Budaya

Modernisasi Pada Bentuk dan Tema Dalam Prosa-Prosa Willem Iskander (1840-1876) (bagian 4-selesai)


Oleh: HARIS SUTAN LUBIS
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
 

Willem Iskander (Sati Nasution)

Unsur karakter dan tokoh sebagaimana dapat diikuti melalui cerita yang dibangunnya dapat pula dilihat melalui penggambaran sikap secara psikologis, yang ditemui pada setiap tokoh utama yang ditampilkan. Memang penggambaran karakter tersebut tidaklah setajam dan selengkap sebagaimana dapat ditemui dalam cerpen-cerpen modern Indonesia dewasa ini. Namun pengertian besar dapat memperlihatkan sikap dan tindakan para tokoh yang ditampilkannya dapatlah dipahami dan dimaklumi sebagai upaya pengenal tokoh kepada khalayak pembaca, yang salah satu tujuannya ialah untuk mengidentifikasikan ataupun penyejajaran tokoh dengan pembaca, agar pembaca merasa terlibat ke dalam cerita tersebut.

Jelaslah bahwa semua cerita yang disampaikannya tetap memiliki tokoh sebagai pembaca cerita dan situasi.

Sementara itu aspek hentakan-hentakan yang dilakukannya dalam setiap persoalan yang dikemukakannya melalui jalan cerita yang dibangunnya, juga mampu menjadikan daya pikat bagi pembaca, yang dalam cerita pendek sekarang dikenal dengan istilah suspens, yang bertujuan menarik perhatian pembaca untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana cerita akan diperankan. Di samping itu Willem Iskander juga telah mampu mengajak pembaca untuk dapat membayangkan kajian yang dikemukakannya sehingga imajinasi pembaca akan selalu bermain-main ke arah yang dilukiskannya.

Demikian pula dalam aspek keterlibatan pengarang dalam cerita tersebut, dalam arti dari mana pengarang berpijak untuk memulai cerita yang dipaparkannya (point of view). Sebagian besar cerita yang dikarangnya itu memakai cara ”orang ketiga” (author-ominiscient) dengan mempergunakan tokoh (nama/sebutan orang ketiga), meskipun dalam salah satu ceritanya Willem Iskander hadir sebagai peninjau (author-observer).

Melalui unsur limited focus dan unity, Willem Iskander pun ternyata mampu membawa setiap pembaca yang baik kepada persoalan yang dikemukakannya tanpa harus membatasi perkembangan imajinasi pembaca. Pengarahan kepada titik penceritaan ini dilakukannya melalui keterkaitan sesama unsur yang ditampilkannya dalam membangun cerita-cerita yang ingin disampaikannya.

Dengan tergambarnya semua unsur cerita pendek dalam setiap cerita yang dijalinnya, maka pengaruh yang kemudian nyata di hadapan pembaca ialah terbentuknya suatu struktur cerita yang pada dewasa ini dikenal sebagai cerita pendek. Padahal jelas bahwa bentuk cerpen pada masa tradisi kesusasteraan dengan berlangsung belumlah dikenal sama sekali khususnya di daerah Mandailing, Tapanuli Selatan dan daerah lainnya di seluruh (kini) Indonesia. Apalagi kalau ditinjau keseluruhan dari bangunan setiap cerita yang ditampilkannya itu, maka dapat dilihat konflik-konflik yang dihadapi tokoh mampu merangsang daya nalar kita untuk mengetahui konsepsi Willem Iskander mengenai kehidupan yang sebenarnya, baik mengenai hakikat kehidupan itu sendiri maupun hakikat ilmu pengetahuan, dan pandangannya mengenai kedudukan manusia dalam memandang kekuasaan Tuhan sebagai Yang Maha Besar.

Unsur setting ternyata memiliki perhatian yang agak khusus pula bagi Willem Iskander. Tiga dari sembilan cerita itu mengambil tempat di dunia Barat, sekaligus tokoh-tokohnya. Kenyataan ini tentu saja sangat menarik perhatian, karena Willem Iskander pun dikenal hanya sebagai seorang sastrawan daerah Tapanuli Selatan. Namun meskipun sebagai seorang sastrawan daerah, ternyata wawasan pengetahuannya telah melewati dunia di luar daerahnya sendiri, dan merupakan indikasi keinginan Willem Iskander untuk turut membangun masyarakat bangsanya dengan kemampuan dan keunggulan ilmu pengetahuan yang memang telah lebih dahulu berkembang di wilayah Barat sana. Pemilihan setting dan tokoh yang bersumber dari dunia Barat itu mungkin dapat dipandang sebagai usaha atau pancingan Willem Iskander untuk merangsang masyarakat bangsanya agar berpikir lebih jauh dan luas lagi sampai ke benua asing, sebagai usaha mengejar ketertinggalan yang dialami selama ini. Oleh karena itu terasa wajar kalau setiap membaca cerita karangannya tersebut selalu ada kesan yang tertinggal, baik tentang kehidupan, ilmu pengetahuan, rasa kemanusiaan, maupun tentang keberadaan Tuhan sebagai Yang Maha.

Aspek bahasa dalam cerita Willem Iskander ini hanya dibicarakan secara selintas dan sederhana saja, karena melalui aspek ini yang akan dilihat hanyalah strategi penggunaan jenis bahasa saja, sebagaimana empat jenis bahasa yang dimiliki masyarakat Mandailing, Tapanuli Selatan. Melalui bahasa, kebudayaan suatu bangsa dapat dibentuk, dibina, dan dikembangkan untuk dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, hanya mendapat tanggapan apabila dilakukan komunikasi secara tepat dan efektif melalui salah satu alatnya yakni bahasa. Susunan dan pengungkapan yang baik akan memudahkan komunikasi berjalan sesuai dengan tujuan penuturnya. Menurut Keraf (1980: 1) bahwa, komunikasi melalui bahasa akan memungkinkan tiap orang banyak menyesuaikan dirinya dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Ia memungkinkan setiap orang untuk mempelajari kebiasaan adat-istiadat, kebudayaan serta latar belakangnya masing-masing. Dari penuturannya itu dapat dipahami betapa pentingnya bahasa tersebut sebagai alat komunikasi, karena memang sebagaimana dikatakan Keraf bahwa fungsi bahasa adalah untuk menyatakan ekspresi diri, alat komunikasi, alat untuk mengadakan kontrol sosial, alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial.

Apabila ditinjau bahasa yang dipergunakan Willem Iskander dalam menyampaikan cerita-ceritanya, maka dapat dilihat keempat fungsi bahasa sebagaimana dikemukakan Keraf tersebut tercakup di dalamnya. Kenyataan ini tak lain karena dalam menyampaikan idenya Willem Iskander mempergunakan hata somal yakni ragam sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Mandailing. Padahal sebenarnya dalam kesusasteraan daerah Mandailing dikenal satu ragam khas untuk kesusasteraan yakni hata andung sebagaimana lazim digunakan dalam turi-turian. Namun bagi Willem Iskander, penggunaan hata andung itu tidaklah tepat untuk cerita ataupun gagasan yang disampaikannya sebagaimana terkumpul dalam Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Karena jika ragam hata andung digunakannya maka fungsi bahasa sebagaimana diterapkan tadi tidak akan tercapai.Dengan demikian sasaran penulisan gagasannya pun akan mengalami hambatan, karena hata andung yang khas sastra ini hanya diketahui dan dimengerti oleh sebagian kecil masyarakat. Hal ini disebabkan ungkapan kata-katanya sangat jauh berbeda dengan ungkapan kata-kata sehari-hari. Jadi, dalam rangka mengkomunikasikan pesan melalui cerita yang ditulisnya itu, Willem Iskander pun memanfaatkan ragam hata somal sebagai ragam yang paling mudah untuk dimengerti.

Strategi ini jelas bertujuan untuk dapat memasyarakatkan pesan yang dikomunikasikannya itu secara lebih luas dan efektif. Selain berisi pesan ajaran-ajaran moral, cerita yang ditulisnya itu pun berisi kritik terhadap keberadaan kaum bangsawan pada masa itu, di samping untuk merangsang masyarakat bangsanya memberi perhatian kepada masalah keunggulan ilmu pengetahuan. Ternyata strategi yang dipakai Willem Iskander itu sangat berhasil. Salah satunya ialah, mampunya cerita-cerita tersebut memasyarakatkan di kalangan orang-orang dewasa, padahal tujuan sebenarnya penulisan buku itu ialah untuk bahan bacaan anak-anak sekolah dasar. Dalam hal ini bisa dilihat betapa cemerlangnya wawasan pemikiran Willem Iskander yang menyiapkan bahan bacaan/pelajaran bagi pendidikan dasar bangsanya (di Tapanuli Selatan), yang pada akhirnya ternyata mampu memberikan inspirasi bagi kaum pergerakan kebangsaan Tapanuli Selatan. Sebagai buku bacaan di sekolah, ternyata pula buku tersebut mampu bertahan selama 61 tahun, sebelum akhirnya dilarang beredar oleh pemerintah kolonial masa itu.

Dengan demikian peranan pemakaian bahasa yang digunakan oleh Willem Iskander pun dapat memberi petunjuk betapa pandangan dan pemikiran beliau sangat jauh mendahului tradisi yang berlangsung di masa hidupnya di abad kesembilan belas yang lalu, terutama dihubungkan dengan konteks penulisan karya sastra.

4. SIMPULAN
Berdasarkan kajian terhadap prosa-prosa Willem Iskander ternyata memiliki kesamaan atau kesejajaran dengan bentuk cerpen yang eksis pada masa kesusasteraan Indonesia modern. Kesamaan dapat dilihat terutama dari segi bentuk dan tema cerita yang diciptakannya (gagasan), struktur ceritanya dan pemakaian bahasanya. Tentu saja penelaahan ini masih jauh dari sempurna, karena beberapa aspek tertentu yang akan mengukuhkan prosa Willem Iskander tersebut sebagai bentuk cerpen secara lokal masih belum disinggung. Namun dari penguraian yang sederhana ini, tentu saja dapat diambil kesimpulan bahwa memang jiwa dan raga bentuk cerpen ”sebagai produk sastra modern” sudah kelihatan dalam prosa-prosa ciptaan Willem Iskander.

***

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 1981. Tifa Budaya. Jakarta: Leppenas.
Eneste, Pamusuk (Ed). 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir. Antologi Esei dan Kritik. Jakarta: Gramedia.
Harapan, Basyral Hamidy. (Penerjemah). 2002. Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk. Jakarta: Sanggar Willem Iskander.
Keraf, Gorys. 1980. Komposisi. Flores: Nusa Indah.
Lubis, H. S. 1985. Willem Iskander Penyair Modern Mandailing Abad XIX. (Skripsi). Fakultas Sastra USU Medan.
Lubis, Mochtar. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia Beberapa Masalah Penelitian dan Pengembangannya. Jakarta: Balai Pustaka.
Usman, Zuber. 1963. Kesusasteraan Lama Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.


________________
Sumber awal: LOGAT, JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 (Halaman 18 – 25), lihat http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16669/3/log-apr2007-3%20(1).pdf.txt.

Sumber kedua : http://gondang.blogspot.co.id/search/label/puisi%20dan%20prosa%20lama

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.