Artikel

Mewaspadai  Agenda Moderasi di Sekolah Negeri Berbalut Toleransi

Oleh : Nahdoh Fikriyyah Islam
Dosen dan Pengamat Politik

Jagat berita nasional sedang diramaikan kasus penggunaan seragam hijab yang dikabarkan mengundang pemaksaan. Meskipun telah beredar klarifikasi dari pihak alumni sekolah yang menjadi objek kasus, bahwa dirinya tidak pernah merasa dipaksa untuk mengikuti peraturan sekolah yang mewajibkan berbusana muslim. Ia justru menyatakan dengan rela dan senang memakainya. Meskipun demikian, berita yang digoreng terbalik dengan seorang siwa yang merasa dipaksa melakukannya. Sehingga kasus yang gencar diopinikan ke khalayak adalah pemkasaan pakaian atau atribut sekolah yang berbau agama.

Menanggapi kasus tersebut, Kemendikbud bersikap sigap dan begitu cepat sampai mengeluarkan SKB 3 menteri. Menurutnya, hal tersebut untuk mencegah terjadinya kasus yang sama lagi. Terlebih jika sekolah-sekolah tersebut berstatus negeri.

Seperti yang dilansir dari situs tirto.id, bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri adalah terkait  penggunaan seragam sekolah dan atribut bagi guru dan siswa. SKB 3 menteri itu dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Kementerian Agama (Kemenag). Juga dikutip dari website Kemendikbud, SKB 3 Menteri tersebut dikeluarkan dengan Nomor 02/KB/2021, Nomor 025-199 Tahun 2021 dan Nomor 219 Tahun 2021, terdapat enam keputusan utama.

Keputusan Bersama itu tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. (tirto.id. 04/02/2021).

Keputusan tiga menteri tersebut terlihat sangat reaktif. Padahal sebelumnya, ada kasus siswi di Bali yang dipaksa membuka hijabnya jika di sekolah dan akan dikeluarkan dari sekolah tersebut. Kasus-kasus yang menimpa siswi muslim diperlakukan tidak adil lebih banyak terjadi di lapangan dibandingkan kasus yang di Padang. Bahkan, baru satu kasus yang muncul, Kemendikbud langsung bertindak. Kemana tiga kementerian selama ini jika kasus yang sama manimpa siswi muslim? Lalu, kenapa SKB 3 menteri terkesan secepat kilat muncul sebagai respon pemerintah untuk membela satu siswi? Sementara siswi muslim lain yang diperlakukan tidak adil selama ini, pemerintah bungkam.

Tidak berlebihan, jika keberadaan SKB 3 menteri perlu dianalisa, ada agenda apa dibalik penetapan SKB 3 menteri tersebut?

Pertama, dari sisi respon kemendikbud yang reaktif mengindikasikan bahwa wajah pendidikan nasional dalam hal ini, sekolah-sekolah negeri seperti dibawa ke zaman dahulu sebelum gairah berislam masyarakat muncul seperti sekarang. Katakanlah di zaman orde baru. Bukankah di zaman itu, atribut kegamaan seperti Islam sangat minim? Bahkan hampir tidak ditemukan di lembaga pendidikan di bawah naungan pemerintah alias sekolah negeri. Semua siswi muslim baik non muslim berpakaian seragam rok mini dan kemeja putih lengan pendek. Begitu juga siswa laki-laki yang mengenakan celana pendek selutut bahkan di atas lutut, sehingga kewajiban menutup aurat tidak tertunaikan di sana. Seperti itukah model yang akan dikembalikan lagi di sekolah-sekolah negeri? Jika ya, bukannya malah jadi ngeri?

Kedua, menurut Mendikbud, Keputusan Bersama Tiga Menteri ini dirancang untuk dapat menegakkan keputusan-keputusan terkait yang telah ditetapkan sebelumnya serta melindungi hak dan kewajiban warga masyarakat Indonesia terutama peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di sekolah negeri.(tirto.id. 04/02/2021) Jika demikian adanya, maka seharusya Nadiem Makarim mengeluarkan SKB melindungi hak dan kewajiban siswi muslim untuk menutup auratnya. Dan sekolah yang tidak menjaga aurat pelajarnya, akan dikenai sanksi. Bukankah hak dan kewajiban berpakain pelajar muslim adalah menutup aurat atau berhijab?

Selama ini, dengan adanya Perda syariah, hak dan kewajiban siswa muslim/ah telah tertunaikan dengan baik. Lalu, untuk apalagi SKB 3 menteri yang baru? Ironisnya, sekolah negeri akan disanksi jika membuat peraturan kepada pelajar untuk berpakaian menutup auratnya. Bagaimana jika semua siswa di sekolah tersebut muslim? Atau hanya terdapat 1-2 orang saja yang non muslim/perkelas? Haruskah mayoritas mengiktui minoritas? Itukah solusi menurut Pak Menteri?

Ketiga, Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, agama bukan menjadi justifikasi untuk bersikap tidak adil kepada orang lain yang berbeda keyakinan. Lahirnya Keputusan Bersama Tiga Menteri ini sebagai upaya  untuk mencari titik persamaan dari berbagai perbedaan yang ada di masyarakat. Bukan memaksakan supaya sama tapi masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara substantif bukan hanya simbolik.(tirto.id. 04/02/2021) Pernyataan ini sangat ambigu.  Namanya agama, tentu tidak bisa dipisahkan dari atribut/simbol. Hanya orang yang tidak beragama yang tidak memiliki simbol-simbol keagamaan. Dan titik persamaan apa yang dimaksud Yaqut? Dunia tahu bahwa tidak ada agama yang sama. Bahkan tidak ada titik yang bisa ditarik untuk mencari-cari persamaan. Sangat dipaksakan bukan? Yaqut terlihat tidak berani mengakui bahwa sebenarnya, SKB 3 menteri yang mereka bentuk adalah jalan menuju liberalisasi alias moderasi yang semakin menjauhkan ummat Islam dari ajaran agama yang sesungguhnya.

Keempat, disisi lain, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengatakan, dunia pendidikan harus menjadi lingkungan yang menyenangkan. Menurut Tito, kunci keberhasilan suatu bangsa terletak kualitas SDM yang bersifat komprehensif, tidak hanya terletak pada penguasaan hal teknis tapi juga moralitas dan integritas. Salah satunya adalah toleransi dalam keberagaman. (tirto.id. 04/02/2021). Selama ini, dunia pendidikan sudah menyeramkan. Dan itu bukan karena atribut keagamaan, tetapi muatan kurikulum dan biaya sekolah yang mencekik. Jadi, Pak Tito salah kaprah jika mengaitkan lingkungan sekolah yang menyenangkan dengan atribut keagamaan.

Sebaliknya, siswa non muslim jauh merasa lebih nyaman melihat siswi berhijab di sekolah karena tidak mengumbar aurat. Dan itu sangat bermoral bukan? Jadi, toleransi yang dimaksud hanyalah untuk membawa arus moderasi di sekolah negeri yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan moralitas, integritas, dan menyenangkan. Justru sekolah-sekolah negeri akan semakin tak bermoral, tak berintegritas dan menyeramkan jika tidak menanamkan nilai-nilai dan mengenalkan atribut keagamaan siswanya di sekolah. Terlebih di sekolah negeri.

Lahirnya SKB 3 menteri juga mengindikasikan “tes the water” kepada masayarakat, apakah ada reaksi yang kuat terkait hal itu. Mengingat trend berhijab sudah menjamur di mana-mana. Belum lagi nanti jika pelajar meminta kepada orangtuanya untuk mengganti seragamnya dari yang berhijab menjadi tidak berhijab. Bukankah akan menambah beban orangtua secara ekonomi? Lalu, dimana faedah SKB 3 menteri untuk masyarakat?

Sesungguhnya pemerintah melalui SKB 3 menteri tersebut hanya ingin memuluskan arus moderasi di tengah-tengah masyarakat yang mayoritas muslim ini. Tentu saja, sekolah negeri di bawah naungan pemerintah harus sepenuhnya tunduk pada aturan yang diberlakukan. Pelajar muslim sebagai aset masa depan Islam, akan semakin dijauhkan dari agaman dan simbol-simbolnya yang sepatutnya menjadi kebanggaan bagi pemeluknya. Lihat saja orang yahudi bagitu bangga memakai topi, jenggot diikat terlilit sebagai khas mereka dimanapun mereka berada.

Begitu juga dengan penganut Kristen/Nasrani, sangat bangga membawa simbol salib kemanapun mereka pergi. Bahkan hal itu sangat sakral. Sama halnya dengan warga Hindu yang senang membawa patung dewanya kemana-mana. Dan tidak ada yang keberatan dengan semua itu. Adakah mereka dilarang melakukan itu ditengah-tengah kaum muslimin? Lalu kenapa kaum muslim yang jumlahnya mayoritas di Indonesia jadi terlarang memunculkan atributnya? Beranikah SKB 3 menteri mengatakan bagi siswa yang memakai kalung salib atau membawa patung dewa ke sekolah akan disanksi? Lalu kenapa sekolah disanksi jika menyuruh siswa berhijab?

Toleransi yang dipahami dan dihembuskan kian merusak ajaran islam yang mulia. Tidak selayaknya kaum muslimin di negeri ini menerima begitu saja ide toleransi yang mengarah pada arus moderasi menuju liberalisasi. Kaum pengusung dan agen liberalisme hanya menginginkan ajaran Islam dilupakan dan ditinggalkan oleh penganutnya, terkhusus generasi mudanya.

Begitulah peraturan yang dibalut ideologi sekulerisme – kapitalis. Hijab dianggap merugikan dan intoleran. Dan kriminaalisasi terhadap ajaran islam akan terus berguling jika akar masalahnya, yakni pengadopsian sekulerisme oleh negeri ini tidak diakhiri. Saatnya ummat Islam di Indonesia menyadari bahwa arus moderasi yang dibalut toleransi melalui SKB 3 menteri sangat membahayakan aqidah dan eksistensi ajaran Islam. Waspadalah! Wallahu’alam bissawab.

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.