masalah yang berbelit-belit dan terbengkalai apabila syariat Islam diterapkan.

Begitupun dengan kasus inses (hubungan sedarah). Islam sangat menjaga hubungan manusia dengan berbagai peraturan dan ketetapan dari Allah swt. Semata-mata untuk menjaga dan memelihara kehormatan, kehidupan, dan keberlangsungan eksistensi manusia, alam semesta beserta isinya. Bukan mempersulit hidup manusia seperti persepsi masyarakat liberal Barat. Bagi mereka, agama adalah penghalang untuk menikmati kehidupan. Karena tidak bisa bebas dan harus terikat.

Namun bagi masyarakat Muslim, agama adalah rambu-rambu keselamatan dan keamanan. Setiap pelanggaran hukum atau syariat dalam Islam, berujung pada penyesalan dan kerugian seperti dosa.

Apalagi kasus hubungan sedarah. Perilaku demikian adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum Islam datang. Jahiliyah adalah simbol kebodohan dan bukti akal manusia bersifat lemah dan terbatas. Sebab akal hanya akan menjadi cemerlang dan sehat jika diisi dengan wahyu  Allah swt. Islam datang untuk mencerdaskan manusia dan membebaskan dari zaman jahiliyah ke zaman penuh cahaya dan cemerlang.

Masyakat jahiliyah masa pra-Islam menjadikan kaum perempuan sebagai benda warisan dan barang yang bisa digilirkan pada siapapun. Termasuk bisa dijadikan sebagai bahan taruhan. Sehingga perempuan tidak ada nilainya bagi mereka. Mulai dari istri, saudara perempuan, anak, bahkan ibu. Perempuan dianggap sebagai pembawa sial dan keburukan. Begitupun zaman ketika lelaki dianggap sebagai ancaman di masa Fir’aun. Setiap anak lelaki yang lahir harus dibunuh karena akan menjadi ancaman bagi kekuasaannya. Tidak ada kemuliaan hidup bagi manusia di masa-masa zaman jahiliyah.

Tatkala Islam hadir sebagai rahmatan lil’alamin, maka segala perilaku atau tindak tanduk manusia menjadi terarah. Manusia tidak sembarangan (liberal) berbuat, berbicara, bahkan berniat. Semua ada aturannya dalam Islam. Aturan yang Allah swt tetapkan berfungsi untuk mencegah dan menebus dosa bagi pelakunya kelak di akhirat. Tentu saja hanya orang-orang yang beriman kepada Allah swt dan hari akhir yang meyakininya.

Maka untuk kasus hubungan sedarah, Islam memiliki pengaturan yang komprehensif hingga memberikan solusi agar hubungan antar anggota keluarga harmonis dan saling menjaga, bukan saling memangsa.

Pertama, secara individu dalam keluarga, Islam mengatur interaksi yang tegas. Anak-anak dalam rumah harus dididik dengan akidah dan tatanan syariat. Seperti menjaga aurat bagi anak perempuan di hadapan mahramnya, apalagi di hadapan lelaki ajnabi (asing).

Dalam rumah bersama mahram-mahramnya, ia boleh memakai pakaian yang tidak harus sempurna (tanpa jilbab dan kerudung). Tetapi ada batasan aurat yang haram untuk dilihat mahramnya, yaitu antara pusar hingga lututnya (sama seperti laki-laki). Bukan berarti ia bebas berpakaian yang penting antara pusar dan lututnya tidak kelihatan. Masih ada anggota perhiasan (tubuhnya) yang tidak patut diumbar dalam rumah, seperti lengan, dada, dan perut. Artinya, ia harus memakai pakaian yang tidak mengundang persepsi buruk bagi lawan jenis dalam rumahnya.

Pakaian tidak boleh transparan serta menonjolkan lekuk-lekuk tubuh walaupun dalam rumah. Selain itu, bagian farji juga tidak boleh dibiarkan untuk terlihat atau tersingkap. Misalnya mengganti celana atau popok anak-anak, seyogyanya memang adalah tugas seorang ibu demi menjaga kemuliaan anak-anaknya.

Tidak menonton drama dewasa di hadapan anak-anak, atau mebiarkan mereka mengkonsumsinya. Termasuk mengontrol tontotan dalam handphone. Dan diberikan intruksi untuk tidak menerima tamu lelaki asing jika bukan bagian dari anggota keluarga dalam rumah. Seharusnya, orang tua memang betul-betul protek terhadap anak-anak dalam rumah. Hubungan antara anak perempuan dengan mahramnya dalam rumah harus dibangun dengan mafhum dan sikap yang benar sesuai syariat.

Kedua, Islam menetapkan pekerjaan di luar rumah adalah tanggung jawab dan kewajiban kaum lelaki. Terutama mencari nafkah. Pria adalah tulang punggung dalam keluarga. Allah swt memberikan kemampuan secara fisik dan akal bagi kaum pria untuk melakukannya. Sehingga kaum ibu bisa lebih fokus mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, serta menjaga kondisi prima tatkala melayani suaminya.

Tidak seperti zaman kapitalisme sekarang. Para wanita juga dijadikan tulang punggung. Hasilnya, para kaum ibu memiliki tanggung jawab tambahan yaitu mencari nafkah. Sudah lelah dalam rumah, ditambah lagi harus mencari nafkah membantu suami. Ketika fisik lelah, dan pikiran kacau, maka pelayanan terhadap suami oleh isteri pastinya berpengaruh. Inilah sebagian alasan bagi lelaki yang tega memangsa anak perempuannya atau anggota keluarga lain hingga perselingkuhan di luar rumah.

Oleh karena itu, agar kaum perempuan tidak marak pergi keluar rumah mencari nafkah, Islam memberikan tanggung jawab kepada negara untuk menyediakan lapangan kerja seluas-seluanya bagi kaum lelaki, dan gaji yang menjadikan setiap Muslim atau rakyat memiliki kehidupan yang layak (tepenuhi semua kebutuhan hidupnya baik primer, sekunder, dan tersier). Bukan sekedar gaji yang penting bisa makan.

Ketiga, Islam menerapkan sanksi yang tegas dalam tindakan kejahatan atau kriminal (jarimah). Untuk kasus hubungan sedarah, maka hukumannya sudah pasti. Bisa dengan hudud (seperti kasus zina) atau ta’zir (ditetapkan oleh Khalifah sebagai kepala negara).

Apabila kasus hubungan sedarah sama dengan zina, maka ada dua jenis pelakunya, muhson dan ghairo muhson. Muhson (sudah menikah misalnya ayahnya, pamannya, abang sepupu, dan sebagainya ) maka hukumannya dirazam sampai mati. Selanjutnya, jika belum menikah (ghairu muhson) maka dicambuk 100 kali lalu diasingkan.

Ta’zir akan berlaku bila tindakan pelecehan hanya dengan meraba, mencium, atau misalnya menyentuh. Hukumannya tergantung pada keputusan Qadhi (Hakim). Bisa penjara, denda, dan sebagainya. Hukuman-hukuman demikian layak didapatkan oleh para pelaku.

Keluarga yang menjadi sandaran utama anak-anak jika sudah tidak mampu lagi berfungsi sebagai pelindung dan pengayom, lalu ke mana mereka akan pergi? Allah swt memberikan keturunan, untuk melangsungkan kehidupan manusia.

Semoga Allah swt menjauhkan kaum Muslim dari perilaku hubungan sedarah (inses) yang membuat keluarga hancur dan juga laknat Allah. Dan sudah saatnya peran negara lebih proaktif dalam mencegah dan menutup celah-celah kemaksiatan dengan syariat Islam. Karena hanya dengan penerapan aturan Islam secara totalitas, celah-celah dan pintu maksiat akan tertutup serapat-rapatnya. Allahu a’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses