Artikel

Menunggu “Pepesan Kosong” Dari Panwaslu Madina?

 

Oleh: Akhiruddin Matondang

 

KEKHAWATIRAN banyak pihak terhadap terjadinya kecurangan pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Mandailing Natal, Provinsi Sumatera Utara Desember mendatang adalah sesuatu yang lumrah. Masyarakat sudah lebih dulu menyimpan rasa pesimis terwujudnya pilkada yang bersih, langsung, aman, rahasia, jujur dan adil seperti diamanatkan undang-undang.

Tantangan untuk menjadikan pilkada demokratis sepertinya masih sekadar angan-angan. Berbagai masalah yang akan terjadi nanti sepertinya tidak jauh beda dengan kasus-kasus pada pilkada sebelumnya, misalnya, praktek politik, penetapan daftar pemilih tetap (DPT), dan keterlibatan aparatur pemerintah.

Banyak pihak masih meragukan peran panitia pengawas pemilu (Panwaslu) Madina dalam mengantarkan terwujudnya pilkada yang jurdil. Ini bukan tanpa alasan. Jika berkaca pada pengalaman lima tahun lalu, panwaslu sepertinya tidak bisa berbuat banyak dalam melakukan pengawasan. Seperti macan ompong. Hanya menjadi penonton di tengah hiruk-pikuk dugaan pelanggaraan yang terjadi. Bahkan, (maaf) bisa jadi bagian dari unsur pelanggaran yang dilakukan para calon.

Padahal posisi pengawas sangat penting untuk memastikan pelaksanaan pemilu dilakukan secara jurdil. Kenapa peran panwas belum bisa diharapkan untuk menjadikan pilkada Madina bersih dari unsur kecurangan atau paling tidak meminimalisir terjadinya pelanggaran?

Ketidakoptimalan tugas pengawasan tersebut bukan lantaran kita tidak percaya terhadap personil ketua dan anggota-anggotanya. Bukan juga tidak percaya pada mereka yang menjadi ujung tombak pengawasan di tingkat kecamatan (panswascam) dan tataran PPL (pengawas pemilu lapangan).

Peran panwas tidak bisa optimal dalam melakukan tugasnya lantaran banyak masalah yang membuat mereka tidak bisa kerja optimal. Sebut saja proses rekruitmen. Terkadang seleksi anggota panwaslu masih saja tidak bisa lepas dari belenggu interpensi pihak-pihak tertentu. Di sejumlah daerah, acap kali petahana terlibat dalam menentukan siapa saja yang akan terpilih menjadi personil panwaslu.

Seperti kita ketahui, untuk menjadi anggota panswalu banyak syarat yang harus dipenuhi dan melalui seleksi yang ketat, baik tes tertulis maupun uji publik. Namun, seleksi yang ketat oleh Bawaslu provinsi tidak menjadi jaminan bebas dari campur tangan pihak-pihak tertentu.

Lalu, soal anggaran. Harus diakui anggaran yang diterima panwaslu masih sangat minim. Sampai saat ini tidak ada barometer atau standar yang jelas sebagai acuan untuk menentukan besaran anggaran pengawasan dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) setempat.

Dengan kata lain, tergantung kebijakan kepala daerah dan anggota dewan selaku yang mensahkan APBD. Kondisi seperti ini sebenarnya sangat rentan terjadi bargainng alias tawar-menawar antara pihak panwaslu dengan petahana/incumbent. Kita berharap ini tidak terjadi di Madina.

Saat ini anggaran yang diterima panwaslu untuk hajat pilkada masih relatif kecil, kisaran Rp2-3 miliar. Kita tidak tahu pasti besaran anggaran Panwaslu Madina dalam peseta demokrasi yang akan dilakukan akhir 2015, bersamaan dengan sekitar 268 kabupaten/kota lain yang juga menggerar pilkada serempak.

Di sejumlah daerah tingkat dua yang melakukan pilkada, honor anggota panwascam hanya berkisar Rp250 ribu sampai Rp300 ribu perbulan. Biasanya masa kerja selama enam bulan. Angka ini sekitar separoh lebih kecil dari honor yang didapat pada pelaksaan pemilu legislatif (pileg), yang berkisar Rp500 ribu.

Tetapi sekali lagi, angka tersebut tidak baku. Tergantung kemampuan keuangan daerah, dan yang terpenting berharap baik hati sang kepala daerah. Kalau kepala daerahnya masih hendak mencalonkan kembali, tentu ini menjadi peluang bagi panwalu dan jajarannya untuk melakukan bargaining. Ini tentu sangat tidak kita harapkan.

Dengan honor yang minim, sulit mengharapkan hasil kerja maksimal. Sehingga potensi “bermain” dengan sang calon atau tim suksesnya sangat besar. Para anggota pengawas sebenarnya sudah sering mengeluh soal besaran honor mereka, tetapi regulasi soal anggaran panwaslu tidak mendukung. Alhasil mau tidak mau “pil” pahit ini harus ditelan juga oleh rekan-rekan anggota panwas, mesikipun rasanya tidak enak di “lidah”.

Masihkah kita boleh menyimpan asa adanya gebrakan panwaslu Madina dalam pilkada nanti. Tentu saja, masyarakat tidak boleh pesimis. Harus optimis dan berharap agar panwaslu melaksanakan tugasnya secara profesional di tengah sejumlah dilema yang menghantui mereka.

Memang, sampai saat ini banyak pihak menuding panwaslu terkesan tidak punya taring. Tidak “menggigit” dan terkesan hanya sekadar “cap” untuk mendapatkan legitimasi terlaksananya pemilu yang jurdil—baik legislatif maupun pilkada—sesuai amanat undang-undang dan peraturan lainnya.

Panwaslu melakukan proses terjadinya dugaan pelanggaran pilkada berdasarkan adanya laporan masyarakat atau hasil temuan di lapangan. Itupun hanya sebatas melapor ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Selanjutnya, terserah Gakkumdu. Belum ada sejarah putusan panwaslu menyebabkan calon, baik pileg atau pilkada, jadi gugur.

Belum sinerginya panwaslu, kejaksaan, dan kepolian dimanfaatkan pihak calon untuk melakukan pelanggaran.. Sering kali berkas dugaan pelanggaran dari panwaslu hanya menjadi “sampah” di tingkat Gakumdu, karena tidak ditindaklajuti dengan berbagai alasan. Misalnya, terlapor atau pelapor tidak menghadiri panggilan Gakkumdu. Atau bisa juga sudah kadaluarsa atau tidak dilengkapi bukti-bukti yang kuat.

Rentang proses di Gakkumdu yang dibatasi, menjadi senjata bagi mereka yang dipanggil untuk tidak memenuhi panggilan. Jika waktu penanganan habis, maka kasus yang akan diproses pun gugur dengan sendirinya.

Persoalan lainnnya, pihak calon kepala daerah/wakil kepala daerah tidak saling melapor atas dugaan adanya pelanggaran pidana atau perdata. Biasanya, setelah kalah baru kasak-kusuk membuat laporan. Padahal kasus yang mereka laporkan kebanyakan sudah kadaluarsa.

Seharusnya, begitu masyarakat atau tim sukses melihat ada dugaan pelanggaran, mereka langsung melapor ke pengawas, baik ke tingkat kabupaten, kecamatan, desa, atau PPL. Namun ini tidak mudah. Biasanya, masyarakat khususnya, enggan berurusan dengan aparat penegak hukum karena hanya akan menambah beban baginya, baik waktu, pikiran dan uang.

Kita mengakui panwaslu adalah lembaga yang tugas dan fungsinya mengawasi proses penyelenggaraan pemilu. Lembaga yang mempunyai peran penting di dalam penegakan supremasi hukum (law enforcement).

Sekarang kita sedang menunggu gebrakan yang dilakukan para personil Panwaslu Madina. Tentu kita tidak berharap kelak hanya mendapatkan “pepesan” kosong atas kinerja rekan-rekan kita tersebut. Kita berharap mata, hati, telinga, pikiran untuk sementara dicurahkan untuk mewujudkan pilkada yang jurdil, bukan pilkada yang penuh kecurangan.

Jangan sampai nanti masyarakat menyebut Panwaslu mandul dalam menegakkan supremasi hukum (law enforcement). Saatnya panwaslu, kepolisian, kejakasaan, masyarakat, dan tentu KPU (Komisi Pemilihan Umum) Madina bahu-membahu membangun image bahwa pilkada tidak identik dengan uang atau intrik.

Kemenangan yang barokah adalah kemenangan tanpa kecurangan.

(Penulis adalah Jurnalis, mantan ketua PWI perwakilan Lampung Selatan, mantan ketua Partai Bintang Reformasi Lampung Selatan, dan mantan anggota DPRD Lampung Selatan)

 

 

 

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.