PENGANTAR
Sejumlah penggiat kebudayaan aktivis mahasiswa, pemuda dan tokoh masyarakat yang berasal dari Mandailing pada awal bulan Januari 2013 lalu menggelar pertemuan untuk membahas seputar persoalan kebudayaan Mandailing dan rencana penyelenggaraan “Kongres Kebudayaan Mandaling” di Jakarta.
Salah seorang diantaranya, M. Syurbainy (Beny) Nasution Ketua Pengurus Harian Saroha Foundation yang akrab disapa Benas, mengungkapkan alasan rencana pelaksanaan kongres adalah karena kondisi kebudayaan Mandailing sekarag sangat kritis, sebab proses globalisasi dan perkembangan berbagai aspek akan menggerus dan mengancam keberadaan kebudayaan Mandailing sebagai salah satu penyangga Kebudayaan Nasional, yang harus bisa tegak berdiri sama sejajar dengan kebudayaan kelompok-kelompok etnik lain di tanah air, serta mampu bertahan di tengah derasnya arus globalisasi. Sebab banyak kearifan lokal yang sangat bernilai dan dapat menjadi pegangan dari generasi ke generasi guna memperkuat karakter bangsa kita.
Dari sisi lain, Ari F Batubara sebagai seorang penggiat Sastra Nusantara juga menjelaskan sudah banyak yang hilang dari unsur-unsur kebudayaan Mandailing, contohnya seperti budaya marsialap ari (gotong royong) sebagai bagian dari sistem mata pencaharian hidup (ekonomi) sekarang telah mengalami erosi yang cukup parah.
Karena itu, menurut Amir Hamdani Nasution dari unsur mahasiswa, perlu adanya upaya revitalisasi kebudayaan Mandailing. Pemikiran revitalisasi kebudayaan Mandailing itu sendiri muncul pertama kali dalam tulisan (alm) Z. Pangaduan Lubis yang menggaris bawahi bahwa kebudayaan Mandailing harus dihidupkan kembali. Sebab dari generasi ke generasi tidak banyak yang sungguh-sungguh memperdulikan kebudayaan mereka sendiri dan kondisinya semakin hari semakin miris.
Dalam pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan Himpunan Mahasiswa Mandailing Natal (HM Madina), Himpunan Mahasiswa Padang Lawas (Himapalas), Ikatan Alumni Darul Mursyid (IKDM), Komunitas Mahasiswa Sumatera Utara (KMSU) serta sejumlah pemuda dan unsur masyarakat Mandailing yang ada di JABODETABEK tersebut menghasilkan pembentukan Panitia Kongres Kebudayaan Mandailing untuk memperjelas identitas dan memperkuat kebudayaan Mandailing.
Panitia Kongres Kebudayaan Mandailing telah berusaha semampunya untuk dapat menyelenggarakan kongres tersebut. Begitupun, kongres belum juga bisa diselenggarakan kendati Panitia telah berupaya keras selama beberapa bulan ke depan. Hingga pada akhirnya diputuskan dan ditetapkan bersama untuk menyelenggarakan suatu kegiatan (event) yang lebih sederhana dalam bentuk “Sarasehan”. Pada hari Sabtu tanggal 1 Juni 2013, Panitia dapat menyelenggarakan “Sarasehan Kebudayaan Mandailing” dengan tema: “Menuju Kongres Kebudayaan Mandailing” di Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih – Jakarta.
Event “Sarasehan Kebudayaan Mandailing” yang telah dilaksanakan di Gedung Dewan Pers Jakarta ini ternyata mendapat sambutan positif dari para tokoh dan pemuka masyarakat (hatobangon) Mandailing, terbukti dengan kehadiran Adnan Buyung Nasution, Basyral Hamidy Harahap, H. Pandapotan Nasution, Darmin Nasution, Mulia P. Nasution dan lain-lain.
Sarasehan Kebudayaan Mandailing ini secara resmi dibuka oleh mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan DR. Mulia P. Nasution, dan Kata Sambutan disampaikan oleh advokat senior DR. Adnan Buyung Nasution. Dalam kesempatan yang baik ini tampil pula sejumlah “nara sumber” yang mereperesentasikan makalah masing-masing, yaitu:
(1) Basyral Hamidy Harahap dengan judul “Aksara Mandailing: Tinjauan Sosial Budaya”.
Bahasa dan aksara, menurut Basyaral Hamidy Harahap, adalah identitas budaya (cultural identity) yang merupakan “inti peradaban”. Suku atau bangsa yang memiliki aksara sendiri mempunyai lebih banyak kearifan yang menjadikan jatidirinya yang khas, misalnya kejujuran, kesetaraan, pendirian yang teguh dan tenggang rasa.
Sejarah membuktikan bahwa peradaban tinggi manusia umumnya tidak tumbuh dan berkembang di dataran tinggi, melainkan di lembah yang subur di daerah aliran sungai besar, seperti peradaban Sumaeria di aliran sungai Eufrat dan Tigris di Mesipotania, Mohenjodaro di aliran sungai Indus di India, Yangtse Kiang di Cina, Nil di Mesir, dan lain sebagainya.
Basyaral Hamidy Harahap dalam makalahnya juga menguatkan pendapat T.J. Willer (Asisten Residen Mandailing Angkola, 1843-1848), Van der Tuuk, Kes Groeneboer, dan Uli Kozok bahwa Akasara Mandailing (Surat Tulak-Tulak) sama sekali tidak terbukti berasal dari Toba, justru sebaliknya yang terjadi yaitu menyebar dari Mandailing ke Toba.
(2) H. Pandapotan Nasution dengan judul “Dalian Na Tolu”.
Setiap kelompok masyarakat, tidak terkecuali masyarakat Mandailing menurut H. Pandapotan Nasution, mempunyai tatanan yang diikuti dan dipatuhi oleh warganya untuk mencapai kesejahteraan hidup. Tatanan itu didasari oleh falsafah hidup yang merupakan nilai luhur dari masyarakat itu sendiri. Demikian halnya dengan masyarakat Mandailing mempunyai nilai luhur yang didasari atas nilai-nilai yang sudah terpatri dalam hati sanubari setiap anggotanya yang disebut dengan olong atau kasih sayang. Olong timbul dari lubuk hati yang dalam dengan pemikiran yang dalam pula.
Seseorang baru mempunyai arti di dalam suatu masyarakat, apabila ia dapat menyeimbangkan diri pribadi dalam masyarakat dan sebaliknya masyarakat dapat menerima kepribadiannya pada tempat yang seharusnya. Berbuat kebaikan pada orang lain, dan menyesuaiakan diri dengan orang lain, hanya dapat dilakukan jika di dalam lubuk hati yang dalam telah terpatri rasa cinta kasih (olong) terhadap sesama.
(3) Diaru Nasution dengan judul “Saro Mandailing: Suatu Pengamatan Awal”.
Kelompok etnik Mandailing memiliki “bahasa ibu” (mother language) sendiri yaitu “Hata Mandailing”, namun dalam kehidupan sehari-hari lebih sering mereka sebut dengan istilah “Saro Mandailing”. Pada isi pokok dari kebudayaan suatu kelompok etnik, bahasa ditempatkan para ahli diurutan pertama (yang terpenting) karena bahasa berfungsi sebagai alat transpormasi kebudayaan.
Dalam kata lain, semua prilaku manusia dimulai dengan penggunaan lambang-lambang. Semua unsur-unsur kebudayaan manusia selalu melibatkan lambang-lambang, dan aspek simbolis yang terpenting adalah bahasa, adalah tempat dimana kebudayaan manusia terkonsep, dibangun dan dikembangkan. Manusia menyampaikan gagasan, emosi, dan keinginan serta harapan-harapannya dengan menggunakan bahasa (lambang), sehingga kebudayaannya dapat diteruskan/diwariskan dari satu generasi hingga ke generasi berikutnya.
(4) Beny Nasution & Edi Nasution dengan judul “Catatan-Catatan Yang Berserakan dan Belum Utuh Tentang Asal-Usul Nama Mandailing”.
Sesungguhnya memang sangat sulit untuk mendapatkan catatan sejarah masa silam suku-bangsa Mandailing. Walaupun suku-bangsa Mandailing memiliki aksara tradisional sendiri yang disebut surat tulak-tulak dan biasa digunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha, tetapi pustaha-pustaha yang ada umumnya bukan berisi catatan sejarah melainkan tentang pengobatan tradisional, ilmu-ilmu gaib, ramalan tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan tentang mimpi. Semua pustaha itu disimpan orang Mandailing sebagai warisan leluhur mereka.
Sehubungan dengan asal-usul nama Mandailing ini ada beberapa sumber sejarah yang cukup penting untuk diperhatikan:
~ Legenda Mandala Holing
Berdasarkan salah satu cerita lisan (folklor) yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat Mandailing hingga sekarang, perkataan “Mandailing” berasal dari kata “Mandala Holing”, adalah satu kerajaan yang diperkirakan sudah ada sejak abad ke-12. Cakupan wilayah kerajaan Mandala Holing diperkirakan terbentang dari Portibi di Padang Lawas hingga ke Pidoli di dekat Panyabungan, Mandailing Godang.
~ Kitab Mpu Prapanca Negarakertagama
Salah satu sumber sejarah kuno yang menyebut-nyebut nama “Mandailing” (Mandahiling) adalah kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca untuk mencatatkan ekspansi kerajaan Majapahit ke beberapa wilayah di luar Pulau Jawa. Di dalam Pupuh ke XIII kitab itu tercatat bahwa ekspansi Majapahit sampai ke Mandailing sekitar tahun 1287 Saka (1365 M).
~ Tonggo-Tonggo Si Boru Deak Parujar
Tonggo-Tonggo Si Boru Deak Parujar, adalah kesusasteraan Toba-tua yang klasik. Tonggo-tonggo (sastra klasik) ini terdiri dari 10 (sepuluh) Pasal sebagai falsafah kebudayaan masyarakat Toba, dan isinya cukup padat. Dalam Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar ini jelas disebutkan bahwa “tanah bakil Mandailing adalah tanah yang termasyhur, bagaikan suara gong yang merdu (suara gong yang merdu biasanya menarik perhatian dan dapat didengar sampai ke tempat yang jauh).
~ Mundailing dan Mandalay
Meskipun nama Mandailing sudah disebut dalam kitab Negarakertagama di sekitar pertengahan abad ke-14, akan tetapi sampai sekarang belum diperoleh satu kepastian pun tentang asal-usul nama Mandailing tersebut. Dada Meuraxa menyatakan bahwa selain nama Mandailing ada yang menduga berasal dari perkataan “Mande Hilang” (bahasa Minangkabau yang artinya “ibu yang hilang”), ada pula yang menyangka nama “Mandailing” berasal dari perkataan “Mundailing”, yang berarti “Munda yang mengungsi”.
Proses perpindahan orang Munda dari Mandalay ke Sumatera (Mandailing) dapat pula dihubungkan dengan terjadinya perpindahan bangsa-bangsa dari Asia Selatan atau India Belakang ke wilayah Indonesia di masa lebih dari 1000 tahun sebelum Masehi. Menurut Mangaradja Onggang Parlindungan dalam bukunya yang berjudul “Tuanku Rao”, perpindahan itu terjadi karena desakan bangsa Mongol dari utara. Ia mengatakan bahwa ada orang-orang dari Birma Selatan yang berlayar ke Indonesia dan sebahagian tiba di Sumatera. Kemungkinan dalam proses perpindahan yang demikian itu, orang-orang Munda dari India yang pada mulanya berdiam di Mandalay (Birma Utara) karena terdesak oleh bangsa Mongol lalu pindah ke Birma Selatan, dan karena terdesak terus maka merekapun berlayar ke Indonesia dan sebagian tiba di Sumatera dan menempati satu daerah yang kemudian dikenal sebagai daerah Mandailing.
~ Mandala Hilang
Di dalam bukunya “Sopo Godang dan Silipi Mandailing”, Mangaraja Lelo Lubis ada menuliskan tentang tentang asal-usul nama Mandailing yang berasal dari perkataan “Mandala Hilang”. Dalam hal ini dijelaskan bahwa pada suatu masa orang-orang Mandala yakni orang-orang “koling” (keling) mendiami wilayah Mandailing. Namun pada waktu bangsa Melayu memasuki daerah tersebut, orang-orang Mandala (koling=keling) pergi ke tempat lain. Oleh karena itu orang-orang Melayu mengatakan “Mandala Hilang”. Dan lama kelamaan sebutan itu berubah menjadi “Mandailing”.
Adanya sejumlah peninggalan-peninggalan purbakala di beberapa tempat di Mandailing merupakan bukti otentik, bahwa sudah ada manusia yang mendiami wilayah Mandailing pada masa tersebut, yaitu sebagai pribumi Mandailing, dimana mereka terus berkembang sampai kemudian orang-orang Hindu datang dan menetap di Mandailing.
Besar kemungkinan antara penduduk pribumi dan pendatang (orang Hindu), di situ mereka hidup berdampingan secara damai dan kemudian membangun kerajaan di wilayah Mandailing. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa meskipun banyak ditemukan peninggalan dari zaman Hindu di wilayah Mandailing, tapi ditemukan juga peninggalan kebudayaan pribumi Mandailing yang berkembang sendiri tanpa didominasi oleh pengaruh Hindu.
Misalnya, patung-patung batu seperti yang terdapat di halaman Bagas Godang Panyabungan Tonga-Tonga dan patung-patung kayu yang terdapat di Huta Godang. Demikian juga ornamen-ornamen tradisional (bolang) yang terdapat pada Bagas Godang dan Sopo Godang yang hanya sedikit sekali memperlihatkan pengaruh Hindu, yakni pada ornamen berbentuk segitiga yang disebut bindu (pusuk robung) adalah lambang dari istem sosial Dalian Na Tolu.
Dalam kebudayaan Hindu, bindu (bentuk segitiga) merupakan lambang mistik hubungan manusia dengan Dewa Trimurti. Bagian-bagian lain dari ornamen tradisional tidak memperlihatkan adanya pengaruh Hindu. Dari bentuknya, ornamen-ornamen yang ada sampai sekarang ini hanya menggunakan garis-garis geometris (garis lurus), kecuali ornamen benda alam, buatan dan hewan seperti matahari, bulan, bintang, pedang, ular dll.
Bentuk ornamen yang hanya menggunakan garis-garis geometris ini membuktikan ornamen tersebut berasal dari zaman yang sudah lama sekali (primitif). Selain bindu itu, pengaruh Hindu juga terdapat pada budaya tradisional Mandailing, antara lain pada penamaan desa na ualu (mata angin) dan pada gelar kebangsawanan seperti Mangaraja, Soripada, Batara Guru serta nama gunung seperti Dolok Malea.
Keaneragaman bahasa Mandailing yang terdiri dari hata somal, hata sibaso, hata parkapur, hata teas dohot jampolak dan hata andung yang kosa katanya masing-masing berlainan menunjukkan budaya pribumi Mandailing sudah lama berkembang yang tentunya dihasilkan dari peradaban yang sudah tinggi yang tidak banyak dipengaruhi oleh budaya Hindu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa meskipun orang Hindu cukup lama menetap dan mengembangkan budayanya tetapi pribumi Mandailing tidak didominasi oleh orang-orang Hindu dan bebas mengembangkan budayanya sendiri.
Sebetulnya ada 2 (dua) orang nara sumber lagi yang rencananya akan merepresentasikan makalahnya dalam “Sarasehan Kebudayaan Mandailing” ini, yaitu Askolani Nasution yang akan menyampaikan materi “Kesusasteraan Mandailing (1), (2), (3)”, dan Fadly Daulae dengan tajuk “Dispora Mandailing”. Keduanya kebetulan berhalangan hadir tetapi masih sempat mengirimkan makalah masing-masing kepada Panitia. (bersambung)
RT @mandailing_on: Kabar Terbaru:
PENGANTAR
Sejumlah penggiat kebudayaan aktivis mahasiswa, pemuda dan tokoh masya… http://t.co/jZxApOt…