Artikel

MENAGIH KUALITAS GURU BERSERTIFIKASI (1)

 

(Tinjauan Kritis Jelang Hari Pendidikan Nasional)

Oleh : Moechtar Nasution

 

PENDAHULUAN

Pengakuan jujur tentang kualitas guru bersertifikasi yang tidak memiliki perbedaan dengan guru non sertifikasi dapat dibaca dalam berita Malintang Pos edisi 06-12 April 2015 halaman 5 kolom 3 dengan judul “Sertifikasi Guru Tak Meningkatkan Mutu”. Judul yang menyedihkan sekaligus memilukan apalagi testimoni ini disampaikan seorang pendidik. Kesaksian ini tidaklah terlalu mengejutkan karena memang jika  mau jujur dengan keadaaan sebenarnya hal ini nyata terjadi dan sangat faktual namun jarang terpublikasi.

Keberanian mengupas persoalan sertifikasi sekaligus  menguliti penyimpangan dan penyalahgunaan  yang terjadi pantas untuk diapresiasi karena sesungguhnya ini bentuk otokritik terhadap para pemangku kepentingan. Ini masukan berharga bagi dunia pendidikan Mandailing Natal dan perlu dielobarasi sedalam mungkin sehingga dengan bekal yang sederhana ini bisa diinventarisir persoalan mendasar tentang sertifikasi sekaligus juga mengupayakan problem solvingnya.

Guru SD ini menelanjangi komunitasnya sendiri dan bisa jadi ini merupakan bentuk kecintaannya terhadap dunia pendidikan. Dia tidak mengada-ada dan merekayasa. Inilah potret kegelisahan, kegundahan juga kegamangan melihat fenomena yang terjadi didepan mata tanpa bisa berbuat apa-apa karena kuasa dan asa memang tidaklah selalu simetris adanya.

Kesaksian ini tidak pada tempatnya diposisikan sebagai cipratan ludah keatas karena sesungguhnya kegetiran ini ibarat menelan ludah kedalam, sungguh sangat tidak mudah menyampaikan faktanya karena bisa jadi akan dicemooh dan diolok-olok sesama rekan profesi atau teman sejawat lainnya. Namun baginya kebenaran tetaplah kebenaran kendatipun untuk alasan tertentu ia merahasiakan identitasnya. Sungguhpun ini borok namun tetap harus diposisikan sebagai bahan kajian untuk perbaikan.

Dengan lugas ia menyebut beberapa orang yang dengan begitu mudah lolos sertifikasi kendatipun tidak memenuhi kelengkapan persyaratan yang ditentukan. ”Sejauh ini yang saya alami dan saya lihat bahwa tidak ada kualitas pendidikan oleh program sertifikasi ini sebab antara guru yang bersertifikasi dengan yang non sertifikasi tak ada bedanya. Anehnya kepala sekolah dan pengawas terlebih dahulu lolos sertifikasi, padahal jam mengajar kepala sekolah hanya 6 jam perminggu” ungkap guru yang tidak ingin disebutkan namanya itu.

Yang dibeberkan ini bukanlah hal baru namun ditengah gegap sertifikasi sekarang ini kemampuan  mengkoreksi penyimpangan sangat sulit ditemui apalagi  berasal dari guru yang nota bene merupakan pelaku dunia pendidikan. Dia mampu berbicara apa adanya menghentak alam sadar bahwa memang benar ada kekeliruan dan kesalahan. Ketulusannya terasa disaat hampir semua orang diam membisu dan dia menghadirkan kejujuran. Sesuatu yang sangat langka apalagi mengungkap penyimpangan diwilayah yang sakral dan mengagungkan moral. Menguak sesuatu yang tidak lazim untuk dipublikasikan dan menelisik fakta yang lama terpendam seperti pepatah Melayu “mengangkat batang terendam”.  Bisa jadi dia mengalami apa yang disampaikannya. Mungkin bisa jadi juga dia telah melakukan analisa lapangan, atau bisa jadi dia menemukannya setelah  berkontemplasi dengan hal ini seperti kalimat Socrates “Cobalah dulu, baru cerita. Pahamilah dulu baru menjawab. Pikirkan dulu baru berkata. Dengarlah dulu, baru beri penilaian dan bekerjalah dulu baru berharap“.

Siapapun dia bukanlah perkara penting namun pesan yang disampaikannya ini sesungguhnya yang sangat penting. Penting disimak dan penting dikritisi. Isinya sama dengan hasil kajian Bank Dunia yang direlease pada tahun 2013 tepatnya tanggal 14 Maret dengan judul”Spending More or Spending Better : Improving Education Financing in Indonesia” yang menyebutkan para guru bersertifikasi dan yang belum ternyata menunjukkan prestasi  relatif sama.

Profesionalisme guru tercermin dari kemampuan (capacity), ketrampilan (skill), etos kerja dan pengetahuan (knowledge) yang harus terus diasah dan dikembangkan sehingga bisa menghasilkan energi dan kekuatan besar dalam melaksanakan pengabdian bagi pencerdasan kehidupan bangsa sesuai tujuan bernegara dalam aline ke-IV pembukaan UUD 1945. Ini juga merupakan amanat  UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional yang menyebut  pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Begitu berat beban dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional sehingga kemudian tahun 2005 diterbitkanlah regulasi tenaga kependidikan dengan melahirkan Undang-Undang  Nomor 14 tentang Guru dan Dosen sebagai ujung tombak negara dalam pelayanan kependidikan. Dan dikarenakan tanggungjawab yang besar pula, maka negara  memberikan kesempatan kepada para pendidik  untuk memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu supaya mendapatkan tunjangan tambahan yang diberi nama Sertifikasi.

Sertifikasi diambil dari istilah bahasa Inggris, yaitu certification, yang berarti ijazah, diploma, atau keterangan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia sertifikasi dijelaskan sebagai suatu tindakan untuk memperoleh sertifikat atau akta. Jadi pada dasarnya  sertifikasi itu suatu kata merujuk pada suatu benda yang menerangkan tentang  kecakapan seseorang. Guru, dalam istilah Inggrisnya disebut teacher , yang berarti pengajar.

Dengan demikian secara sederhana sertifikasi guru adalah satu tanda berupa ijazah atau piagam yang merupakan bukti bahwa seseorang sudah dianggap guru yang mampu dan cakap untuk melakukan tindakan pengajaran. Sertifikasi merupakan langkah signifikan pemerintah guna mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia menuju arah yang lebih baik lagi.

 

BELAJAR DARI KESALAHAN

Guru menempati posisi strategis dalam pembentukan karakter dan pola pikir anak. Kesehariannya merupakan contoh yang setiap saat dijadikan referensi anak didik. Oleh karena itu, guru suka atau tidak suka harus bisa menjadi tokoh yang tepat. Menjadi guru memang menuntut kesempurnaan mulai dari sikap, tingkah laku, perbuatan bahkan sampai kepada penampilan. Sebagai pendidik, guru harus memiliki nilai pedagogis, kepribadian,  profesionalisme, dan sosial.  Sertifikasi mewajibkan guru untuk memiliki nilai ini ditambah lagi dengan deretan persyaratan baik bersifat umum atau khusus.

Namun namanya peraturan kendatipun pelaksanaannya mendapatkan pengawasan, tokh jika kita mau jujur seperti testimoni guru SD diatas banyak sekali ditemukan  peristiwa yang dikategorikan “kecolongan” atau bahkan mungkin menjurus pada “penghalalan” sehingga kemudian  yang belum layak diusulkan sertifikasi tetap juga bisa lolos dari ketatnya aturan main ini. “Pembiaran” terhadap fenomena ini berlaku secara umum dan bukan menjadi rahasia lagi.

Fenomena ini diyakini terjadi dihampir diseluruh wilayah. Bagaimana tidak? Jangankan dikota besar, didesa terpencil sekalipun ditemukan. Ada yang jam mengajarnya kurang dari 24 jam perminggu namun bisa lolos sertifikasi. Apa sebenarnya yang terjadi sehingga fenomena ini berjalan seperti air yang mengalir tanpa hambatan dan rintangan sama sekali? Kenapa standar yang sudah ditetapkan terkesan “tumpul” ketika berada diranah empiris?

Jika harus diurai secara runut maka dipastikan kesalahan ini bukan hanya monopoli kesalahan para pemangku kepentingan, namun ini lebih cendrung merupakan kesalahan kollektif. Iya, inilah kesalahan yang seharusnya tidak boleh ada tapi faktanya terjadi. Makna efesiensi dan efektifitas disalah artikan sebagai jalan pintas sehingga kemudian yang tidak layak sertifikasi akhirnya mendapatkan “kelayakan” secara tidak bermartabat.

Kita tidak membicarakan kasus demi kasus namun jika “kelayakan” itu harus dibumbui dengan transaksional maka sesungguhnya saat ini kita berada dititik nadir terendah  disebabkan pendidikan yang dianggap sebagai roh bangsa telah terkontaminasi dengan pragmatisme sesaat dan penghalalan segala cara. Pelan namun pasti kondisi ini turut berpartisipasi merongrong dan merobohkan moralitas dunia pendidikan. Benteng pertahanan karakter bangsa tergerus sedikit demi sedikit.

Inilah kekhawatiran Mahatma Gandhi yang mengingatkan tentang salah satu tujuh dosa yang sangat fatal yakni pendidikan tanpa karakter (education without character). Theodore Rooselvet juga mengucap yang sama bahwa mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman bahaya kepada masyarakat (to educate a person ini mind and not in morals is to educate a menace to society).

Harus dipastikan bahwa siapapun pelaku kecurangan tidak akan diloloskan. Karena itu dibutuhkan kejelian, ketelitian dan kecermatan. Ini bukan tanggungjawab profesi semata namun juga menyangkut akuntabilitas terhadap bangsa dan negara lebih-lebih lagi pertanggungjawaban kepada tuhan. Regulasi sertifikasi seharusnya ditegakkan untuk menjamin bahwa guru bersertifikasi adalah guru-guru yang telah lulus seleksi aturan dan ketentuan. Penegakan terhadap aturan (rule of law) diharapkan akan memicu tingkat kesadaran untuk lebih bersikap profesional mulai dari awal  penyusunan dokumen portofolio, pendidikan dan latihan profesi guru, uji kompentensi awal dan uji kompetensi guru dan lainnya. (bersambung)

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.