Artikel

Meninjau Kembali “Eksperimentasi” Pilkada Langsung Di Indonesia

Pilkada melalui perwakilan DPRD menurut saya merupakan pilihan rasional di tengah-tengah situasi yang ”berisik’ akibat dari ’politik sebagai panglima’ yang mengakibatkan terbengkelainya pembangunan ekonomi sekarang ini.

Oleh: Tri Ratnawati

Di era ‘kapitalisasi pilkada’ saat ini, figur-figur berduit atau yang dipasoki dana oleh pihak lain, peluang mereka untuk memenangi pilkada langsung cenderung besar dengan cara money politics.Masyarakat pemilih lapis bawah yang jumlahnya cukup besar namun pendapatan mereka relatif kecil, kelompok ini cukup rentan sekaligus cukup ’permisif’ terhadap praktek-praktek politik uang yang dilakukan oleh para kandidat dan orang-orangnya.

Pilkada langsung yang ’mahal’ ini menurut penulis bukanlah demokrasi ideal yang kita impikan bersama. Pilkada langsung dengan cara politik uang sebenarnya tidak lebih dari sebuah ‘demokrasi teatrikal’, pseudo demokrasi atau facade democracy yang tidak banyak manfaatnya karena tidak berkualitas dan tidak banyak bermanfaat untuk perbaikan bangsa ke depan.

Oleh karena itulah Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU perlu segera melakukan evaluasi dan moratorium pilkada langsung. Bukannya justru memaksakan kehendak untuk ”kejar tayang” pilkada di 226 daerah tahun ini hanya karena untuk membangun citra kepada dunia betapa demokratisnya sistem politik negara kita.

Tulisan ini merupakan refleksi singkat terhadap demokrasi era reformasi dan eksperimentasi pilkada langsung di Indonesia.

Dalam literatur-literatur ilmu politik sudah seringkali dikemukakan oleh para ahli bahwa demokrasi bukanlah merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna. Meskipun demikian demokrasi menurut para pakar ilmu politik adalah sistem pemerintahan yang terbaik dibandingkan sistem-sistem yang lain (monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi, gerontokrasi,dll.).

Artinya, sistem demokrasi tidak tanpa cacat. Implikasinya, pemerintah negara manapun yang menerapkan demokrasi dalam sistem politiknya, harus mampu mengantisipasi dan meminimalkan ekses-ekses negatif dari demokrasi.

Sedangkan demokrasi itu sendiri mempunyai dua bentuk, demokrasi perwakilan (demokrasi tidak langsung) dan demokrasi langsung. Pilkada langsung di Indonesia merupakan perubahan radikal sebagai anti-tesis terhadap pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD semasa Orde Baru yang berbau ’praktek dagang sapi’ yang kotor.

Masih dalam ingatan penulis bahwa UU No.32 Tahun 2004 yang di dalamnya antara lain mengatur mengenai pilkada langsung, ”dilahirkan” di masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Pilkada langsung di Indonesia sebagai bagian dari reformasi politik dan demokratisasi, mulai dilaksanakan pada tahun 2005.

Menurut salah satu sumber, dari pilkada langsung tahun 2005 hingga 2008, Partai Golkar memenangi 138 pilkada, PDIP 104 pilkada dan PKS memenangi 54 pilkada (Iwan K.Hamdan, 2008:34).

Jumlah uang negara yang dihabiskan untuk pilkada langsung saat itu adalah sekitar enam triliun rupiah. Siapakah yang sebenarnya diuntungkan oleh pilkada langsung, parpol atau rakyat ? Pertanyaan tersebut perlu dikemukakan karena pilkada langsung sering dihubung-hubungkan dengan demokrasi.

Sedangkan demokrasi itu sendiri mempunyai banyak ’sisi’, yang tidak semuanya bersisi terang seperti terjadinya tirani mayoritas. Kalau mayoritas itu orang baik, mungkin tidak bermasalah. Tapi kalau yang mayoritas itu culas, jahat, atau bodoh, maka yang akan terjadi adalah ’bencana’ di berbagai bidang, politik, hukum, ekonomi, budaya, integrasi bangsa, dll.

Mengapa pilkada langsung perlu dilaksanakan di Indonesia menurut salah satu pakar yang terlibat dalam penggodogan konsep pilkada langsung dalam UU No.32 Tahun 2004 adalah karena alasan ‘kompatibilitas” atau kesesuaian dengan pilpres langsung.

Maksud sumber tersebut, kalau presidennya dipilih melalui pilpres langsung, maka gubernur, bupati dan walikota juga harus dipilih secara langsung. Alasan lainnya adalah karena buruknya praktek-praktek pemilihan kepala daerah secara perwakilan melalui DPRD di masa Soeharto.

Sekarang telah terlihat bahwa pilkada langsung menghasilkan banyak ekses negatif. Maraknya politik uang dalam pilkada langsung, misalnya, merupakan perluasan dari politik uang yang tadinya terbatas hanya di kalangan anggota DPRD, kini meluas terhadap/di kalangan warga masyarakat pemilih, khususnya masyarakat miskin.

Premanisme pilkada langsung di masa reformasi lebih parah dan lebih canggih serta melibatkan lebih banyak aktor pelaku dibanding dalam pilkada dengan sistem perwakilan pada era Orde Baru. Yang lebih buruk dari itu adalah terjadinya konflik-konflik elit lokal akibat pilkada langsung yang merambat ke masyarakat sehingga acapkali terjadi kekerasan. Masalah ini jarang sekali terjadi dalam sistem pilkada melalui DPRD di era Orde Baru.

Namun yang lebih mengecewakan dari semua ekses negatif tersebut adalah kenyataan bahwa pilkada langsung ternyata tidak secara otomatis menghasilkan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, yaitu yang penuh dengan keteladanan dalam keseharian hidupnya, cakap dalam mengelola pemerintahan daerah dan telah terbukti hasil-hasil karya mereka.

Seperti telah banyak kita ketahui bahwa pemenang pilkada langsung umumnya adalah figur-figur pengusaha atau orang-orang yang didukung uang dan parpol-parpol pengusung. Parpol-parpol pengusung pun mempunyai ’harga’ yang harus ’dibayar’ oleh kandidat.

Kenapa uang begitu penting di sini adalah karena pilkada langsung telah menjadi industri dan ’komoditas’ yang penuh dengan hitungan-hitungan transaksi ekonomi politik. Visi, misi dan program kandidat yang seharusnya menjadi pilihan utama para ’rational voters’, akhirnya hanya menjadi ’lips service’ belaka sekedar untuk memenuhi persyaratan prosedural formal.

Kapitalisasi pilkada tersebut merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi untuk membangun demokrasi substantif di Indonesia dan sudah sepantasnya segera ’diluruskan’ kembali.

Kegagalan pemerintah, KPU dan Bawaslu serta aparat penegak hukum untuk memastikan pilkada langsung berjalan LUBER, JURDIL dan tanpa money politics, akan melahirkan penyakit apa yang saya sebut sebagai ’ stress demokrasi’ (democrazy?).

Demokrasi yang stress pastilah bukan demokrasi yang dikehendaki reformasi dan dapat menambah daftar panjang permasalahan bangsa kita. Konflik dan kekerasan yang terjadi dalam pilkada langsung mungkin saja terjadi akibat dari model demokrasi yang stress itu.

Menurut Maribeth Erb dan Priyambudi Sulistiyanto dari National University of Singapore, ada dua pandangan yang berbeda tentang esensi pemilu (termasuk di sini pilkada langsung) dan relasinya dengan sistem politik. Yang pertama adalah bahwa pemilu merupakan institusi yang esensial pada jantung sistem demokrasi, pemilu melejitimasi kepemimpinan yang dipilih oleh rakyat yang menyebabkan pemimpin bertanggung jawab kepada rakyat.

Pandangan kedua menempatkan pemilu semata-mata hanya sebagai permainan atau pertunjukan. Sedangkan demokrasi bisa dibedakan menjadi tiga, yaitu demokrasi pura-pura (facade/pseudo democracy), demokrasi elektoral, dan demokrasi penuh atau demokrasi liberal.

Demokrasi jenis pertama adalah demokrasi yang dikontrol oleh militer meskipun dilakukan pemilu yang reguler.

Demokrasi jenis kedua adalah demokrasi yang berdasarkan hukum dan aturan main serta sangat mementingkan proses-proses hukum.

Demokrasi jenis ketiga adalah demokrasi prosedural plus penghargaan kepada hak-hak minoritas (Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto, 2009:5-9). Berdasarkan pendapat tersebut maka penulis mengkategorisasikan praktek pilkada langsung di Indonesia saat ini masih dalam tahap ’demokrasi teatrikal’.

Hal ini karena substansi demokrasi elektoral seperti halnya penghormatan terhadap asas luber, jurdil dan law enforcerment bagi para pelanggar aturan main pilkada langsung, masih sangat minim.

Prospek demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di negara kita tampaknya juga akan kurang begitu menggembirakan dalam waktu dekat ini. Perkiraan tersebut berdasarkan teori bahwa kemajuan demokratisasi dan konsolidasi demokrasi di negara-negara dunia ketiga umumnya terhambat oleh delapan faktor, yaitu :

1) dominasi eksekutif yang berlebihan;
2) sistem sosial politik neo-patrimonial;
3) korupsi serius di tingkat negara;
4) parpol-parpol yang lemah dan tidak stabil;
5) pelemahan atau pengkooptasian civil society;
6) pembelahan serius etnis dan agama;
7) kemiskinan yang merajalela;
8). iklim politik internasional yang tidak kondusif (Maribeth Erb, Priyambudi Sulistiyanto, 2009:7).

Sebagian besar dari delapan faktor tersebut ada di negara kita saat ini. Oleh karena reformasi politik di Indonesia tidak boleh salah arah, maka diperlukan upaya bersama semua pihak (pemerintah, KPU, Bawaslu, aparat penegak hukum bersama-sama parpol-parpol dan civil society) untuk mengembalikan pilkada langsung sebagai instrumen demokrasi elektoral, bukan demokrasi teatrikal.

Atas dasar uraian di muka maka penulis mengusulkan kepada Pemerintah (Presiden dan DPR) dan KPU untuk melakukan moratorium (jeda) pilkada langsung.

Moratorium memungkinkan adanya evaluasi yang kredibel yang dilakukan oleh Pemerintah didukung tim ahli independen terhadap pilkada langsung selama lima tahun terakhir ini. Di samping itu pilkada secara tidak langsung melalui DPRD mungkin perlu dikaji kembali untuk salah satu alternatif pengganti sistem pilkada langsung.

Pilkada melalui perwakilan DPRD menurut saya merupakan pilihan rasional di tengah-tengah situasi yang ”berisik’ akibat dari ’politik sebagai panglima’ yang mengakibatkan terbengkelainya pembangunan ekonomi sekarang ini.

Bukankan di era reformasi dan demokratisasi saat ini DPRD sudah lebih mudah dikontrol oleh publik karena masyarakat sudah bebas berorganisasi dan berekspresi, media massa yang kritis yang dapat ikut mengontrol DPRD, didukung kemajuan teknologi informasi (internet, facebook, dll.) yang semakin memasyarakat. Akhirnya saya berpendapat, pilpres langsung YES!, pilkada langsung NO!.

Dengan cara itu maka triliunan rupiah uang negara yang tadinya disiapkan Pemerintah untuk pilkada langsung, akan dapat diselamatkan untuk upaya-upaya Pemerintah menanggulangi kemiskinan dan pengangguran yang saat ini cukup parah di Indonesia.

Oleh karena itulah kelompok-kelompok civil society di seluruh Indonesia perlu ’bangun’ kembali dan bersama-sama Pemerintah untuk meluruskan kembali arah dan tujuan reformasi di segala bidang, termasuk dengan mengkritisi dan mengawal pilkada, entah pilkada langsung atau perwakilan.

Sumber: Koran Jurnal Nasional
Editor : Dahlan Batubara

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.