Akhir Februari lalu, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Pdt. Gomar Gultom menyurati Kemenag untuk merevisi materi buku pelajaran Agama Islam terbitan Kemendikbud. Materi yang dimaksud oleh PGI terdapat pada buku pelajaran Agama Islam Kelas VII SMP dan Kelas XI SMA. Materi tersebut menyinggung pandangan terhadap Injil dan Taurat.
Permintaan PGI pada Kemenag memicu protes keras dari sejumlah tokoh Muslim. Mantan Wasekjen MUI, Tengku Zulkarnain, mengaku keberatan dengan langkah PGI tersebut. Tengku Zul menilai, PGI telah keluar jalur. Sebabnya, PGI telah ikut campur dalam keyakinan umat Islam.
Tanggapan keras juga datang dari Ustadz Nurbani Yusuf, pengurus MUI Kota Batu dan pengasuh Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu. Bahkan ia menyatakan tindakan PGI sudah bukan lagi toleransi, tetapi intimidasi teologis atas nama toleransi.
Ia juga menyayangkan respon Menteri Yaqut Cholil Qoumas yang langsung cekatan merespon dengan memerintahkan ke stafnya agar mendalami dan memperbaiki materi pengajaran Agama Islam sekaligus berkoordinasi dengan Kemendikbud.
Akidah Islam Adalah Haq
Sudah semestinya bagi siapa saja yang mengaku Muslim wajib berpegang teguh pada ajaran Islam, termasuk membela akidahnya. Tidak boleh seorang Muslim mengubah atau meragukan keyakinannya walau hanya sedikit. Meragukan, mengubah atau meyakini sesuatu yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam bisa membatalkan keimanan. Demikian pula berkompromi dengan akidah umat lain.
Dalam prinsip tawhidulLah , seorang Muslim wajib mengimani bahwa Allah SWT adalah satu. Islam menolak paham yang mengatakan Allah SWT itu memiliki sekutu. Allah SWT berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ
Sungguh kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga (TQS al-Maidah [5]: 73).
Allah SWT juga berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
Sungguh kafirlah orang-orang yang berkata bahwa Allah itu ialah Al-Masih putra Maryam (TQS al-Maidah [5]: 17).
Seorang Muslim juga wajib meyakini bahwa mereka yang menolak prinsip tawhidulLah , mempersekutukan Allah dan mengakui Tuhan itu melahirkan dan dilahirkan adalah berakidah batil. Keyakinan mereka bertentangan dengan Islam. Pemeluknya disebut kafir. Di dalam kamus Al-Mu’jam al-Wasith dinyatakan:
اَلْكَافِرُ مَنْ لاَ يُؤْمِنُ بِالْوَحْدَانِيَّةِ أَوْ النُّبُوَّةِ أَوْ الرِّسَلَةِ أَوْ بِثَلاَثَتِهَا
Kafir adalah siapa saja yang tidak mengimani keesaan Allah, atau kenabian Muhammad saw, atau risalah Islam, atau ketiga-tiganya (Al-Mujam al-Wasith, II/891).
Al-Quran Menghapus Kitab Sebelumnya
Keyakinan dan sikap seorang Muslim terhadap kitab suci selain al-Quran juga mesti mengikuti tuntunan akidah Islam. Kaum Muslim wajib mengimani bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab suci selain al-Quran. Allah SWT berfirman:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
Dan Kami telah menurunkan kepada kamu al-Quran dengan membawa kebenaran; pembenar sekaligus hakim atas kitab-kitab sebelumnya (TQS al-Maidah [5]: 48).
Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dengan mengumpulkan sejumlah penjelasan tentang kata “muhaymin[an]” dalam ayat di atas, menyatakan bahwa kata tersebut bermakna; penjaga, saksi dan hakim (pemberi keputusan) atas kitab-kitab sebelum al-Quran. Ibnu Juraij menyatakan, “Apa saja isi dari kitab terdahulu yang sesuai dengan al-Quran adalah benar. Apa saja isi dari kitab terdahulu yang tidak sesuai dengan al-Quran adalah batil.”
Larangan untuk membenarkan dan mengamalkan isi kitab-kitab selain al-Quran ditegaskan oleh Rasulullah saat menegur Umar bin Khaththab ra. saat membawa lembaran-lembaran Taurat. Beliau bersabda:
أَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا بْنَ الخَطَّابِ؟ أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ؟ لَوْ كَانَ أَخِي مُوْسَى حَيًّا مَا وَسَعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي
“Apakah dalam hatimu ada keraguan, wahai Ibnu al-Khaththab? Apakah dalam Taurat terdapat ajaran yang masih putih bersih?! (Ketahuilah), andai saudaraku Musa hidup, ia tetap harus mengikuti (ajaran)-ku.” (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Sabda Nabi saw. ini menunjukkan bahwa kaum Muslim dilarang untuk mengikuti ajaran yang terkandung di dalam kitab-kitab selain al-Quran. Hadis ini pun menunjukkan kitab-kitab tersebut tidak berlaku lagi sejak al-Quran diwahyukan kepada Nabi saw.
Allah SWT juga mengingatkan bahwa kitab-kitab tersebut telah banyak diubah oleh umat mereka sendiri, khususnya para rahib mereka. Di dalamnya terdapat bagian-bagian yang ditambahkan atau dikurangi sehingga telah hilang kesuciannya. Allah SWT berfirman:
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا كَتَبَتْ أَيْدِيهِمْ وَوَيْلٌ لَهُمْ مِمَّا يَكْسِبُونَ
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri. Lalu mereka berkata, “Ini dari Allah,” dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka tulis dengan tangan mereka sendiri. Kecelakaan besarlah bagi mereka akibat apa yang mereka kerjakan (TQS al-Baqarah [2]: 79).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi karena mereka mengubah Taurat. Mereka menambahkan di dalamnya apa yang mereka suka, menghapus apa yang mereka benci, juga menghilangkan nama Muhammad saw. yang terdapat di dalam Taurat. Karena itu Allah SWT murka kepada mereka.
Mengenai Injil, di kalangan teolog Kristen sendiri juga terdapat penelitian yang meragukan kemurnian Injil sebagai perkataan Yesus. Pada tahun 1993 terbit buku The Five Gospels berisi hasil penelitian 76 doktor teologi yang tergabung dalam tim bernama The Jesus Seminar . Mereka menyimpulkan bahwa 82 persen Injil tidak bersumber dari Yesus ( The Five Gospels, What Did Jesus Really Say , hlm. 5).
Berbeda dengan al-Quran. Al-Quran telah mendapatkan jaminan dari Allah SWT akan terus terjaga kesuciannya hingga akhir zaman (Lihat: QS al-Hijr [15]: 9).
Sekularisme dan Pendangkalan Akidah
Sikap PGI memang keterlaluan. Mereka berani mengoreksi ajaran agama Islam. Sikap Pemerintah, dalam hal ini Kemenag dan Kemendikbud, juga patut disayangkan. Alih-alih membela akidah Islam, mereka justru menyetujui usulan revisi tersebut.
Jika kebijakan ini dilanjutkan, umat bisa terjerumus ke dalam dua perkara. Pertama : Pendangkalan akidah. Usulan PGI akan pengaburan akidah Islam yang sudah haq , khususnya pandangan Islam mengenai bahasan kitab Injil dan Taurat yang telah jelas di dalam ajaran Islam. Bukankah ini membahayakan akidah umat, khususnya para pelajar?
Kebijakan ini juga akan menanamkan sikap pluralisme agama, membenarkan semua agama, termasuk di dalamnya membenarkan kitab suci selain al-Quran. Istilah yang sering dipakai adalah menumbuhkan moderasi beragama , atau berislam moderat , yang terselip di dalamnya paham pluralisme. Padahal pada tahun 2005, MUI telah mengharamkan paham pluralisme. Keputusan MUI ini berlandaskan pada firman Allah SWT. Di antaranya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Siapa saja yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi (TQS Ali ‘Imran [3]: 85).
Kedua : Makin mengokohkan sekularisasi pendidikan. Selain meminta revisi atas pelajaran agama Islam, Pdt. Gomar Gultom juga berharap agar pelajaran agama tidak disampaikan di ruang publik, maksudnya di sekolah-sekolah umum. Menurut dia, hal itu akan menjadi ganjalan terhadap kerukunan umat beragama.
Jika Pemerintah meloloskan permintaan PGI ini, maka kian kentara bila pendidikan nasional diarahkan menuju sekularisme. Agama tidak boleh dimunculkan di ruang publik, termasuk tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Sama sekali tidak ada kewajiban bagi negara untuk menyelenggarakan pendidikan agama di sekolah dan kampus umum.
Tindakan memarjinalkan agama Islam di dunia pendidikan sudah terlihat belakangan ini. Pemerintah telah mengeluarkan SKB 3 Menteri (Mendikbud, Mendagri, Menag) yang mengatur seragam dan atribut sekolah, khususnya busana Muslimah, pada para siswi di lingkungan sekolah. SKB 3 Menteri itu melarang kepala daerah dan sekolah negeri mewajibkan—bahkan meski hanya menganjurkan—para siswi untuk mengenakan busana Muslimah. Alasannya, ini melanggar kemerdekaan menjalankan keyakinan masing-masing. Sanksi keras atas kepala daerah dan sekolah negeri siap dijatuhkan jika mereka mengabaikan SKB 3 Menteri ini.
Terakhir, Kemendikbud baru saja meluncurkan draft Peta Perjalanan Pendidikan 2020 – 2035. Draft ini juga menuai protes dari tokoh-tokoh Islam karena tidak tercantum frase agama di dalamnya. Akhirnya, draft ini buru-buru direvisi.
Ironi, bagaimana bisa kaum Muslim justru diintervensi oleh umat beragama lain. Prihatinnya lagi, alih-alih melindungi dan membela akidahnya sendiri, ada saja Muslim yang justru lebih manut pada umat lain, dan berani mengabaikan kitab sucinya, nabinya, ataupun para ulamanya. Na’udzu bilLahi min dzalik. ***
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika kalian mengikuti sebagian Ahlul Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kalian menjadi kafir sesudah kalian beriman. (TQS Ali Imran [3]: 100).
Dicopy dari: Buletin Dakwah Kaffah 185 (05 Sya’ban 1442 H – 19 Maret 2021)