BERITA bebasnya enam pejabat Pemkab Simalungun yang kepergok main judi cukup membuat nai Hepppot merasa terpukul. Meski tak kenal dengan mereka tapi nai Heppot merasa harus atau wajib terpukul mau pun memukulkan diri. Saat membaca berita ‘bebas ooii…’ itu, tangannya sontak memukul jidatnya yang tampak mulai mengerut.
Mengapa demikian? Ia merasa sudah dilecehkan oleh yang namanya atas nama hukum di atas negeri yang gemah ripah loh jinawe ini. Beberapa waktu lalu, maennya, amani Carla, dijebloskan ke penjara akibat nulis Togel. Ia merengek-rengek kepada Hakim dan Jaksa agar maen kesayangannya itu jangan dimasukkan ke penjara. Sepetak sawah peninggalan almarhum suaminya, amani Heppot nahinan, rela ia gadaikan asal maennya itu bisa bebas menghirup udara segar. Tapi apa boleh buat, tahi kambing bulat-bulat, ganjaran hukum tak bisa digugat. Enam bulan, amani Carla yang kerjanya kuli bangunan itu, terpaksa meringkuk di penjara. Padahal kegiatan tambahan yang bernuansa kelam itu hanya demi menambah perbaikan gizi gadis kecilnya si Carla. Sejak borongan bangunan mulai sepi, ‘Indomilk’ tak lagi bisa dicicipi anaknya itu saban berangkat ke sekolah.
Nai Heppot merasa dirinya terhina atas penjelasan pak Kapolres yang berdalih bahwa keenam pejabat tersebut sangat dibutuhkan tenaganya. Meski pun dulu ia ‘Singkola Sore’, dan rapornya selalu kebanyakan ikan mas, ia masih tahu bahwa hukum tak pernah membeda-bedakan siapa pun di muka bumi ini. Meski seorang Presiden pun.
Yang membuat nai Heppot menitikkan air mata, sebulan setelah menghuni lapas, maennya itu juga tak bisa menghadiri perkawinan adiknya. Terlalu banyak prosedur yang berbelit-belit. Masak hanya sehari saja tak bisa. Macam teroris aja. Lagi pula untuk apa melarikan diri. Bukankah maennya itu juga jalannya pincang akibat semasa SD jatuh memanjat pohon mangga?
“Bah, apa pula yang kau tangisi, nai Heppot?,” teguran amani Edu itu membuat nai Heppot sadar.
“Tak tahu lagi aku, amang. Rasanya orang hina-dina seperti kami ini sudah tak berarti lagi di mata hukum. Ah, andaikata si Heppot jadi pejabat mungkin nasib kami tak seperti ini. Masak enam pejabat di Pemkab Simalungun bisa bebas padahal sudah terbukti main judi. Di mana lagi keadilan kalau begini,” ujar nai Heppot makin tersedu-sedu.
“O, itu tak perlu kau pikiri, nanti bisa stress sendiri. Ingat kata orangtua dulu, lomo ni na gogo do di harangan. Artinya, macam di hutan, yang kuat seperti harimaulah yang berkuasa,” tanggap amani Edu.
“Tak bisa begitulah, bapauda. Besan Pak SBY aja dijebloskan meski tenaganya juga sangat dibutuhkan di negeri ini. Berarti kedudukan Pak Kapolres lebih tinggi ya dari Presiden?,” tanya amani Jumongkas yang hanya sempat mengenyam kelas tiga SD.
“Kalau soal itu, jelas tak tahulah aku. Seim-seimnya kita,” jawab amani Edu. Maksudnya, sama-sama tak ngerti.
“Yang aku tahu hanyalah, ijuk di para-para, hotang di parlabian. Nabisuk nampuna hata, na oto tu pargadisan. Yang artinya, yang bodoh tetap jadi makanan orang pintar. Maka itu aku jadi menyesal kenapa dulu aku tak sekolah. Habis uang bapakku kufoya-foyakan. Uang penggaris, belebas, rol, meter, sekali kuminta padahal semua sama. Nah, soal hukum, sebetulnya nurani yang bicara. Dulu tak ada fasal-fasal tapi keadilan tetap berjalan. Ratu Tribuana Tungga Dewi pada masa Kerajaan Majapahit dengan tegas memotong tangan anaknya yang mencuri. Juga Justice Bao sebagaimana yang kita tonton dalam film silat. Nah, ada kah nurani para pejabat kita seperti itu?,” lirih amani Edu
Sumber : Batak Pos