Budaya

Moncak di Mandailing

 LATAR BELAKANG

Moncak adalah seni bela diri yang terdapat di dalam suku Mandailing. Baik di Mandailing Godang, Mandailing Julu dan Mandailing Angkola.

Mocak ini mirip dengan seni bela diri Silat, juga hampir sama dengan Silek di Sumatera Barat. Di dalam suku Toba juga dinamakan Moncak (baca: Mossak).

Berdasarkan hasil wawancara dengan sejumlah penggiat budaya Mandailing, bahwa perbedaan Mocak dengan Silat terletak pada iringan musik. Moncak ini selalu diiringi dengan musik, sehingga pelaku yang sedang ber-Moncak akan melakukan gerakan bela diri di dalam situasi yang diiringi bunyian musik. Acara ber-Moncak berlangsung selama musik mengalun dari para pemusik yang berada di luar arena Moncak.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Moncak bisa dikatakan bukan sekedar seni bela diri dalam konteks budaya Mandailing. Moncak juga merupakan tarian yang gerakan-gerakannya disesuaikan dengan musik pengiringnya.

Moncak ini di dalam kebudayaan Mandailing masuk dalam salah satu sub kesenian yang telah turun temurun dari nenek moyang orang Mandailing.

SEJARAH

Berdasarkan hasil wawancara dengan Askolani Nasution, salah satu penggiat budaya Mandailing, Mocak masuk ke wilayah Mandailing Julu, Mandailing Godang dan Mandailing Angkola (sekarang masuk dalam wilayah Tapanuli Bagian Selatan) diyakini berasal dari Minangkabau dan Aceh. Dalam budaya Mandailing, Moncak lebih melekat pada rangkaian prosesi adat.

Sejauh ini, belum diketahui pasti pada abad berapa Moncak ini mulai ada di tanah Mandailing. Belum ada ditemukan catatan-catatan tentang awal mula kehadiran Moncak di Tanah Mandailing.

Permainan Moncak ini biasanya menampilkan dua orang dalam setiap satu pertarungan. Kadang-kadang ada juga tiga orang pemain yang saling berhadap-hadapan.

Semua pemain adalah laki-laki. Kedua orang yang bermain Moncak ini umumnya adalah orang-orang yang paling tidaknya memiliki keahlian seni bela diri dengan gerakan Moncak yang mereka pelajari dari orang-orang ahli Moncak.

Pada masa tahun 1960-an hingga era 1980-an di tanah Mandailing sudah menjadi kebiasaan sehari-hari di sebuah desa ada beberapa orang yang sering disebut-sebut sebagai “parmoncak” (seorang yang mahir atau berhobbi sebagai ahli Moncak). Karena orang-orang yang dipanggil “Parmoncak” biasanya tidak pernah absen bilamana ada pagelaran hiburan rakyat yang menampilkan atraksi Moncak.

WAKTU DITAMPILKAN

Berdasar wawancara dengan sejumlah penggiat budaya Mandailing, disebutkan bahwa Moncak ini biasanya ditampilkan pada saat prosesi upacara pesta pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, kelahiran anak, atau prosesi adat yang dibarengi dengan menyembelihan kerbau.

Selain itu, di era tahun 1960-an, acara Moncak ini sering dipegelarkan sebagai sarana hiburan rakyat di satu tanah lapang sebuah desa pada hari raya Idul Fitri. Pagelaran itu dilakukan pada sore hari di hari pertama Idul Fitri, berlangsung tiap hari hingga selama sekitar sepekan lamanya.

KOSTUM

Pemain biasanya menggunakan seragam dengan pola warna budaya Mandailing Julu dan Mandailing Godang serta Mandailing Angkola, yakni yang didominasi hitam dan merah serta putih.

Kostum yang demikian itu biasanya dipakai “parmoncak” ketika acara Moncak diselenggarakan dalam acara-acara resmi, seperti prosesi upacara pesta pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, kelahiran anak, atau prosesi adat yang dibarengi dengan menyembelihan kerbau.

Tetapi, untuk acara yang bersifat hiburan rakyat seperti di hari raya Idul Fitri, pemain sering kali tak memakai kostum hitam-merah-putih. Sebab, tidak ada direncanakan siapa-siapa yang akan bermain. Para pemain biasanya adalah para penonton yang ingin bermain dan masuk ke arena permainan pada setiap giliran pergantian pemain. Jika pun ada yang memakai kostum Moncak adalah para panitia yang sejak awal telah memakai kostum ketika mempersiapkan acara.

MUSIK PENGIRING

Mocak sebagai tarian dalam prosesi adat biasanya diiringi dengan musik tradisional, misalnya Gondang Dua, Gondang Topap, dan Ogung (boung-boung), suling, saleot.

Di Desa Gunung Tua, Kecamatan Panyabungan pada era 1960-an hingga 1970-an ditemukan alat-alat musik tabuh sebagai pengganti Gordang Sambilan yang terbuat dari kelopak pelepah pohon pinang dan rotan sebagai pengiring Moncak. alat musik demikian dipakai pada acaran Moncak sebagai hiburan rakyat di hari raya Idul Fitri.

Di lokasi acara Moncak, tanah dilobangi sebanyak sembilan lobang dengan ukuran yang berbeda yang menyerupai rentetan ukuran dan tata letak Gordang Sambilan. Diameter lobang-lobang ini tidak begitu lebar, sekitar 3/2 dari besaran Gordang Sambulan pada umumnya.

Di atas tiap-tiap lobang diletakkan kelopak pelepah pohon pinang. Ukuran lebar persegi kelopak pelepah pohon pinang lebih besar sedikit dibanding lobang yang ditutupinya. Tiap pinggiran pelepah pohon pinang diikat apit oleh rotan mirip seperti membingkai sebuah foto. Kelopak pelepah pohon pinang inilah yang dipukul/dipalu seperti memalu paluan Gordang Sambilan. Suara yang dihasilkannya sangat kuat, nyaris sama dengan suara yang dihasilkan Gordang Sambilan.

Tetapi, sejak sekitar awal tahun 1970-an, tabuhan dengan alat kelopak pelepah pohon pinang ini sudah tak lagi dipakai para panitia Moncak hiburan rakyat di desa itu. Penggantinya adalah Gondang Topap atau Gondang Dua.

Tidak diketahui pasti apa alasan orang-orang di desa itu mengganti media alat tabuhan itu. Sejumlah pengamat kebudayaan di desa itu menyebutkan, hilangnya kelopak pelepah pohon pinang sebagai alat tabuhan diperkirakan akibat semakin praktisnya pola hidup, sehingga mereka memakai alat-alat yang praktis.

GERAKAN

Gerakan Moncak dimulai dengan saling membungkuk dan bersalaman satu sama lain. Sikap ini sebagai sebuah rasa atau prinsip saling menghormati dan menghargai serta menjun-jung tinggi sportifitas dalam makna bela diri.

Kemudian pemain dalam posisi berhadapan dengan jarak lebih kurang satu meter. Lalu dilanjutkan dengan gerakan-gerakan pembuka di mana masing-masing pihak memperagakan jurus-jurusnya, tetapi belum saling menendang. Tahap ini masing-masing saling mengintai dan mempelajari gerakan lawannya.

Selesai tahap pembuka ini, barulah masing-masing saling membuka perkelahian, baik dengan tangan kosong, maupun dengan alat tertentu. Perkelahian biasanya mempertontonkan kecakapan dan kecepatan dalam memukul atau menendang, mengelak, menangkis, dan menangkap, sambil memperlihatkan gerak lompat yang menakjubkan.

Kebiasaan di Moncak, baik di dalam pagelaran hiburan rakyat maupun pada saat prosesi upacara pesta pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, kelahiran anak, atau prosesi adat, tidak ada yang dinobatkan sebagai yang kalah atau yang menang. Atraksi Moncak berakhir bersamaan berakhirnya iringan musik, dimana masing-masing peserta Moncak member salam kepada lawan mainnya.

MONCAK MULAI SULIT DITEMUKAN

Acara atau pagelaran atraksi Moncak di Kabupaten Mandailing Natal sebagai tanah wilayah Mandailing Godang, Mandailing Julu, saat ini sudah jarang dilakukan. jikapun ada, selalu di acara penyambutan tamu pemeintah daerah, atau pihak keturunan dari keluarga raja-raja Mandailing yang melangsungka “horja” pernikahan.

Untuk hiburan rakyat di hari raya Idul Fitri juga sudah sangat sulit ditemukan. Kondisi ini mengakibatkan semakin menipisnya pengetahuan generasi muda Mandailing terhadap budaya Moncak.

Moncak juga tidak pernah terdengar dimasukkan dalam acara pertandingan di festival budaya Mandailing, sehingga tidak ditemukan adanya pelestarian budaya Moncak ini selain acara sambutan tamu pemerintahan dearah dan perkawinan keluarga keturunan raja.

KESIMPULAN

Moncak adalah seni bela diri yang terdapat di dalam suku Mandailing. Baik di Mandailing Godang, Mandailing Julu dan Mandailing Angkola. Mocak ini mirip dengan seni bela diri Silat.

Perbedaan Mocak dengan Silat terletak pada iringan musik. Moncak ini selalu diiringi dengan musik, sehingga pelaku yang sedang ber-Moncak akan melakukan gerakan bela diri di dalam situasi yang diiringi bunyian musik.

Moncak ini di dalam kebudayaan Mandailing masuk dalam salah satu sub kesenian yang telah turun temurun dari nenek moyang orang Mandailing.

Mocak masuk ke wilayah Mandailing Julu, Mandailing Godang dan Mandailing Angkola (sekarang masuk dalam wilayah Tapanuli Bagian Selatan) diyakini berasal dari Minangkabau dan Aceh.

Permainan Moncak ini biasanya menampilkan dua orang dalam setiap satu pertarungan. Kadang-kadang ada juga tiga orang pemain yang saling berhadap-hadapan. Semua pemain adalah laki-laki. Pemain Moncak ini umumnya adalah orang-orang yang paling tidaknya memiliki keahlian seni bela diri dengan gerakan Moncak yang mereka pelajari dari orang-orang ahli Moncak.

Moncak ini biasanya ditampilkan pada saat prosesi upacara pesta pernikahan, penyambutan tamu kehormatan, kelahiran anak, atau prosesi adat yang dibarengi dengan menyembelihan kerbau. Moncak ini sering dipegelarkan sebagai sarana hiburan rakyat di satu tanah lapang sebuah desa pada hari raya Idul Fitri. pagelaran itu dilakukan pada sore hari di hari pertama Idul Fitri, berlangsung tiap hari hingga selama sekitar sepekan lamanya.

Mocak sebagai tarian dalam prosesi adat biasanya diiringi dengan musik tradisional, misalnya Gondang Dua, Gondang Topap, dan Ogung. Di Desa Gunung Tua, Kecamatan Panyabungan pada era 1960-an hingga 1970-an ditemukan alat-alat musik tabuh sebagai pengganti Gordang Sambilan yang terbuat dari kelopak pelepah pohon pinang dan rotan sebagai pengiring Moncak. alat musik demikian dipakai pada acaran Moncak sebagai hiburan rakyat di hari raya Idul Fitri.

Gerakan Moncak dimulai dengan saling membungkuk dan bersalaman satu sama lain. Sikap ini sebagai sebuah rasa atau prinsip saling menghormati dan menghargai serta menjun-jung tinggi sportifitas dalam makna bela diri.

Acara atau pagelaran atraksi Moncak di Kabupaten Mandailing Natal sebagai tanah wilayah Mandailing Godang, Mandailing Julu, saat ini sudah jarang dilakukan. jikapun ada, selalu di acara penyambutan tamu pemeintah daerah, atau pihak keturunan dari keluarga raja-raja Mandailing yang melangsungka “horja” pernikahan. Untuk hiburan rakyat di hari raya Idul Fitri juga sudah sangat sulit ditemukan. Kondisi ini mengakibatkan semakin menipisnya pengetahuan generasi muda Mandailing terhadap budaya Moncak.

Moncak juga tidak pernah terdengar dimasukkan dalam acara pertandingan di festival budaya Mandailing, sehingga tidak ditemukan adanya pelestarian budaya Moncak ini selain acara sambutan tamu pemerintahan dearah dan perkawinan keluarga keturunan raja.

SARAN DAN PENUTUP

Moncak sebagai salah satu sub kesenian Mandailing dengan kategori beladiri adalah merupakan budaya yang tak boleh musnah dari tanah Mandailing sebagai satu ciri khas budaya dan jati diri Mandailing.

Oleh karena itu, pemerintah daerah dan aktifis penggiat budaya Mandailing diperlukan duduk bersama membahas tentang Moncak ini untuk mencari arah kebijakan bagi melestarikan keberadaan Moncak ini sebagai satu bidang kebudayaan di Mandailing.***

Disadur dari makalah 9 mahasiswa Unimed, Program Sarjana (S1) Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan.

  1. Faridah Afni
  2. Syahreni
  3. Erna Erwani
  4. Ali Samad
  5. Dehaironi
  6. Fatimah Lubis
  7. Siti Aisah
  8. Nur Aisyah
  9. Ummi Sahara

 

Narasumber:

  1. Askolani Nasution (Budayawan Mandailing)
  2. Dahlan Batubara (Pemimpin Redaksi Mandailing Online)
  3. Ganti Nasution (pakar adat di Gunung Tua, Panyabungan)

Comments

Komentar Anda

Silahkan Anda Beri Komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.